DINAMIKA PEREKRUTAN BAKAL CALON KETUA HMJ
Kongres
Mahasiswa telah memasuki agenda kedua (5-8/7/2017), yaitu pendaftaran bakal
kandidat ketua OMIK
(Organisasi Mahasiswa
Intra Kampus). Mahasiswa yang
memenuhi persyaratanyang telah
ditentukan diperkenankan untuk menemui KPUM di
kantor Sema untuk mendaftar. Apa yang terjadi apabila terdapat kandidat yang diberikan
syarat di luar yang tertulis? Bagaimana sebenarnya prosedur perekrutanan bakal
calon ketua organisasi intra kampus? Bagaimana apabila ada oknum yang menyalahi
prosedur yang ditentukan?
KPUM
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan diserahkan kepada panitia.
Info tersebut disiarkan via media sosial kepada mahasiswa. Bagi bakal calon
ketua HMJ, yang harus dipastikan adalah statusnya sebagai mahasiswa aktif
IAIN Ponorogo dan pengalaman berorganisasi, serta
mengikuti kegiatan HMJ. Selain itu, kandidat harus sehat dan disiplin, memiliki
visi misi dan program yang jelas untuk HMJ, serta mendapatkan surat rekomendasi
dari Ketua Jurusan. Setelah semua itu terpenuhi, bakal kandidat diharuskan
membawa fotocopy KTM (Kartu Tanda
Mahasiswa) aktif sebanyak 10%
dari mahasiswa jurusan masing-masing ke tempat pendaftaran.
Persyaratan
yang harus dipenuhi oleh calon telah tertulis dengan jelas. Syarat-syarat
tersebut ditetapkan sebagai indikator seorang ketua HMJ. Akan tetapi, adaindikasi terdapat pihak-pihak yang manambahkan syarat lain demi
kepentingan golongan. Syarat bahwa seorang yang berkuasa di organisasi intra
kampus haruslah berasal dari golongan tertentu. Suatu syarat yang sudah
menjadi rahasia umum, tersirat namun dipraktikkan, bahkan menjadi adat.
Hal tersebut telah terjadi di jurusan baru, Tadris IPS
(Ilmu Pengetahuan Sosial). Tadris IPS di IAIN
Ponorogo notabene
baru berjalan satu tahun dengan kuantitas mahasiswa yang tidak banyak, hanya satu
kelas. Menurut Arsyad, salah satu mahasiswa Tadris IPS, petinggi mahasiswa
jurusan mengintruksikan kepada mahasiswa jurusanTadris IPS untuk
mengajukan bakal calon dengan kriteria di luar syarat yang ada. Syarat tersebut
diberikan secara sepihak oleh mereka. Ia melanjutkan, syarat tersebut berupa
keharusan calon untuk mengikuti atau harus berasal dari golongan tertentu.
Masalah berlanjut ketika mahasiswa yang telah mengikuti
golongan tersebut tidak berkompeten untuk menjadi ketua. Menurut pernyataan
Arsyad, mayoritas mahasiswa jurusan Tadris
IPS lebih memilih memajukan bakal calon di luar golongon
tersebut, sedangkan petinggi mahasiswa jurusan menginginkan sebaliknya. Pada
akhirnya, bakal calon yang memiliki banyak suara itu disetujui untuk maju
dengan janji akan mengikuti golongan tersebut nantinya. “Kami tidak setuju dengan cara yang seperti ini. Demokrasi tidak
dijunjung di dalamnya. Kami ingin memaksimalkan peran HMJ di prodi kami. Kami
tidak terima bila dipersulit dengan cara seperti ini”, tegas Arsyad selaku
calon ketua HMJ IPS.
Bila
mematuhi aturan yang ada, sah tidaknya seseorang menjadi ketua bukan
berdasarkan dari latar belakang
kelompok tertentu, tetapi seberapa
cakap ia di bidangnya. Berbekal kemampuan yang memadai, program kerja HMJ
diharapkan dapat berjalan dengan baik dan mampu menciptakan perubahan dalam
organisasi. Sedangkan, ketua HMJ yang kurang cakap berpotensi mereduksi
kualitas kinerja HMJ sendiri. Selain itu, dapat pula terjadi disintegrasi.
Hal tersebut termaktub dalam syarat-syarat yang telah dipaparkan. Lalu,
pantaskah kepentingan golongan dimasukkan dalam perekrutan bakal calon ketua?
Siapa yang dapat menjamin kompetensi yang dimiliki lebih kuat dari yang
lainnya? Apakah hal serupa terjadi di setiap perekrutan bakal calon ketua HMJ
lainnya?
Masih
dalam fakultas yang sama-Tarbiyah-, HMJ Manajemen Pendidikan Islam (MPI) menjalankan prosedur
yang berbeda dari HMJTadris IPS. Dalam
organisasi HMJ MPI diadakan
dialog calon pengurus HMJ yang dihadiri Rifaul selaku perwakilan SMJ dan Ketua Jurusannya, Muhammad Thoyyib. “Sebelumnya ada penawaran, siapa yang
berminat untuk mengajukan diri jadi
ketua. Ada tiga orang yang mengajukan diri, lalu menyampaikan visi-misinya.
