MENYOAL HTI: KONTROVERSI YANG TAK KUNJUNG USAI
lpmalmillah.com, Ponorogo -Indonesia
adalah negara yang menjunjung tinggi ideologi pancasila dan menghargai adanya
perbedaan atau pluralisme. Namun,
ketika dihadapkan dengan ancaman-ancaman yang mengganggu stabilitas negara,
tentu warga negara Indonesia akan melakukan saving terhadap NKRI seperti yang terjadi
akhir-akhir ini.
Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) adalah salah satu organisasi masyarakat
(ormas) Islam. Orientasinya jelas adalah dakwah Islam.
Salah satu ciri khas dari HTI sendiri adalah menegakkan sistem khilafah. HTI meyakini apabila khilafah dan syari’ah sudah ditegakkan, maka akan menghapus semua problema yang terjadi di masyarakat. HTI yang disinyalir membawa
prinsip khilafah
untuk ditegakkan di Indonesia menimbulkan banyak kecaman dari berbagai ormas Islam lain dengan dalih negara Indonesia didirikan bukan hanya oleh Islam saja melainkan oleh berbagai macam agama.
Saat Aksi "Penolakan Gerakan Anti Pancasila" Marak
Menyikapi dari problema
HTI tersebut, menyebabkan banyak terjadi aksi baik yang dilakukan mahasiswa
maupun ormas di berbagai daerah di Indonesia dengan mengatasnamakan aksi
penolakan gerakan anti pancasila, tak terkecuali di Ponorogo. Sabtu (6/5/17) telah digelar aksi penolakan gerakan
anti pancasila oleh sejumlah ormas di Ponorogo. Aksi ini menyerukan untuk menolak
segala macam bentuk gerakan yang mengancam keutuhan NKRI dan Pancasila, serta menuntut pemerintah untuk membubarkan HTI yang dinilai makar melanggar perundang-undangan yang berlaku.
Sementara
menurut Syamsul Ma’arif selaku ketua gerakan pemuda (GP)
Anshor, aksi ini adalah bentuk melindungi negara. Melindungi NKRI merupakan
kewajiban. Ia melanjutkan, sebagai muslim, tidak mungkin dapat melakukan ibadah
tanpa ada negara yang melindungi. Karena negara menjadi perantara agar muslim
dapat melaksanakan kewajiban, maka menjaganya menjadi wajib. Syamsul juga mengatakan telah mengingatkan anggota HTI
secara personal. Namun secara resmi tidak bisa dilakukan seenaknya. Maka dalam
aksi ini esensinya mengingatkan pemerintah atas pelanggaran HTI.
Masih menurut Syamsul, tantangan yang dihadapi setelah ini adalah
perundang-undangan. Dalam UUD, seseorang
atau kelompok tidak akan dijatuhi hukum tanpa bukti kriminalnya. Gagasan dan
pemikiran seseorang tidak bisa dijatuhi hukuman. Ia melanjutkan, dalam hal ini
gagasan HTI berbeda, karena akan menimbulkan perpecahan di NKRI ke depannya. “Kami bergerak cepat, sebelum yang salah
dianggap benar”, kata
Syamsul.
Menanggapi digelarnya aksi tersebut, Dewan
Pemimpin Daerah HTI Ponorogo, Agus Khalid, berkomentar aksi ini merupakan hak
untuk menyampaikan pendapat. Setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya,
termasuk penolakan. Sedangkan esensinya, dianggap serangkaian proses dakwah HTI
sendiri. “Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan dakwahnya pun mendapat peolakan dari pihak-pihak lain.
Sehingga, kami tetap menganggap pengunjuk rasa tersebut sabagai saudara. Tetap
menjalin ukhuwah meskipun sekarang berbeda pendapat”, ujar Agus Khalid.
