Media Propublik
Oleh : Nofianto Puji Imawan
Ketika semua hal menjadi komoditas, ia tak lebih dari seonggok benda atau barang dagangan. Seperti keotentikan informasi yang dimanipulasi habis-habisan dan diracuni banyak kepentingan bahkan tujuan-tujuan untuk mencari keuntungan sepihak. Itulah media massa kekinian, yang terdegradasi banyak kepalsuan hingga membuat hal tidak penting menjadi penting, salah menjadi benar, tidak perlu menjadi perlu, buruk menjadi baik, bohong menjadi jujur, kekejaman menjadi keindahan, salah menjadi benar, bahkan media mampu menyulap berhala menjadi tuhan.
Banyak publik yang dikecewakan dengan tingkah laku media massa saat ini. Namun banyak pula publik yang tak sadar, kalau sedang dikecewakan. Seharusnya media massa lebih bisa mengetahui, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh publik?, apa yang seharusnya penting untuk publik?, dan media massa harus lebih sadar kalau tujuan utamanya adalah untuk kebaikan bersama. Bukan malah berlomba-lomba mencari rating atau mendapatkan iklan sebanyak mungkin. Sehingga media massa saat ini lebih berorientasi pada tuntutan pasar dan bisnis. Lantas dimanakah ruang publiknya?
Bukanya media massa itu memakai frekuensi milik publik. Bukankah sebuah kewajiban jika seharusnya media massa mengedepankan atau mendahulukan kepentingan publik. Bukan malah beramai-ramai memberitakan hal-hal yang tidak penting atau tidak ada hubunganya dengan publik, malah mendahulukan kepentingan pemiliknya dan media itu sendiri.
Kombinasi gerakan struktural dan kultural adalah sebuah cara yang penting untuk menciptakan media propublik yang diinginkan. Ditengah banyaknya korporasi media, hingga terwujudnya “Uni-Media”. Sampai liberalisasi dan kapitalisasi media yang membuat publik menjadi binggung. Media-media yang harusnya ada dipihak dan melayani mereka, malah kenyataanya lebih banyak mendahulukan kepentingan pemilik dan medianya sendiri. Maka dari itu, masyarakat sebagai konsumen dan seluruh elemen temasuk media itu sendiri seharusnya saling berkesinambungan dalam melakukan perbaikan. Maksudnya adalah, jika ingin terciptanya media propublik maka harus ada tindakan dan usaha untuk melakukan itu. Dengan kontrol dari masyarakat sebagai konsumen tentang bagaimana lebih cerdas dalam mengkonsumsi media dan berperan aktif untuk lebih peduli dengan regulasi permediaan. Serta sering manyampaikan kritik beserta memberikan laporan-laporan mengenai dugaan-dugaan pelanggaran yang terjadi kepada pihak yang berwenang mengenai permediaan. Dengan harapan agar permediaan menjadi lebih baik dan lebih pro kepada publik.
Sama halnya dengan pemerintahan dan media itu sendiri. Peraturan dan pegawasan beserta sanksi yang harus lebih diperketat. Demi meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Saling mengawasi, baik pihak pemerintah atau yang berwenang dan media tersebut. Bagaimana peraturan permediaan tetap dijalankan dengan adil. Walaupun banyak media yang sudah pintar mengakali peraturan-peraturan permediaan dan tetap bisa melakukan pelanggaran-pelanggaran dengan dalih persaingan antar media yang sangat ketat. Bukan berarti semakin bebasnya media melakukan kreasi dan pengembangan yang merugikan atau melanggar bahkan melewati batas-batas peraturan penyiaran. Dampaknya adalah dirugikanya publik dengan semakin banyaknya permasalahan yang terjadi. Walaupun banyak publik yang tak menyadari kalau media massa sering melakukan pelanggaran dan sering merugikan mereka. Tanpa ada kesadaran bersama mengenai hal itu.
Pelaksanaan mewujudkan media propublik haruslah bersih dan tetap objektif, walau sesungguhnya objektif itu tidak ada, begitupula media itu sendiri. Terutama harus independen. Walaupun media tersebut swasta. Benar memang jika pemilik media tersebut dan investor media tersebut punya peran penting untuk media tersebut. Tetapi bukan berarti media tersebut harus mengesampikan peranya sebagai media publik dan mendahulukan kepentingan pemiliknya. Frekuensi itu terbatas. Jika jalur frekuensi publik hanya untuk menampilkan hal-hal yang benar-benar tidak penting bagi publik, tidak mendidik. Namun cuma menghibur saja. Sirkus dan badut pun bisa menghibur.
Tingginya konsumsi media penyiaran atau televisi dibandingkan media online, cetak, radio. Membuat dominasi media penyiaran lebih besar. Maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap publik. Pengaruh besarnya bisa positif, negatif, konstruktif atau bahkan dekstruktif. Namun kebanyakan pengaruhnya adalah negatif. Negatif yang bagaimana?, kurang banyak apa, publik disuguhi dengan siaran-siaran yang tidak mendidik dan tidak penting.
