Demi Anak Cucu Negeri
Tangan-tangan
mengepal
Tak
bermaksud geram
Tak
bermaksud pinta belas kasihan
Kalau
saja gelisah kami dipandang
Semula
kami berkawan-kawan
Meninggalkan
ladang sewaan
Lalu,
kami adalah nyawa yang hasratnya terjerat
Ikut-ikut
tawaran mendulang emas
Begitu
ceritanya,
Kami
diterbangkan dengan harapan
Biar
lepas beban bumi
Mengusung
nasib yang tak pasti
Walau
masih berupa gelap awan, tapi masih bisa ditunggu datangnya hujan di kemarau panjang
Kami
berempat, kini bernyawa di seberang
Jauh
dari bumi kelahiran
Sukir,
Bukir, Pakir, dan namaku
Menempelkan
asa di punggung lekat-lekat
Pantang
pulang sebelum habis kontrak
Walau
hati berontak
Mendengar
sumpah serapah majikan
Sukir
bilang, ia sering merenung
Tak
sesuai harapan
Benarnya,
intan hanya milik orang-orang yang menggadaikan
Kita
dipaksa tahu, padahal taktahu
Tapi
sudah terlanjur bilang tahu
Bisa
apa, selain merenung, mendengar mereka duduk leha-leha menikmati entah hasil keringat
siapa
Kata
orang-orang begitu,
Bukir
dan Pakir menyambung
Ah,
sudahlah, kenapa tak bersyukur
Beruntung
keringat kita masih berbayar
Dan
pulang melunasi hutang
Sekiranya
anak cucu di negeri bisa berpendidikan
Bisa
makan nasi dan menikmati kiriman
Kita
itu apa, tinggal nyawa orang tak berdaya di negeri yang entah
Harus
tahu diri, harus berterimakasih sehabis diberimakan
Harus
obah seperti dikehendaki tuan
Dan,
nama kubilang
Kita
ini hidup di padang gersang
Yang
sebenarnya sudah tahu diri
Jadi
nyawa seperti kita ini, siap jadi korban sesuai giliran
Yah,
bukankah memang hidup ini sekedar menunda kematian?
Kami,
disebut kaum buruh migran
Berdiri
tegak searah matahari
Yang
pada musim kemerdekaan, meneriakkan lagu raya di tanah negeri seberang
Sambil
menunggu mutiara untuk dibawa pulang
Setelah
setiap hari diombang-ambing realita kehidupan
Ponorogo, 3
Maret ‘17
Rina PR
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.