Digelarnya aksi ini tentu bukan tanpa alasan
yang jelas. Diberbagai daerah pun juga demikian. Banyak aksi yang
mengatasnamakan penolakan gerakan anti pancasila yang memiliki tujuan yang sama
yaitu melindungi NKRI. Lantas bagaimana
sejarah dibentuknya HTI? Apa
saja kegiatan dan visi-misinya,
hingga dianggap mengganggu stabilitas tanah air dan memicu aksi penolakan
serupa di berbagai tempat di Indonesia?
Menolak Lupa Lahirnya HTI
Dilansir dari Republika.co.id, di dalamnya dijelaskan
bahwa Abdul Qadim Zallum,
yang belakangan menjadi imam kedua Hizbut Tahrir, mengajukan gagasan pada
1950-an. Menurut dia, umat Islam sedunia perlu konsep pemerintahan yang layak
untuk mengatasi persoalan-persoalan era kontemporer. Kemudian, lahirlah kelompok studi (kutlah) yang mengkaji fakta umat Islam,
baik masa lalu maupun visi masa depannya. Kelompok ini lantas menetapkan
pendirian negara khilafah adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan sistem
Islam dalam kehidupan. Pada 1953, Hizbut Tahrir didirikan di Baitul Maqdis,
Palestina, oleh imam pertamanya, Taqiy al-Din al-Nabhani.
Sosok al-Nabhani, sapaannya, sebelumnya pernah aktif di Ikhwanul Muslimin
Yordania. Hizbut Tahrir dimaksudkannya sebagai partai politik independen.
Al-Nabhani juga mengkritik gerakan Pan-Islamisme dan Pan-Arabisme yang
dianggapnya sebagai “polemik bertele-tele tanpa membuahkan kesimpulan dan
hasil”.
Hizbut Tahrir yang bermula di Yordania, kemudian
meluas ke seantero Timur-Tengah
hingga negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Sejak awal perkembangannya, Hizbut
Tahrir kerap berbenturan dengan kebijakan negara-negara yang dimasukinya. Itu
sering berujung pada pelarangan organisasi ini dan para aktivisnya di penjara. Namun, Hizbut Tahrir selalu
menegaskan dirinya sebagai anti kekerasan
(la madiyah).
Rusia, Kirgiztan, dan Uzbekistan, adalah
beberapa negara yang sudah menetapkan Hizbut Tahrir sebagai organisasi
terlarang. Menurut Kurniawan Abdullah (2004), Indonesia dan Inggris Raya adalah
negara yang bagi Hizbut Tahrir cukup aman dari tekanan penguasa.
Sudarno Shobron dalam artikelnya, "Model
Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia" (2014), menyebut Hizbut Tahrir masuk ke
Indonesia pada 1983. Masuknya
Hizbut Tahrir terkait peran seorang Warga Negara Australia keturunan Arab,
Abdurrahman al-Baghdadi.
Pada 1980-an, KH Abdullah bin Nuh, pendiri Pondok
Pesantren Al-Ghazali Bogor, mengajak al-Baghdadi untuk tinggal di Indonesia.
Sejak saat itu, safari dakwah berlangsung untuk memperkenalkan Hizbut Tahrir ke
pelbagai pesantren dan kampus. Awalnya, jumlah aktivis hanya 17 orang.
Pergerakan ini meluas ke masjid kampus Institut Pertanian Bogor
(IPB), Al-Ghifari. Perkumpulan (Halaqah)
kemudian terbentuk untuk mendalami gagasan Hizbut Tahrir. Ketika Orde Baru
berkuasa, aktivitas Hizbut Tahrir menjadi gerakan 'bawah tanah'.
Menjelang 1990-an, pengaruh Hizbut Tahrir
sudah masuk ke lingkungan kelas menengah sehingga tumbuh di 150 kota
se-Indonesia. Gerakan ini juga menerbitkan materi-materi, semisal buletin
Al-Islam dan majalah bulanan Al-Wa’ie (Agustus 2000).
Era Reformasi membuka kran kebebasan
berpendapat. Pada 2000, HTI membuat acara fenomenal yakni Konferensi
Internasional Khilafah Islamiyah di Senayan, Jakarta. Tercatat tidak kurang dari 5.000 peserta memadati
lokasi acara tersebut.