Kekerasan diumbar tampa sensor, baik verbal maupun non verbal. Unsur-unsur pornografi semakin sulit dikontrol, hal-hal yang tidak penting untuk publik, malah ditayangkan, khususnya media penyiaran. Publik dipaksa memikirkan apa yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan. Apakah penting jika orang Papua melihat kemacetan di Jakarta?, sedangkan daerahnya sendiri mengalami masalah eksploitasi sumber daya alam yang tak terkontrol. Apakah penting orang Maluku melihat blusukanya Jokowi?, sedangkan pembagunan diMaluku belum maksimal. Haruskah orang Ende melihat banjir Jakarta?, sedangkan daerahnya sendiri mengalami kekurangan air dan kekeringan. Belum lagi acara-acara gosip mengenai artis-artis ibukota yang makin lama memenuhi media-media penyiaran publik. dan berbagai fakta lainya bahwa media massa kita telah terkontaminasi oleh tuntutan pasar, kepentingan-kepentingan individu, dan lebih berorientasi pada bisnis, rating, keuntungan dan bersifat oportunis. Tanpa menyadari filosofi dasar media massa dan benar-benar serius memperhatikan publik yang sekarang dianggap seperti boneka dan tak memikirkan “akan seperti apa publik kita ini?”.
Media penyiaran harus menjamin terciptanya informasi yang adil, merata, dan seimbang demi terciptanya keadilan. Meskipun sulit dan terkesan utopia. Namun seharusnya
usaha-usaha untuk mencapainya, minimal harus dilakukan dengan serius dan konsisten. Pengawalan, pengawasan, dan soliditas dalam melaksanakan tujuan. Supaya mewujudkan media penyiaran yang sesuai dengan filosofi dasar penyiaran dan peraturan-peraturan luhur media penyiaran, mengenai keadilan bersiaran di era pasar bebas dan modernisasi zaman.
Apalagi banyak yang memandang media penyiaran sekarang tak lebih dari bisnis semata.
Adil, apanya yang harus diadilkan?, media penyiarannya, mau diadilkan bagaimana?, bukanya semua media penyiaran sudah membela dan menegaskan bahwa media penyiaranya sudah sesuai dengan peraturan yang ada?, Pembelaan apalagi?, pembohongan seperti apa lagi?, penipuan yang bagaimana lagi?, akan diapakan lagi media penyiaran kita ini?. padahal, slogan media penyiaran sudah membuat bulu-kudukku berdiri. Dari mulai; "Milik Kita Bersama" (tapi nyatanya, yang memiliki cuma pemilik medianya saja. Publik malah tidak seperti ikut memiliki.), "Makin Indonesia Makin Asyik Aja" (tapi tanyangan-tanyangan ke-Indonesianya malah kurang di expose dan malah hiburan-hiburan produk luar negeri yang dibudidayakan.), “Satu Untuk Semua" (bukanya hanya untuk yang punya uang saja, bukanya hanya untuk kepentingan bisnis pemiliknya dan kolega-koleganya.), “Saluran Informasi & Hiburan” (bukanya sekarang ini hanya hiburan saja yang mengantri di list media penyiaran kita, malah fungsi dasar media penyiaran tidak dilaksanakan dengan utuh), “Stasiun televisi berita pertama di Indonesia” (tapi isinya malah pencitraan pemilik medianya saja sampai-sampai setiap jam isinya kampanye partai politik semata.), "Memang Beda" (bedanya apa?, malah tidak lebih memperbaiki kualitas media penyiarannya. Namun malah membuat banyak berkembang pelanggaran-pelanggaran media penyiaran.), "Memang Untuk Anda" (memang untuk pemiliknya dan untuk yang punya uang saja), dan banyak lainya.Namun apakah slogan ini menjadi relevan jika yang nampak dan yang nyata cukup kontradiktif. Baik fungsi, sumbangsih, kelakuanya berbeda dengan apa yang dijanjikan. Itulah media penyiaran kita, jika dilihat dari motto, slogan, dan brandingnya.
Walaupun kuasanya begitu besar pasti membuat apapun yang dibawahnya menjadi tak berdaya. Mengikuti saja, menjalankan perintah saja, nurut dengan atasan, takut resiko walaupun yang dilakukan itu benar, takut dirugikan dengan banyak kompromi-kompromi. Atau yang lainnya. Jika sudah masuk dalam dunia kerja dan sistem yang mengikatnya, hingga mempunyai beban yang menuntutnya untuk bertanggung jawab atas hidup beserta tanggungannya. Akan membuat banyak hal menjadi tidak bisa bebas dalam berbuat. Harus tetap taat jika ingin bertahan, atau dikeluarkan dan tak mendapat apa yang dinginkan sampai dirugikan dan tak mendapat kesempatan yang menguntungkan baginya. Walaupun begitu seharusnya yang namanya kuasa tetap harus bisa berlaku adil, dimanapun. Terutama mengenai media penyiaran kita ini.
Jika keadilan selalu di identikan dengan ketidakmungkinan. Begitupula permasalahan di media penyiaran kita. Yang selalu muncul dengan slogan-slogan yang seolah-olah propublik, namun ujung-ujungnya malah kita yang diakali dan dibohongi. Visi-misinya sungguh bagus dan mulia namun sampai saat ini masyarakat malah dimanfaatkan dan dirugikan dengan pembohongan-pembohongan yang dilakukan media-media penyiaran kita. Sama halnya peraturan-peraturan mengenai media penyiaran yang tersusun baik, rapi, adil, dan dengan proses yang lama, tapi malah apa yang terjadi?. Peraturan-peraturan itu malah diakali tanpa ada pembuktian dan keinginan untuk menjalankan dengan serius hingga menaati semua peraturan mengenai media penyiaran yang telah dibuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik nasional atau regional.
*Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Spirit Mahasiswa
Universitas Trunojoyo Madura.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.