Nalar Kritis Nurel Javissyarqi
"Kritik itu semacam ‘saudara tidak muhrim,’ boleh
dinikahi dan ketika sudah nikah, masih dapat membatalkan wudhunya. Jikalau
kritik dari ‘sesama muhrim,’ dapat disebut nepotisme, bukan ‘kritik’ (karena
tak boleh dinikahi), atau pujiannya tidak mempengaruhi nilai. Kritik yang
berhasil, sekali sentuh di mana pun akan membatalkan seluruh tubuh bidang yang
dikritisi." (Nurel Javissyarqi, 2011).
Pernyataan Nurel Javissyarqi di atas dimuat
di jendelasastra.com, 21 Januari
2014. Nurel menggambarkan kritik dengan kiasan muhrim dan tidaknya kritik
dengan obyeknya. Pernyataan tersebut menekankan keseriusan dalam membuat
kritik.
Saat hari mendekati senja, tepatnya 11 April 2017, kru aL-Millah
menemui sastrawan itu dalam diskusi santai di Wakoka Ponorogo. Ketika kru menanyakan biodatanya, Nurel menyarankan
agar mengutipnya dari sebuah laman web yakni, pustakapujangga.com. Nurel Javissyarqi lahir di Lamongan, 8
Maret 1976. Sejak kecil suka mendengarkan dongeng, terutama kisah Kuda
Sembrani yang dituturkan buyutnya Kasipah. Ayahnya seorang guru, ibundanya
pedagang. Awalnya ia ingin jadi pelukis dari kegemarannya menggambar sejak
belia.
Saat di bangku Ibtidaiyah ia mengisi waktu siangnya dengan menggembala. Di masa Tsanawiyah, ia menghabiskan sorenya
masuk Sanggar Alam yang diasuh pelukis Tarmuzie 1989, (vakum lama, terakhir pameran tahun 2001). Juga
sempat hijrah ke Jombang untuk sekolah
Aliyah. Tepatnya tahun 1994 mulai
belajar menulis secara autodidak di Pesantren Al-Aziziyah Denanyar, yang
pengasuhnya adalah KH Abdul Aziz Masyhuri (almarhum 15 April 2017),
penulis dan penerjemah kitab arab klasik. Ia mulai belajar menulis karena hobi
menggambarnya tidak tersalurkan di sana.
Cara belajar menulis Nurel adalah autodidak.
Ia lebih banyak mengamati dan menelaah saat ia belajar. Dulu, saat ia
mangajukan karya dan ditolak, ia selalu curiga dengan seniornya, mereka hanya takut karyanya terkalahkan
olehku, pikirnya. Sejak masa
pembelajaran menulis, ia telah berpikir kritis.
Dalam berkarya, Nurel kritis dalam mengedit
tulisannya. Tak serta-merta
puas dengan sekali dua kali, minimal
satu tulisannya telah melewati tujuh kali edit serta renungan yang panjang. Ia
mengaku lebih suka dikutip dari tulisannya ketimbang perkataannya. Karena
tulisannya telah melewati proses panjang, bukan kespontanan seperti saat
bicara.
Nalarnya tertajamkan di saat belajar dan
menulis, namun karyanya turut serta membuktikan nalar kritisnya. Bukunya yang
berjudul Menggugat Tanggungjawab
Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, 2011 mengkritisi karya Sutardji yang
berlebihan dalam mengungkapkan peran penyair.
Karya itu berawal di tahun 2008, saat ia
menemukan kutipan Sutardji di web Infoanda
(bukan Republika): “peran penyair menjadi
unik, karena – sebagaimana Tuhan tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas
ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya – secara ekstrim boleh dikatakan
penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas
puisinya”. Pernyataan ini menggugah nalar kritis Nurel.
Nurel mendapati cacatnya pernyataan Sutardji.
Ia merenungkan tanggungjawab kepenyairan yang disampaikan oleh Presiden Penyair
itu. Pun ia mencari, sudahkah ada kritikus atau penyair angkatannya yang
menegur Sutardji. Setelah tak didapatinya, ia yakin untuk mulai menulis
kritiknya.
Orasi kebudayaannya SCB di event Pekan
Presiden Penyair (dimuat di Republika, 9
September 2007) juga memelintir
makna Surat As Syuara’ ayat 225-227. Ia
berkata, “manusia sebagai makhluk imajinasi Tuhan pada gilirannya
menciptakan pula imajinasi. Para penyair sebagai makhluk yang profesinya
menciptakan imajinasi atau mimpi-meskipun posisinya jauh di bawah
Tuhan-memiliki kesejajaran seperti Tuhan. Penyair menciptakan imajinasinya,
mimpinya, lewat kata-kata sbagaimana Tuhan menciptakan mimpinya lewat firman.”
