KUSEBUT WAYANG
KUSEBUT WAYANG
Oleh Arini Sa’adah
Fideisme merupakan anggapan
bahwa nalar manusia tidak mampu menjangkau Tuhan, saya sebut sebagai doktrinisasi.
Memang ada beberapa hal yang tak dapat dijangkau oleh nalar. Tetapi banyak hal
juga yang relistis tentang Tuhan. Masyarakat diberikan pengetahuan secara
dogmatis dan tradisi indah turun temurun. Ini menyebabkan banyak sekali
penganut agama yang hanya berlabel KTP.
Mengapa? Karena mereka hanya sekadar percaya tanpa mengetahui asas
kepercayaannya. Hingga pada akhirnya iman yang disandang para penganut agama
mudah digoyahkan. Bahkan tidak disenggol pun ia akan runtuh sendiri akibat arus
modernisasi. Lalu bagaimanakah sebagai masyarakat yang teisme atau beragama seharusnya
bertindak?
Pemahaman akan adanya
Tuhan berkaitan dengan ideologi. Ideologi sendiri berhubungan dengan keimanan
di dalam hati. Dia tidak mempertanyakan agama secara lahiriah. Akan tetapi
bagaimana ajaran itu diyakini dalam hubungannya dengan Tuhan. Hubungan individu
dengan Yang Agung melewati pengalaman spiritual hingga aliran teisme ini
benar-benar berada dalam keyakinan skenario yang dibentuk-Nya. Selanjutnya
skenario Tuhan itu berlaku bagi manusia dan semesta. Karena sebagai pencipta
maka kehendak Tuhan itu bersifat mutlak (absolut).
Menurut salah satu buku
yang ditulis oleh Sujiwo Tejo dan Dr. MN. Kamba, bahwa kehendak Tuhan pastinya absolut.
Sehingga sesuatu tidak akan terjadi di luar kehendak Dia. Dari sini saya
teringat ilmu yang didoktrinkan kepada saya semenjak duduk di SLTA dulu bahwa manusia
hanyalah “wayang” dan Tuhan sebagai Dalangnya. Hingga di masa lampau muncullah
aliran Jabariyah yang menganut keras bahwa manusia tidak memiliki kewenangan
untuk berbuat. Penganut jabariyah ekstrim hanya pasrah dengan apa yang
dilakukan Tuhan kepada mereka tanpa ada usaha perbaikan kualitas hidup di
hadapan-Nya.
Sebenarnya kata wayang
dari dulu mengganggu pikiran saya. Salah satu guru yang saya tanya mengenai
kegelisahan itu, alih-alih kembali melontarkan pertanyaan yang membuat saya
semakin galau. Pertanyaannya begini; memangnya kamu mau disebut sebagai
wayang yang tak memiliki kuasa sedikitpun?
Jadi sebenarnya manusia
itu menjalankan kehendak Tuhan baik melalui kehendaknya sendiri sebagai manusia
maupun kehendak Tuhan yang asli. Tetapi sangat sulit membedakan atas keduanya.
Ini bukanlah persoalan yang gampang. Karena ketidakmampuan manusia memahami
kehendak Tuhan maka manusia diberi kemungkinan untuk memilih. Sehingga kegiatan
memilih merupakan hak dasar bagi manusia. Pepatah dunia mengatakan “hidup
adalah pilihan”.
Tentunya perilaku
memilih ini sangat beresiko. Seseorang yang mengejar kehendaknya sendiri akan
beresiko kelelahan jasmani dan batin. Apalagi ketika kehendak itu tidak dapat
mencapai taraf hasil yang dikehendaki. Ini bukan berarti mengikuti kehendak
Tuhan itu lebih mudah. Karena seperti yang saya sebut di atas bahwa manusia
tidak mampu mengetahui bahwa ini kehendak-Nya apa bukan. Maka kita percaya akan
kehendak kita sendiri dalam arti hasil yang dicapai oleh kehendak manusia
merupakan hasil dari kehendak Tuhan juga. Pilihan kita untuk kebaikan adalah
pilihan Tuhan. Karena Tuhan adalah cinta dan dalam cinta tak dikenal mana
kehendakmu mana kehendakku. Sebab keduanya sudah melebur menjadi kebersatuan.
Kedua belah pihak, Tuhan dan manusia, masing-masing sudah saling mengerti dan
memahami kehendaknya, pada akhirnya tidak perlu mengejar kehendaknya
sendiri-sendiri.