Mereka itu juga yang sekarang nyalon jadi ketua HMJ.” kata Zahra, salah satu mahasiswa MPI.
Membandingkannya
denganyang terjadi di JurusanTadris IPS, jurusan MPI lebih menjunjung demokrasi dalam
perekrutan calon ketua. Hal tersebut terlihat dari pemberian kesempatan bagi
seluruh anggota untuk mengajukan diri. Permintaan khusus untuk bakal kandidat
dalam persoalan HMJTadris IPS merupakan intimidasi bagi anggota HMJ. Padahal,
setiap mahasiswa yang kompeten memiliki kesempatan yang samauntuk mendaftarkan diri sebagai calon ketua.
Meski
satu fakultas dengan MPI dan Tadris IPS, HMJ PBA (Pendidikan Bahasa Arab)
memiliki prosedur sendiri dalam pemilihan ketua. Tidak diadakan musyawarah
bersama calon pengurus, namun diinfokan kepada mereka untuk mengajukan diri
sebagai ketua. Meski demikian, akhirnya yang mendaftar hanya satu mahasiswa. “Sudah bilang ke mereka untuk mendaftar, tapi akhirnya hanya satu yang
maju.”, terang Zuhal selaku ketuaHMJ PBA. Dalam hal ini, tidak terjadi intimidasi maupun
perkumpulan sebelum rentetan Kongres dilaksanakan. HMJ PBA membuka kesempatan
bagi seluruh calon pengurus untuk mengajukan diri.
Sementara itu, di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam,
pemilihan bakal kandidat dari Jurusan Perbankan Syari’ah (PS) dilakukan dengan
mengumpulkan calon pengurus HMJ untuk voting. Masing-masing calon pengurus dipersilahkan
menuliskan dua nama yang dianggap pantas untuk memimpin HMJ kepengurusan baru.
Selanjutnya, mahasiswa yang mendapat suara terbanyak lalu disetujui sebagai
bakal kandidat ketua HMJ. “Kemarin itu
kita diminta milih dua nama buat jadi calon. Yang dapat banyak suara dua orang,
tapi yang siap cuma satu.” kata Maya, salah satu calon pengurus HMJ PS.
Cara serupa pun dilakukan oleh HMJ Muamalah dari Fakultas
Syari’ah. “Kami berkumpul dan mengambil
suara secara demokratis. Setelah voting dan didapat dua nama, kami memilih satu
nama untuk menjadi ketua. Pemilihan kami lakukan sebelum diadakan Kongres”,
jelas Edi, mahasiswa jurusan Mu’amalah yang mengikuti voting tersebut.
Dalam
praktik yang dilakukan HMJ PS dan Mua’malah, pemilihan telah dilakukan sebelum
diadakannya Pemilihan Umum Mahasiswa. Pemilihan yang dilakukan oleh
masing-masing HMJ menghasilkan satu bakal kandidat ketua. Calon pengurus yang
turut memilih, kemungkinan memahami bahwa orang tersebut adalah bakal
kandidat yang sudah dipastikan menjadi ketua. Maka, tidak heran saat KPUM
membuka pendaftaran tak ada respon yang berarti dari mahasiswajurusan tersebut.
Minimnya
respon mahasiswa terkaitpencalonankandidatjuga terlihat di Jurusan KPI (Komunikasi Penyiaran Islam)
dari Fakultas Ushuludin, Adab, dan Dakwah. “Gak
ada kumpul-kumpul bahas HMJ. Tahu persyaratan juga dari grup, itu aja gak
dianggap serius. Kita juga tahu ada yang mau nyalon, tapi gak ada yang protes.
Kayaknya udah pada setuju gitu,”
ujar Umul, salah satu mahasiswa KPI.
HMJ KPI tidak mengadakan perkumpulan seperti HMJ lainnya.
Info persyaratan calon ketua telah sampai kepada calon pengurus HMJ KPI via
media sosial. Mereka juga mengetahui ada seorang mahasiswa yang akan mencalonkan
diri sebagai ketua, namun tidak ada penolakan. Hal ini menunjukkan minimnya
minat mahasiswa KPI untukikut andil
menjadi pemimpin HMJmereka.
Apakah minimnya respon mahasiswa disebabkan oleh
kurangnya antusiasme mahasiswa untuk
berorganisasi? Ataukah hal itu merupakan akibat dari seleksi yang menghasilkan
kandidattunggal?
Mungkinkah terdapat campur tangan dari pihak tertentu, semacam Invisible hand(tangan-tangan tak
terlihat) yang ingin menancapkan kuku-kuku kepentingannya lebih erat?
Reporter: Adzka & Airin
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.