HTI juga tampil dalam unjuk rasa di depan
Kedubes (Kedutaan Besar) Amerika Serikat (AS) di Jakarta untuk menentang invasi Amerika Serikat atas Afghanistan.
Demikian pula dengan aksi anti-invasi AS atas Irak. Massa mereka saat itu
berjumlah sekitar 12 ribu orang.
Dalam sidang tahunan MPR-RI tahun 2002, HTI menyampaikan tuntutan penerapan
syariat Islam. Pada 29 Februari 2004, HTI mengerahkan massa berjumlah 20 ribu
orang dari Monas hingga sekitar Bundaran HI, Jakarta. Mereka menyuarakan
dukungan bagi penegakan syariat Islam dan sistem Khilafah di Indonesia.
Hizbut Tahrir dalam
perkembangannya banyak ditentang dan dianggap ekstrim karena menginginkan
formalitas penerapan syariah dalam suatu negara. Indonesia yang telah mengalami
proses panjang penyebaran Islam tidak seluruhnya serta merta menerima paham
ini. Selain melihat perjuangan pahlawan, rakyat Indoneasia sendiri telah
merasakan kuatnya ideologi Pancasila yang dirumuskan
oleh para pendiri bangsa.
Pendirian negara
Islam bukanlah wacana baru bagi
Indonesia. Tercatat dalam sejarah, banyak pihak yang menginginkan
Indonesia menjadi negara Islam formal. Pendirian negara dengan berlabelkan
salah satu agama sering dianggap melecehkan pejuang dan melupakan sejarah
pendirian NKRI. Pertanyaannya, apakah landasan pemikiran Hizbut Tahrir hingga mencetuskan
sistem khilafah sebagai solusi? Apakah
kegiatan HTI benar-benar tidak sejalan dengan NKRI hingga dituntut
pembubarannya oleh banyak pihak?
Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir
Dalam laman resminya, hizbut-tahrir.or.id,
HTI menegaskan bentuknya sebagai sebuah organisasi politik. Hizbut Tahrir
bertujuan mengemban dakwah Islam dengan Khilafah al-Islamiyah, yang dipimpin
oleh khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum muslimin. Mendirikan negara Khilfah yang menerapkan
hukum syara’. “Ide-ide Islam menjadi
jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya”, demikian petikan keterangan resmi HTI di
laman tersebut.
Kegiatan Hizbut Tahrir seluruhnya bersifat
politik, yang
mereka jelaskan di situs yang sama yaitu mengurus urusan masyarakat dengan
hukum Islam dan pemecahannya. Antara lain penentangan terhadap ide-ide dan
aturan kufur, kaum imperialis, dan penguasa yang berkhianat.
Kegiatan terakhir yang dilaksanakan adalah Masirah Panji
Rasulullah. Diadakan di 35 kota untuk mensosialisasikan panji hitam (ar-rayah) dan bendera putih (al-liwa’) sesuai dengan warna
bendera dan simbol HTI hitam-putih. HTI ingin mengenalkan panji Rasulullah SAW yang bertuliskan kalimat syahadat. Agar
masyarakat mengenal bahwa di bawah bendera inilah Rasulullah SAW menyatukan rakyat dan menyebarkan Islam.
Dakwah yang diyakini Hizbut
Tahrir adalah penerapan aqidah islamiyah yang terdiri dari aqidah aqliyah
(aqidah yang menjadi dasar pemikiran), dan aqidah siyasah (aqidah yang menjadi
dasar politik). Yang
mana keduanya melahirkan aturan yang memecahkan problematika umat secara
keseluruhan.
Adapun metode dakwah yang diterapkan Hizbut
Tahrir dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahapan pembinaan dan
pengkaderan (marhalah
At Tatsqif). Kedua, tahapan
berinteraksi dengan umat (Marhalah
Tafa’ul Ma’a Al Ummah). Dan terakhir, tahapan penerimaan kekuasaan (Marhalah Istislaam Al Hukm) yang
dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengembangkan risalah
Islam ke seluruh dunia.
