Nurel Javissyarqi, Sastrawan Pelukis Kata
Sebongkah berlian akan
memiliki nilai jual tinggi jika ia mau keluar dari dalam tanah dan mau bersabar dalam menghadapi proses
pengolahan yang membutuhkan waktu lama. Tapi jika sebongkah berlian tersebut tidak
mau keluar dari perut bumi dan tidak mau merasakan kerasnya proses pengolahan,
maka ia hanyalah sebongkah batu berlumpur yang tidak berharga.
Seperti halnya perumpamaan di atas, seseorang yang tidak mau
berproses dan tidak mau bersungguh-sungguh dalam prosesnya tidak akan
memberikan manfaat apa-apa kepada dirinya maupun lingkunganya, yang ada
hanyalah ia akan dipandang rendah, diinjak-injak dan menjadi beban bagi orang
disekitarnya. Hal inilah yang tidak ingin dirasakan oleh seorang sastrawan
Nurel Javissyarqi yang saat ditemui di Wakoka ia mengaku lebih akrab jika dipanggil cak Nurel.
Tidak jarang kita dapati tokoh-tokoh terkenal di dunia pada awalnya mereka adalah anak
yang kurang pandai bahkan tidak jarang juga yang dikeluarkan dari sekolah
mareka. Salah satunya adalah Thomas Alva Edision yang
pernah mengalami kesulitan belajar pada masa kecilnya. Sama halnya dengan Edision, cak Nurel
yang lahir dengan nama Nur Laili Rahmat pada 8 maret 1976 di Lamongan, awal mulanya adalah anak kurang pandai bahkan ia baru bisa membaca
ketika sudah di bangku kelas 5
MI. “Saya dulu itu bukan anak yang pintar. Kelas 5 MI saya baru
bisa membaca, itu pun saya masih belum paham dengan apa yang saya baca,” ujarnya.
Beberapa hal yang menyebabkan
cak Nurel menyebut dirinya yang dulu sebagai anak yang bodoh bukan hanya karena
kesulitanya dalam belajar, namun juga disebabkan karena kebenciannya dengan
membaca dan karena ia sendiri benci jika melihat teman-teman yang meluangkan
waktu mereka untuk membaca buku. “Saya dulu itu tidak suka membaca buku dan saya sangat benci
melihat orang yang membaca buku.”
Memasuki usia MTs labelnya
bertambah, selain berlebel anak bodoh ia juga memiliki label anak nakal. Hal
ini berawal ketika muncul keinginan untuk mencari jati dirinya dan hasratnya
untuk menjadi terkenal. Berbeda dengan anak seusianya yang jika ingin meraih
hal tersebut dengan berbuat dengan hal positif dan meraih prestasi setinggi-tingginya, ia
malah memilih menjadi anak yang nakal sebagai perwujudan dari dirinya yang asli
dan untuk menarik perhatian orang-orang disekitarnya. “Menginjak usia MTs
saya mulai mencari jati diri, saya ingin menjadi anak yang terkenal dengan cara
menjadi anak yang nakal,” kenangnya.
Waktu pun berlalu dan lambat
laun mulailah minatnya untuk membaca dan menulis muncul. Menginjak kelas 2 MA, kepribadiannya
mulai berubah, yang awalnya ia benci membaca buku kemudian hatinya mulai tergugah dan sadar akan pentingnya membaca
buku. Ia yang awalnya benci dengan orang yang membaca buku sedikit demi sedikit
mulai menyukai buku. Bukan hanya mulai suka membaca buku tapi pada masa ini
bakat kepenulisannya mulai muncul, terbukti dengan lahirnya 13 puisi yang ia
tulis sendiri pada masa itu.
