MUSIM KELABU
Musim gugur itu istimewa. Karena diciptakan Tuhan dengan dua rasa di dalamnya. Romantis dan hampa. Romantis sejatinya milik musim semi. Dan hampa, mutlak milik musim dingin. Tapi dalam musim gugur, dua rasa itu membaur menjadi satu. Dalam rengkuhan yang sama.
Hanya orang-orang yang berperasaan kuat yang mampu mengetahui sejauh mana romantisme itu bertahan. Dan sedalam apa kehampaan itu menghantui. Yang mereka tahu hanyalah, musim gugur itu menyimpan segudang misteri disetiap senjanya. Seperti senja kali ini.
---
Ia tampak begitu kelabu. Tanpa rona merah yang biasanya muncul. Hembusan angin terasa ganjil, meniupkan kelopak-kelopak mungil sakura dan menghembuskannya ke tanah dengan tanpa perasaan. Pohon-pohonnya bergerak anggun dan seirama. Menimbulkan sebuah harmonisasi alam yang lembut dan menenangkan.
Matanya menatap lurus kedepan. Tanpa tahu kapan tatapannya berakhir. Ia diam. Tak terpejam. Tapi kosong dan terlihat hampa. Gadis itu aku.
Ia memang aku yang sedang patah hati. Seperti burung yang kehilangan sebelah sayapnya. Ia adalah aku yang sedang diam dalam kehampaan. Berusaha bernapas dalam ruang hampa udara yang menyesakkan.
Dua tahun yang lalu. Aku memperkenalkan diri sebagai orang yang peragu. Yang selalu memiliki dua jalan yang berbeda dalam hidupnya. Yang terjebak di antara batas hitam dan putih yang tak nyata. Tapi beberapa saat kemudian aku memperkenalkan diri sebagai seorang yang penuh keyakinan.Ia, Kazuma, adalah sosok laki-laki yang kusebut sebagai “masa kini”-ku.
Tapi, Kazuma meninggalkanku dan tak berniat untuk kembali. Ia pergi. Benar-benar pergi. Meninggalkan aku sendiri, kembali berada dalam keterpurukan yang menjemukan.
Aku kembali menjadi peragu. Yang hanya bisa diam dan berpikir. Jalan mana yang akan membawa kebaikan. Kazuma pergi, dan aku kembali jatuh kedalam jurang yang sama seperti dua tahun yang lalu. Jurang ketidakpastian. Keledai tidak akan jatuh dalam sebuah jurang untuk yang kedua kalinya, kan? Tapi aku, ya. Aku kembali jatuh kedalam lubang yang sama, dengan kedalaman, bahkan dengan pola dan alasan yang sama.
Aku kembali merasa kehilangan, setelah beberapa waktu merasa jatuh cinta. Aku kembali merasakan sebuah kehampaan musim gugur. Hanya berselang tiga musim setelah aku merasakan romantisme itu. Tanpa cahaya, cinta, tawa, bahkan senyumpun tak tercipta. Yang ada hanyalah kesesakkan, kehampaan, dan kesedihan.
Aku tak yakin masih memiliki perasaan setelah sekian lama terjebak dalam ketidakpastian yang membuat segalanya mati rasa. Bahkan seluruh panca indraku. Aku sudah tidak dapat membedakan yang mana rasa sakit, yang mana bahagia. Bahkan aku sudah tidak mampu membedakan antara jatuh cinta dan patah hati.
Mataku masih tak beranjak. Masih terus menatap kosong kedepan. Tanpa jelas kemana arah pandangku. Mungkin kearah masa laluku, si pemilik hati, atau mungkin kepada Kazuma. Mungkin aku hanya menatap lurus kedepan. Seakan ingin membelah rumah-rumah dan gedung apartemen di depan pandanganku. Kemudian membiarkan tatapanku berakhir dengan sendirinya.
Kakiku semakin mati rasa. Tak mampu bergerak. Bahkan sekedar membenahi posisi dudukku. Entah memang aku tak berniat untuk beranjak atau aku memang sudah tak sanggup untuk beranjak. Pasrah saja aku membatu di tengah taman kota yang kerontang oleh jingga nan kelabu.