Sedangkan landasan pemikiran Hizbut Tahrir adalah
pengkajian dan studi terhadap kondisi umat termasuk kemerosotannya. Kemudian
membandingkannya dengan kondisi yang ada pada masa Rasulullah SAW dengan merujuk cara beliau mengemban dakwah
hingga berhasil mendirikan Daulah Islamiyah. Setelah itu, didapatlah ide-ide,
pendapat, dan hukum-hukum yang bersumber dari Islam. Ide-ide dan pendapat tersebut
lalu dibukukan dan disebarluaskan.
Antara Khilafah dan Pancasila
Banyak tanggapan masyarakat termasuk
pemerintah bahwa HTI dalam menjalankan kegiatannya tidak menjunjung Pancasila,
justru malah mengancam keutuhan negara. Meski legal dan mengakui berdasarkan Pancasila,
saat terjun ke masyarakat menunjukkan sebaliknya. Pengusungan khilafah dan anti demokrasi
menjadi bukti nyata yang dirasakan khalayak. Hingga akhirnya, disinyalir
melenceng dari UUD’45.
Menanggapi argumen
tersebut Khalid
menyangkalnya dan menilai itu hanya stigma dari media yang membentuk persepsi
masyarakat. HTI adalah ormas yang legal dan bergerak dalam bidang dakwah.
Pancasila bagi HTI tetaplah ideologi. ”Kami tidak anti pancasila. Pancasila
itu nilai umum, bisa bebas ditafsirkan oleh berbagai kalangan. Bahkan, orde baru menafsirkan pancasila
sedemikian kita tahu. Kami
hanya ingin menafsirkan Pancasila sesuai syariat”, terang Khalid.
Tanggapan masyarakat
yang “pro-pancasila” menilai negara Indonesia didirikan bukan oleh satu agama
melainkan oleh berbagai agama sehingga sikap toleransi patut ditegakkan. Sejarah Indonesia mencatat betapa toleransi
dari keberagaman ada sejak berdirinya NKRI. Dalam Piagam Jakarta pada sila
pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat bagi
pemeluk-pemeluknya”. Hal itu menimbulkan ketidak-puasan dari kalangan
non-muslim yang turut andil dalam kemerdekaan. Akhirnya deitetapkanlah
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Hal ini menunjukkan bahwa
negara melindungi setiap warganya untuk menunaikan ibadahnya masing-masing. Penonjolan
dan pengkhususan agama tertentu tidak diterima, walaupun pemeluknya menjadi
mayoritas. Hal inilah yang menjadi sebab banyak pihak yang
menentang didirikannya negara Islam.
HTI yang diklaim dengan ide khilafahnya akan mengubah ideologi
negara. Agus Khalid menjelaskan lagi bahwa khilafah bukan hanya milik HTI, namun
umat Islam seluruhnya. HTI hanya menawarkan sistem khilafah, bukan memaksa
ataupun mengubah ideologi. “Kami ini hanya ormas, tidak ada wewenang untuk
mengubah ideologi. Khilafah itu sistem, bukan ideologi”, tambah Khalid.
Menurut versi HTI, khilafah dalam hal ini merupakan sistem
pemerintahan yang menerapkan hukum Islam dan dipimpin oleh khalifah. Terlepas
apapun nama negaranya, HTI mengusung negara baru yang berlabel Islam. Negara
yang menerapkan hukum Islam secara formal menaungi seluruh umat muslim maupun
non-muslim. Merujuk pada pernyataan Khalid tentang khilafah sebagai sistem yang ingin diterapkan HTI di Indonesia
tentu berbanding terbalik dengan ideologi pancasila yang mengedepankan
pluralisme dalam bernegara.
Masih menurut Khalid, khilafah adalah solusi yang ditawarkan oleh HTI untuk
mengatasi problematika mayarakat saat ini. Pihak HTI menilai banyaknya
permasalahan adalah ide, perundang-undangan, dan hukum kufur. Oleh karenanya,
khilafah perlu didirikan agar hukum yang diturunkan Allah bisa diberlakukan
kembali di muka bumi.
