Masih Tentang Warung Kopi
Oleh : Nining
Menelanjangi kata demi kata, memoar
melucuti tubuhnya, dalam asa yang lesap digantung tanya.
Mataku tak mampu membacamu lebih
dalam.
Hatiku tak mampu menyimpanmu lebih
lama.
Bukankah kota
ini jadi bait terpanjang dalam singkatnya sebuah cerita?
Atau, biarkan saja daun gugur di
tanganmu tetap diam selamanya.
Masih pantaskah, siapa, apa untuk
dikenang?
Meretak di tepian. Aku, dengan
segala teka-tekimu.
Lalu, biar angin mengembuskan
napasnya.
Menjamuku dengan satu kepastian;
bukan harapan.
Merobek helai rambut setipis benang
di atas cermin.
Kau, diketuk senyum dalam mimpiku.
Lalu, tidakkah kita ingin menabur rindu?
Diam adalah tanda selesainya cinta,
bagimu. Tidak untukku.
Diam adalah tanda bahwa cinta tidak
untuk ditunggu, bagimu. Tidak untukku.
Diam justru jawaban tidak ada akhir
meski berakhir.
Diam justru pernyataan bahwa ia
begitu dalam, bagiku. Tidak untukmu.
Namun kepergian adalah pertanyaan,
yang tak perlu berkisah dalam kasih.
Namun kau adalah keajaiban, yang
tamat sebelum selesai.
Sedang aku sebatas bayang, yang
usai dimakan rayap.
Melelahkan bukan? Bersembunyi dari
kenyataan, mematikan harap yang dibekap kala kita hanyalah kata.
Bila doa dipanjat diam-diam,
bagaimana dengan perasaan?
Di dalam sana,
yang tak kuketahui dasarnya.
Prosa adalah sajak paling
sederhana,
yang mewahnya menyampaikan deret
bahasa Dariku, yang tak ingin kau baca.
Darimu, yang entah siapa.
______________________
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.