“Hari sudah gelap, sebaiknya kau pulang,” bariton yang lembut menyapa.
Aku hanya menoleh sebentar, kemudian kembali menatap lurus-lurus ke depan. Membelah rumah-rumah dan gedung apartemen yang menghalangi tatapanku. Seorang laki-laki, tak jauh berbeda dengan Kazuma. Hanya saja ia tampak lebih lembut. Tanpa gurat-gurat ketegasan yang dimiliki Kazuma.
Kazuma.
Mengapa aku masih memikirkannya lagi? Bukankah aku sudah kehilangannya? Bukankah ia sudah dimiliki oleh orang lain, atau mungkin oleh tanah? Aku sudah tidak pantas memikirkan laki-laki sepertinya lagi. Dan seharusnya hatiku sudah mati rasa.
Tes. Tes. Tes.
Lagi. Aku harus menangis. Tanpa pernah ada alasan yang jelas, kecuali Kazuma. Aku merindukannya. Meski hanya 3 musim aku bersamanya, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk mengukir sebuah kenangan.
“Jangan menangis. Aku memang tidak mengerti apa alasanmu menangis. Tapi aku tak pernah bisa melihat seorang gadis menangis. Kumohon…,” ia berkata lagi.
Aku terdiam. Masih menangis namun tanpa isakan.Ia laki-laki baik, aku meyakininya. Tapi aku tak mau jatuh cinta lagi.
“Aku Tetsuya,” katanya. Tangannya terulur cukup lama sebelum kemudian aku balik menjabat tangannya.
“Asuka,”
Hanya itu yang aku ucapkan. Tidak lebih satu hurufpun. Ia mengangguk kemudian duduk disebelahku tanpa mengucapkan apapun. Rasanya nyaman.
Tapi sekali lagi. Aku hanyalah seorang peragu yang terjebak dalam dua sisi kehidupan yang berbeda.Aku terjebak didalam sebuah dunia.Yang terletak diantara hitam dan putih.
Abu-abu. Daerah itu bernama abu-abu. Tanpa ada keterangan terang dan gelap. Hanya samar-samar tampak lembut, tapi di dalamnya begitu tajam, dan menyakitkan.
Dialah sang abu-abu. Yang menyimpan sekian banyak misteri tak terpecahkan. Juga misteri tentang senja yang kelabu.
Huh, mungkin senja kelabu itu bukan misteri. Karena hanya aku yang merasa demikian. Mungkin hanya aku yang tidak dapat melihat bias-bias kemerahan milik sang senja. Karena mata hatiku telah tertutup kabut tebal yang meragukan.
Seandainya saja takdir itu sebuah permainan labirin, aku yakin aku masih bisa menaklukkannya. Membawa kembali Kazuma kedalam kehidupanku. Dan menguncinya pada sebuah ruang tak berpenghuni dihatiku. Seandainya takdir itu sebuah kastil. Meski jalan-jalan yang meghubungkannya terlalu rumit, aku yakin aku bisa melewatinya dengan baik. Kemudian membawa Kazuma kembali dalam pelukanku. Tapi aku bukan Tuhan yang menggenggam takdir.
Musim gugur. Satu musim dengan sejuta kenangan. Menyimpan kenangan saat aku bersama Kazuma. Aku jatuh, dan terpuruk. Rasanya sangat sakit, dan aku ingin membaginya. Tapi aku takut segalanya akan menjadi seperti yang lalu. Cintaku hanya akan terhenti di musim yang sama tahun depan.
---
“Kau harus pulang. Ini sudah malam.” Kata yang sama, tertuju padaku entah untuk keberapa kali.
Ia begitu perhatian. Tapi hatiku masih rapuh untuk jatuh cinta. Aku mungkin masih ingin melangkah sendiri. Berjuang untuk keluar dari zona abu-abu ini. Lalu bangkit dengan kedua kakiku sendiri. Because autumn still for love, and for lost.
Ya. Karena musim gugur masih dimiliki dua rasa yang berbeda. Aku tak ingin jatuh cinta. Aku masih belum bisa merelakan apa yang seharusnya tidak aku miliki. Dan karenanya aku tak ingin mengenal musim gugur lagi. Tidak, sebelum aku bisa mengerti mengapa harus ada kata kehilangan.