Berdalil dengan Tafsir Jalalain, Nurel perjelas terjemah ayat itu dengan menggunakan
keterangan kalimat di dalam kurung. Ia menjelaskan bahwa orasi Sutardji
bertolak belakang dengan ayat ini.
Mengutip pula ia dari buku Raja Mantra Presiden Penyair, karya
sastrawan Taufik Ikram Jamil pada esai berjudul Bersama Sutardji Colzoum Bachri. Nurel memaparkan dan menjelaskan
bahwa Taufik ingin menegur Sutardji secara halus dalam karyanya itu.
Juga dalam menalarkan Kun Fayakun pada orasi Sutardji keluar dari maksud sebenarnya dan
berkata, "Ketika Tuhan merindu
memimpikan dirinya agar dikenal dan lepas dari kegelapan rahasia-Nya, Ia
berfirman: Kun fayakun. Maka jadilah alam semesta ini”.
“Manusia sebagai bagian dari alam semesta serta alam semesta yang
terkandung di dalam dirinya adalah bagian dari mimpi Tuhan, seperti yang
dikatakan oleh sufi besar Syekh Muhyiddin ibn Arabi. Dari mimpinya, dari
imajinasiNya, Tuhan melalui kata-kata kun fa yakun, menciptakan sejarah jagat
raya berikut sejarah manusia di dalamnya”
Berdalih dari Ibnu Arabi tanpa menyebutkan
bukunya, berlebihan mengarahkan pendapat Ibnu Arabi merujuk ke imajinasi. Nurel
menjabarkan teks pengantar dalam buku Ibnu Arabi yang searah dengan ucapan
Sutardji serta membandingkannya, hingga terlihatlah kesalahan tafsir dari
Penyair angkatan 70’an itu.
Setelah melalui proses penulisan dan editing,
jadilah arsip buku yang berisi gugatan atas karya dan orasi Sutardji. Buku itu
berjudul Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri dan diterbitkan Pustaka Pujangga pada tahun
2011. Pengelana dari bencah Jawa ini
menyayangkan banyaknya tokoh yang salah dan diabaikan begitu saja. Namun,
sejarah akan terus bergulir. Kebenaran akan mengalir dan terungkap, selama
apapun itu, tegasnya.
Mengibaratkan seperti perang, Nurel menulis
bukunya dengan strategi yang matang. Bangunannya dibuat berlapis benteng,
banyak referensi. Hingga tidak akan tertembus dari sudut manapun. Setelah
terbit dan digelar bedah buku, banyak yang menantang untuk mengkritisi balik
buku itu. Namun, karena kuatnya data-data yang terkandung, tidak ada yang
benar-benar merealisasikan untuk menggugat balik.
Akan diterbitkan buku kedua sebagai
pelengkapnya dalam waktu dekat ini yang tidak hanya mengkritisi Sutardji, namun penyair lainnya.
Salah satu yang dituturkannya, akan menggugat pernyataan Taufik Ismail dalam
bukunya, yang menuliskan bahwa penyair adalah penguasa kata-kata. Padahal menurutnya, kata-kata
bukan hanya digunakan dan dikuasai oleh penyair. Politikus, ekonom, dan banyak
profesi lain tentu menggunakan kata-kata.
Saat kru bertanya bagaimana seharusnya
seorang penyair bersikap, ia menjawab, penyair tidak lebih seperti penyampai kebaikan. Seperti setiap manusia yang
bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Terlebih apa yang disampaikan ke
orang lain. Seyogyanya, penyair menyampaikan hal yang baik dan membawa manfaat
bagi sekitarnya. “Seperti seorang menulis puisi, tidak hanya
mengungkapkan bahasa hati, tapi menggerakkan hati pembacanya,” ungkapnya.
Sang pengelana ini juga beranggapan bahwa penyair tidak seharusnya
keluar dari ajaran-ajaran agama. Contoh banyak penyair terdahulu yang tetap
mengindah kata tanpa keluar dari koridor ajaran agama. Tetapi karyanya tetap
menjadi idola.
Kru juga mencoba menelisik opini Nurel tentang sastra masa
kini. Menurutnya, sastra masa kini bersifat dangkal. Sebagai penanda, pasca reformasi banyak penulis bermunculan namun belum
kritis. “Banyak yang hanya mementingkan tampilannya saja. Banyak penampilan di panggung, banyak yang membuat buku, tapi kurang diskusi dan bedah
buku,” ungkapnya santai.
Terakhir, Nurel
Javissyarqi berpesan bahwa proses kreatif entah menulis atau mengasah daya
kritis adalah dengan cara melewati keseluruhan proses dengan sungguh-sungguh.
Ia menambahkan,“Masa depan tidak
digerakkan oleh otot tetapi nalar”, tuturnya saat bersama Forum Penulis
Muda IAIN Ponorogo sebelum diskusi di Wakoka bersama kru aL-Millah.
___________________________
Penulis: Adzka Haniina Al Barri
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.