Fasilitas Sehari
Oleh: Titah Gusti Prasasti
Sore yang cerah mengantarkan Ali untuk bersepada keliling desa. Angin sepoi-sepoi menyentuh lembut wajahnya. Tidak terasa, Ali sampai di pertigaan jalan dekat sebuah TPA terbesar di kabupatennya. Di ujung jalan itulah sahabat karibnya, Dzawin tinggal di rumah sederhana.
“Wah sudah sampai sini, rasanya sayang kalau tidak mampir ke rumah Dzawin,” batinnya. Ali pun segera mengayuh sepedanya menuju pelataran rumah Dzawin.
“Assalamualaikum, Win!” sapanya agak lantang di teras rumah Dzawin.
“Waalaikumusalam,” jawab seseorang sambil membuka pintu, Dzawin muncul sambil tersenyum lebar. Sudah lama berteman, tentu saja Dzawin hafal sekali pemilik suara yang melontarkan salam.
“Wah, Ali. Tumben jalan-jalan sampai sini,” ucapnya basa-basi sambil terus memamerkan senyum lebarmya.
“Hehe. Boleh mampir gak, nih? Kalau enggak, aku pulang lho!” ancam Ali sambal pura-pura hendak menuntun sepedanya menuju ke jalan.
“Boleh lho gitu aja marah, haha. Sini Li, Ayo ngopi,” ujar Dzawin.
Sekilas tidak terlihat ada hal aneh di pekarangan rumah Dzawin, akan tetapi ketika dilihat dengan seksama, ada pipa-pipa terpasang rapi yang mengarah ke dapur. “Pipa air? Tapi kok dipasang vertikal setinggi itu? Aneh.” Tanya Ali dalam hati.
Tak lama, Dzawin keluar membawa nampan berisi dua cangkir kopi panas, dengan kepulan asap, ditemani setoples biskuit super enak buatan ibunya. Agar tidak terus menerus larut dalam rasa penasaran, Ali pun menanyakan perihal pipa pada tuan rumah.
“Win, pipa apa sih itu? Kok masangnya vertikal gitu? Kalau air, memangnya kuat naik?” tanya Ali penuh penasaran sambil menunjuk rangkaian pipa.
Dzawin menatap pipa sekilas, lalu menjawab Ali. “Sadar aja sih Li ada yang baru di rumahku. Itu pipa gas dari TPA Li,”
“Wah, biogas, ya? Lumayan dong, Win. Jadi hemat sekaligus ramah lingkungan, hehe.” sahut Ali penuh antusias.
Setelah menyeruput kopi yang masih mengepul, Dzawin menghela napas panjang. “Yahhh kalau kenyataanya begitu sih bagus Li,” ujarnya.
“Kenyataannya, gas dari TPA cuma nyala sekali waktu peresmian. Kayaknya cuma formalitas ketika pejabat kesini, deh. Haham,” lanjut Dzawin disertai tawa.
“Memangnya sudah tidak berfungsi lagi, Win?” tanya Ali lagi, tambah penasaran.
tersenyum, teman semasa SMA-nya satu ini memang paling semangat kalau sudah penasaran. Cocok sekali dengan identitasnya sekarang sebagai anggota pers di kampus.
“Minum dulu, Li. Kebiasaan kalau penasaran jadi super heboh,” kata Dzawin sambil menunjuk cangkir kopi milik Ali yang belum disentuh sama sekali.
Ali terkekeh sambil mengangkat cangkirnya, lalu meminum isinya sedikit-sedikit dengan sesekali di tiup-tiup. Masih panas rupanya.
“Soal biogas, udah lama nggak nyala. Habis acara kan, ya sudah, selesai. Ndak usah terlalu berharaplah, Li,” Ucapnya.
Sekali lagi, diseruputnya kopi hitam. Ali menyimak dengan khidmat sambil menikmati biskuit buatan ibu Dzawin.
“Ya, wong cilik mana tahu soal beginian. Dikasih bersyukur, kalau ditarik lagi, ya gimana Li. Gratisan sih, haha.” Lanjut Dzawin disusul gelak tawa mereka berdua.
Ali berdecak heran, sekaligus merasa sedih. Ternyata, hari ini masih banyak pemberian fasilitas sekadar formalitas. Habis dokumentasi, proyek tidak dilanjutkan lagi. Yah, wong cilik bisa apa?
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.