Lelaki yang ada disampingku ini tidak beranjak dari duduknya. Ia hanya diam. Seolah diam adalah cara terbaik untuk mengungkap segala macam kata. Karena tidak semua kata bisa mewakili hati dan mampu mendefinisikan rasa. Aku menyadari itu.
Tapi apa laki-laki ini tidak merasa bosan?
“Tetsuya, apa kau tidak merasa bosan setiap hari menemaniku disini?” aku memberanikan diri bertanya. Setiap senja mulai menampakkan diri, bersamaan itu pula Tetsuya datang menemaniku disini. Tidak berbicara apa-apa, hanya menyuruhku untuk pulang saat gelap mulai mengaburkan pandangan, selalu seperti itu.
Tapi dia tidak segera menjawab pertanyaan yang aku lontarkan. Ia malah terus memandangku.
“Kau tahu? Itu pertanyaan pertama, bukan, tapi kata pertama selama aku menemanimu disini. Aku kira kau sudah mulai gila karena terlalu lama melamun disini, jadi aku tidak berniat membuka pembicaraan.” Senyum mengiringi bibir yang terus mencerocos itu, “Dan ya, aku sama sekali tidak merasa bosan. Pokoknya selama kau tidak bosan disini, aku pun begitu.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Aku menunggu sampai kau cerita sendiri kenapa kau sering melamun. Semua masalah itu ada solusinya, Tuhan tidak akan memberi masalah pada seseorang jika dia tidak bisa menyelesaikannya. Hidup itu terkadang memang aneh. Selalu memiliki misteri yang tidak pernah kita ketahui awal dan akhirnya. Tuhan selalu menyiapkan berbagai cara dan kejutan yang terkadang tidak bisa dieja oleh nalar manusia. Seperti halnya masalah yang membuatmu termenung setiap hari disini”.
“Kau bisa berkata seperti itu. Karena kau tidak pernah kan merasakan kehilangan? Aku merasakannya!”
“Kalau kau tidak tahu sebaiknya kau bertanya. Tidak hanya menarik kesimpulan sendiri. Apalagi kita baru kenal, ‘kan?” ujarnya masih dengan ketenangannya. “Aku juga pernah merasakan kehilangan. Gadis yang aku cintai mati di depan mataku sendiri. Dia tenggelam di pantai saat kami berlibur bersama. Apakah kau pikir aku tidak ingin menolongnya? Aku sangat ingin menolongnya, tapi tak bisa. Aku tidak bisa berenang. Dan akhirnya, dia-”
Tetsuya tercekat sesaat, lalu kembali mengulas senyum getir tipis.
“Dia tenggelam.” Lelaki itu diam beberapa saat sebelum kembali berkisah, “waktu itu aku merasa sangat bodoh. Kenapa aku tidak menceburkan diri saja menolongnya? Kenapa aku tidak berteriak meminta tolong? Aku hanya diam, kaget atas apa yang terjadi padanya”.
Dia menceritakan kisah itu sembari tersenyum. Dia masih bisa tersenyum? Kalau aku menjadi laki-laki ini, aku lebih baik bunuh diri.
“Kau masih menyesal sampai sekarang?” tanyaku.Laki-laki ini memang mengagumkan.
“Masih. Tapi buat apa terus terpuruk? Itu memang sudah jalannya. Sudah ditakdirkan. Sudah digariskan”.
Apakah aku bisa berpikir sepertinya? Melupakan pahitnya rasa kehilangan?
“Jadi kau tetap tidak mau bercerita padaku?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Aku dikhianati seseorang. Aku mencintainya. Mimpi masa depanku bersamanya. Tapi dia pergi meninggalkanku”.
“Masalah kita hampir sama. Intinya tentang cinta. Cinta memang ajaib, membuat banyak perubahan dalam diri manusia. Membuat dendam jadi damai, membuat duka jadi suka, atau sebaliknya membuat kasih jadi benci dan sayang jadi dendam. Mungkin cinta adalah satu-satunya hal yang paling rumit di dunia ini. Diciptakan untuk kebahagiaan, tapi terkadang menjadi sumber penderitaan. Tapi bukan berarti kau menyalahkan cinta itu sendiri. Karena Tuhan yang menciptakan rasa itu pada diri manusia.”