HTI memperjuangkan khilafah dengan keyakinan
dari hadits dan buku-buku karya pembesar HT. Mereka meyakini dengan seyakinnya
bahwa solusi khilafah adalah benar dan tidak pantas ditolak oleh umat islam. Tidak
ada kepercayaan dalam diri mereka akan kebenaran hukum-hukum buatan manusia
karena tidak menerapkan hukum Allah. Paham khilafah yang diusung HTI inilah yang
menimbulkan banyak pententangan
di kalangan masyarakat awam maupun akademisi.
Syamsul
Ma’arif dari GP Ansor menilai HTI terlewat batas, karena telah mengusung
khilafah yang bertentangan dengan pancasila. Menurutnya, HTI datang setelah
reformasi dan tidak mengetahui sejarah panjang Indonesia merdeka. Di mana
sebelum dirumuskan pancasila dan UUD, para ulama telah berijtihad dan
menyetujuinya. “Kami percaya pada ijtihad ulama’ yang meyakini pancasila dan
NKRI. Kalau ada yang tidak setuju dengan pancasila dan NKRI, silahkan cari yang
menerima tawarannya”, ungkap Syamsul.
Syamsul juga mengatakan, sebagai warga yang
tinggal di Indonesia sepatutnya bersyukur. Di Indonesia warganya bisa bekerja
sehari-hari dalam keamanan. Tidak terancam kehidupan dan nyawanya. Sehingga
tidak perlu lagi berbicara tentang khilafah. “segala sesuatu tentu ada
kurang lebihnya, jika pancasila dan UUD terdapat kekurangan, bisa diperbaiki,
tidak perlu dengan khilafah”, terang Syamsul.
Ideologi Pancasila bukanlah kumpulan kata yang tercuatkan dari obrolan. Dalam
perumusannya, ia telah melewati proses yang tidak singkat. Kemaslahatan dan
keutuhan bersama adalah alasan dibentuknya. Dalam praktik, semua hal pasti
memiliki sisi negatif dan positif. Baik Pancasila, monarki, atau bahkan
khilafah sekalipun. Pihak Ansor menilai kekurangan ini hanya perlu diperbaiki
tanpa mengganti.
Sementara, dari ormas lain yaitu Muhammadiyah sepakat bahwa Indonesia adalah Darul ‘Ahdi wa Syahadah (Negara yang dibangun dengan komitmen dan
kesaksian). Maka dari itu, NKRI ini perlu dilindungi dan diperjuangkan.
Dilansir dari muhammadiyah.or.id, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
mengatakan, “Tidak boleh ada yang bertentangan dengan prinsip dan keberadaan
NKRI yang didirikan 1945 itu”.
Indonesia dibangun dan dijaga atas
keberagaman, hingga sampai saat ini bisa dirasakan oleh masyarakat. Menteri
Agama RI, Lukman Hakim, memaparkan bahwa moderasi Islam yang dikembangkan Kmenterian Agama (Kemenag) adalah warisan para pendahulu yang relevan dengan realitas keberagaman
di Indonesia. Maka dari itu, paham ekstrim yang ingin mengubah Pancasila yang
telah disepakati sebagai konsep dan komitmen bersama adalah sesuatu yang tidak
relevan dengan kontkes ke-Indonesiaan.
Lukman dalam pidatonya di
acara Launching IAIN Ponorogo, ia menyampaikan, tujuan diciptanya manusia
adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Kata ‘khalifah’ dan ‘khilafah’ sama-sama
berasal dari ‘khalafa’. Kendati demikian, ia menekankan, bahwa dua hal ini
berbeda. Manusia memang khalifah di muka bumi, tapi tidak serta merta membuat
kewajiban khilafah didirikan. “Ini khalifah, jangan diplesetkan menjadi
khilafah. Berbeda artinya, meskipun satu akar kata. Khalifah berarti manusia
hadir sebagai pengelola alam semesta dengan membawa agama, untuk menebarkan
kemaslahatan bagi sesama”, terang Lukman Hakim.