Disamping itu ada peran
kejahatan di kehidupan ini. Sujiwo Tejo menyebutnya bukan sebagai kejahatan,
akan tetapi sebagai kebaikan yang tidak sempurna. Tuhan menciptakan skenario
juga beserta para pemerannya. Diciptakan pemeran antagonis tentu diciptakan
pula pemeran protagonisnya. Saya ambil contoh di Indonesia dengan permasalahan
korupsi yang sangat kompleks. Peran koruptor sebagai pelaku kejahatan dan peran
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaku pengawas misalnya. Apabila peran
KPK tidak maksimal maka peran koruptor sebagai pencuri uang rakyat akan
merajalela. Tetapi ketika peran KPK sesuai dengan fungsinya yang maksimal maka
peran koruptor hanya sebatas bayangan.
Selain itu juga
terdapat kasus-kasus pencurian di masyarakat. Banyak orang yang mencuri sebab
keterpaksaan. Dari kasus itu ketidaksempurnaan bukan terletak pada pencurinya
akan tetapi pada pemerintah yang tidak sempurna dalam menjalankan perannya
sebagai penyedia pekerjaan bagi masyarakat. Juga di kasus lain pencuri yang
menjalankan aksinya karena kepepet disebabkan oleh ketidaksempurnaan
masyarakat untuk menyantuni yang bersangkutan.
Permasalahan-permasalah
itu dapat dilihat dari dua perspekrif secara bersamaan. Dalam perspektif Tuhan pencuri
dan koruptor sedang menjalankan perannya dalam scenario Tuhan. sedangkan, dalam
perspektif manusia bahwa mencuri adalah kejahatan karena tidak sesuai dengan
hati nurani. Maka dari itu, kita bisa memilih untuk melakukan yang terbaik.
Apapun hasilnya ketika diawali dengan niatan yang positif maka sebuah proses
akan terasa indah untuk dinikmati.
Selanjutnya alangkah
baiknya ketika manusia melihat fenomena-fenomena bukan dari sudut pandang
perlawanannya, baik versus jahat, kaya versus miskin, senang versus sedih, dan
sebagainya. Akan tetapi melihat fenomena yang terjadi di realitas kehidupan ini
berdasarkan nilainya. Manusia yang memperoleh pencerahan hati dan fikiran tidak
lagi melihat emas dan tanah liat dari objeknya. Tetapi melihatnya berdasarkan
relatifitasnya. Karena nilai keduanya terletak pada pemaknaannya.
Sesuatu yang menarik
untuk diceritakan adalah ketika surga dan neraka tidak lagi dipandang sebagai
antonim kata. Melainkan dilihat dari pemahaman fungsinya yang mendalam. Surga
yang digambarkan indah dengan segala kenikmatan dikhawatirkan akan menjadikan
manusia berlomba-lomba menggapainya hanya untuk pemuasan hasrat diri. Apabila
bukan karena cinta, maka surga hanya sebuah siksa.
Di sana juga ada neraka
yang dengan gambarannya membuat manusia merinding. Tetapi mari mencoba memahami
fungsinya. Tentu Tuhan menciptakan keduanya berdasarkan fungsi masing-masing.
Neraka terasa nikmat ketika fungsinya sebagai pemurnian diri untuk menuju
kebersatuan dengan Yang Maha Suci. Bukankah dalam hal cinta, segala derita dan
nestapa adalah suatu kenikmatan. Neraka disebut sebagai suatu proses penyucian
dari dosa-dosa sehingga ketika bertemu kembali dengan Sang Pujaan, ia dalam
keadaan murni dan suci. Seberat apapun sakit dan derita, itu merupakan
kenikmatan cinta apabila pada akhirnya ia akan bercumbu mesra dengan Yang
Abadi.
Memang benar manusia hidup adalah sebagai
wayang. Manusia berjalan dan duduk sesuai atas kehendak Tuhan sebagai Dalang.
Tetapi manusia memiliki kehendak sendiri untuk melaksanakan plot atau
alur yang telah dibuat dalam skenario-Nya. Sehingga pada akhirnya segala hal
yang terjadi adalah kehendak Tuhan berdasarkan skenario itu. Kehendak Tuhan dan
manusia akan menyatu dalam cinta yang melahirkan kesempurnaan cerita panggung
sandiwara. Karena pada dasarnya Tuhan menginginkan manusia untuk mengetahui
bahwa dunia adalah sandiwara.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.