“Apa kau seorang psikolog cinta?” tanyaku heran. Ucapannya seperti sihir, membuatku berangsur-angsur melupakan masalahku sejenak.
Dia tertawa keras. Sampai ia harus membungkukkan badannya dan memegang perutnya untuk meredakan tawanya. Memangnya yang kukatakan lucu?
“Pengalaman yang membuatku bisa berkata seperti itu. Sekarang, apa kau merasa sangat membenci hidup?”
“Aku tidak membenci hidup. Aku membenci laki-laki yang telah menorehkan luka ini. Aku benar-benar membencinya!”.Ucapku penuh emosi.
“Cinta yang indah berakhir bahagia. Tapi cinta yang sengsara berakhir benci. Benci adalah bayangan dari cinta. Seperti sebuah cermin, keduanya sama tapi berbeda. Cinta dan benci adalah hal yang selalu ada dalam diri manusia. Cinta dan benci seperti kutub utara dan kutub selatan. Seperti sungai dan gurun. Keduanya adalah dua rasa yang berbeda dalam situasi dan waktu yang berbeda pula. Tapi keduanya punya satu persamaan. Cinta bisa menimbulkan rasa sakit, dan benci, juga menimbulkan rasa yang lebih menyakitkan. Kebencian adalah cinta yang tak tersampaikan. Dan, cinta adalah obat terbaik untuk rasa benci. Daripada termenung seperti orang gila disini, lebih baik mencari kegiatan yang bisa mengisi waktu luang,”
“Menurutku itu sulit.”
“Kau memang suka sekali menarik kesimpulan sendiri ya? Kata pepatah, ‘dimana ada kemauan, disitu ada jalan’. Ayo ikut aku!”
Tanpa menunggu persetujuan, laki-laki ini langsung menarik tanganku mengikutinya. Dia membawaku ke sebuah padang luas yang dipenuhi oleh ilalang. Bagaimana bisa tempat ini bisa luput dari perhatianku padahal aku ke taman kota hampir tiap hari? Mungkin rasa yang mendera hati ini sudah sedemikian parah hingga merenggut kesempatanku menikmati hal-hal kecil. Ya macam tempat ini.
Semilir angin berhembus pelan, membelai helai-helai rambutku. Aku yakin tempat ini sangat indah. Sayang sekali ini sudah malam. Untungnya sinar bulan di atas sana dapat sedikit memberikan cahaya.
“Aku sering ke sini jika aku punya masalah yang membuatku berada pada titik lelah. Apa kau mau aku beri tahu sebuah mantra penyemangat dalam menghadapi masalah itu?” Aku hanya mengangguk.
“Tutup mata. Ucapkan masalahmu yang kamu anggap besar itu.”
Aku terus melakukan apa yang dikatakan Tetsuya.
“Buka mata. Berteriaklah, seolah-olah masalah itu ada di depanmu. Teriakkan dengan sangat keras dan lantang, penuh keyakinan. ‘HEI, MASALAH BESAR! AKU PUNYA TUHAN YANG LEBIH BESAR!’ Katakan!”
Aku meneriakkan kata-kata itu. Seketika ada perasaan lega. Aku menyadari bukan hanya teriakan itu yang membuat aku lega. Tapi mengungkapkan masalah itu ke orang lain. Selama ini aku hanya memendam kesedihan itu sendiri. Perlahan bibirku menyunggingkan senyuman, senyuman pertama semenjak kenangan itu ada. Aku harus berdamai dengan masa lalu itu.
Mataku mengejar pemuda yang berdiri di sampingku, dan membagi senyum pertamaku padanya.
“Terima kasih,”
Tetsuya mengangguk, dan tersenyum manis. “Bahagia itu datang tepat pada waktunya. Menyapa insan yang mau berbagi ketulusan. Karena setiap cinta, harus dibalas dengan cinta. Bahagia itu diciptakan oleh orang-orang yang menginginkan kebahagiaan. Hanya dengan bersyukur, bahagia itu akan selalu bersama dalam diri kita.”
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.