Hal
yang menjadi kebanggaan bagi cak Nurel ketika ia tidak lulus S1 tetapi sering
memberikan materi tentang kepenulisan kepada
mereka yang sedang menempuh maupun sudah lulus sarjana. Ketidak lulusanya dari
Universitas Widya Mataram Jogja bukan
tanpa sebab. Kuliah S1-nya
di fakultas Ekonomi sebab paksaan
dari kedua orang tuanya,karena keterpaksaan itulah ia sengaja tidak meluluskan kuliahnya
dalam rangka ingin membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa ia bukan
termasuk tipe orang yang suka dipaksa. “Saya
S1 tidak lulus tapi saya bisa memberikan materi di bangku-bangku kuliah. Inikan
tidak masuk akal kalau dilogika, bukan ? Jadi
pada intinya ya sungguh-sungguh itu. Kita buktikan dengan karya
kita bahwa kita bekerja dengan sungguh-sungguh,” tuturnya saat di Wakoka.
Menjadi seorang penulis
bukanlah keinginan awal cak Nurel. Menggambar adalah hobi yang dimiliki cak
Nurel sejak kecil sehingga awal kedatanganya ke Jogja adalah agar ia dapat menjadi
seorang pelukis bukan menjadi penulis. Dikarenakan mahalnya cat pada saat
itulah yang mendorong dirinya untuk berfikir dan menemukan solusi. Bagaimana
caranya agar ia tetap dapat mengambarkan keindahan alam tanpa membebani
keuangannya maka dengan kata-katalah akhirnya ia mengambarkan keindahan alam. “Karena niatan saya itu menjadi
pelukis terus tidak kesampaian atau saya ingin merekam alam itu dengan lukisan
tidak mampu karena cat mahal dan kanvas juga ratusan ribu jadi saya merekam
alam lewat kata-kata,” ungkapnya.
Bukan kehidupan kalau tidak
ada rintangan. Rintangan demi rintangan pernah dirasakan cak Nurel semasa
proses kepenulisannya. Di antara rintangan yang paling berat yang ia alami
adalah pada tahun 2012, tanpa diinginkan dan tanpa dibayangkan keluarga
yang selama bertahun-tahun ia bangun kandas ditengah jalan. Hal inilah yang
menyebabkannya menduda dan melalang buana dari Lamongan ke Ponorogo selama 3
tahun. Untuk menjaga akalnya tetap waras hal yang dapat ia lakukan hanyalah
membaca buku tanpa menghasilkan karya. “Mungkin karena kebetulan atau apa mungkin
sudah takdir saya itu sudah menikah dua kali. Pernikahan pertama saya pisah itu
tahun 2012, terus saya mengembara di Ponorogo ini sampai 2014, saya menulis pun
tidak bisa, jadi saya drop pada saat itu, saya hanya bisa membaca, itupun hanya
novel, saya tidak mampu membaca buku yang lain.”
Tahun 2015, mulailah ia membangun keluarganya dan menulis kembali. Hal
yang menarik dari penikahan kedua ini adalah istri keduanya tersebut mau ia
nikahi walau hanya dengan maskawin puisi yang ia buat. Maskawin puisi tersebut
bukan karena didasari keinginan agar penikahannya anti mainstream, tapi karena pada
saat itu ia memang tidak memiliki apapun untuk dibelikan maskawin. Karena ketulusan cinta istrinyalah yang menyebabkan ia mau dipinang walau
hanya dengan puisi. “Alhamdulillahnya ketika saya menikah yang
kedua saya tidak punya apa-apa, tapi istri
saya mau saya nikahi hanya dengan maskawin puisi. Jadi alhamdulillah saya
tertolong dengan puisi juga, mungkin ketika saya tidak bisa menulis puisi atau
apa, saya tidak bisa nikah lagi,” candanya.
Melalui goresan tinta emasnya
tidak kurang dari 13 buku telah cak Nurel tulis hingga saat ini. Namun karena
terhalang oleh biaya, hanya 4 judul saja yang mampu ia terbitkan, yang lainnya
secara stensilan.
Buku-buku tersebut beraliran sastra, antara lain adalah Menggugat Tanggung
Jawab Kepenyairan Sutarji Calzoum Bachri, Trilogi Kesadaran, Antologi Puisi
Tunggal “Kitab Para Malaikat”, dan Antologi Puisi “Balada Takdir Terlalu Dini”
. Cak
Nurel sekarang sedang merampungkan sebuah karya kritik sastra yang masih dalam
tahap perevisian, yang berjudul “Membongkar Mitos Kesusastraan
Indonesia”.
Penulis: Mofik el-abrar
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.