Sikap penolakan telah disampaikan oleh berbagai ormas Islam terbesar di tanah air yang sekaligus menjadi saksi atas
pendirian NKRI. Pun juga banyak pernyataan dari kaum nasionalis tentang pembelaannya
terhadap NKRI dan Pancasila yang terus dikoarkan. Lalu, yang menjadi pertanyaan bagaimana sikap pemerintah
terhadap ormas yang bertentangan dengan Pancasila?
“Pembubaran” HTI
Keraguan masyarakat akan HTI menjamur, hingga
terdengar oleh pemerintah. Pada hari Senin (8/5/17), pemerintah memutuskan untuk
membubarkan HTI. Dilansir dari kompas.com (08/05/17), Menteri Koordinator bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menegaskan, pemerintah akan menempuh
jalur hukum sesuai dengan Undang Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas) terkait keputusan untuk membubarkan HTI.
“Mencermati berbagai pertimbangan serta
menyerap aspirasi masyarakat, Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum
secara tegas untuk membubarkan HTI. Tentunya berdasarkan undang-undang.
Nantinya akan ada pengajuan ke pengadilan”, kata Wiranto saat memberikan konferensi pers di Kemenko
Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (8/5/17)
“Upaya
pembubaran dilakukan karena pemerintah menilai itu adalah gerakan politik,
bukan dakwah keagamaan, Ormas apapun itu, ketika ingin mengubah dasar negara,
,maka itu adalah aktivitas politik.”, terang Lukman Hakim sewaktu ditanyai seusai acara di IAIN Ponorogo,
Rabu (10/5/17).
Sedangkan di sisi lain, Ahmad Munir selaku
Bagian Dakwah PD Muhammadiyah Ponorogo mengatakan bahwa klaim makar pada sebuah
ormas tidak bisa dilakukan oleh sesama ormas, karena itu adalah kewenangan
pemerintah. Jadi, kalaupun memang ada makar, maka harus ada bukti nyatanya.
Ia menganggap bahwa negara hukum tidak bisa
melakukan apapun kecuali dalam naungan hukum. Ia juga menyatakan dugaan saling
menjatuhkan antara ormas dan pemerintah adalah untuk menjaga eksistensinya dan
kurang dewasanya politik. “Kalau memang HTI salah, haruslah dibuktikan
secara hukum. Apa jadinya negara kita, bila pembubaran ormas selalu begini?”, tegasnya saat mengisi Kajian Keilmuan di
Masjid Al- Manar Universitas
Muhammadiyah Ponorogo, Jumat (12/5/17).
Dilematik Pasca
Pembubaran
Syamsul menyampaikan, keberadaan personal HTI
setelah pembubarannya bukan masalah. Menurutnya, yang terpenting adalah
melarang gerakan dalam bentuk organisasinya. Jika sudah terlarang, tentu
merupakan pelanggaran jika muncul kembali apapun bentuknya. “Yang menjadi
masalah adalah HTI sekarang organisasi legal. Jika sudah dilarang, nanti akan
ada konsekuensi yang didapat kalau melanggar”, tegas Syamsul.
Sejak
masuknya Hizbut Tahrir di Indonesia menuai banyak pertentangan, walaupun hingga kini HTI masih legal di mata hukum. Saat ini telah
dirasakan dampak dari kelegalan itu dan mulai diminta pembubarannya. Namun, HTI masih optimis dan tetap bersikeras untuk melanjutkan dakwahnya. Pada
akhirnya, sebagai warga negara yang baik dan mendapatkan titipan NKRI dari
pendiri bangsa, apakah akan tinggal diam melihat ada ancaman yang menyerang negara? Namun, di sisi lain sebagai umat Islam, apakah
pelarangan khilafah merupakan bentuk
penolakan dan diskriminasi agama?
Reporter: Adzka & Riza
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.