SEMPAT KONFLIK, SIDANG TENTUKAN KETUA BARU HMJ MPI
IAIN Ponorogo (19/07/17) – Dalam penghitungan suara hasil pencoblosan calon ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) sempat
terjadi konflik. Hal ini berlangsung
ketika prosesi penghitungan suara untuk menentukan ketua Himpunan Mahasiswa
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam (HMJ MPI). Bagaimanakah konflik ini bermula? Dapatkah konflik ini teratasi dengan musyawarah? Seberapa
adil-kah hasil musyawarah? Bagaimana peran KPUM sebagai penyelenggara?
Awalnya, perolehan suara menunjukkan hasil nihil bagi calon ketua M. Afitamam. Hal ini tidak
disetujui oleh salah satu peserta yang hadir, Syahrul Fatoni, mahasiswa
semester IV jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI). Ia menyatakan bahwa seharusnya
ada suara untuk calon M. Afitamam. Ia merasa pemungutan suara ini sangat tidak objektif. “Saya
sangat kecewa melihat hasil suara ini. Sehingga dari sini sudah sangat jelas
bahwa ada manipulasi,” jelas Syahrul dengan kecewa, lalu turun dari panggung dan segera
meninggalkan lokasi penghitungan suara.
Setelah pengesahan untuk para ketua telah dinyatakan dan diputuskan, ketua
sidang memanggil segenap jajaran Sema, Dema, KPUM, para calon ketua HMJ MPI dan
ketua TPS MPI untuk menindaklanjuti permasalahan ketiadaan suara dari calon
nomor urut satu Afitamam. “KPUM diharap segera menyelesaikan permasalahan.
Para ketua akan diputuskan dan disahkan kecuali MPI,” tukas ketua sidang,
Rizqi Wahyudatama yang didampingi oleh sekretaris sidang M. Imron Rofiki.
Mega Kusuma Wardani
selaku ketua panitia Kongres
mengatakan di depan forum bahwa apabila ada ketidaksetujuan dari para peserta
maka diharapkan untuk mempertanggungjawabkan. “Ketika ada opsi tidak setuju,
maka diharap stay di tempat dulu dan dipertanggungjwabkan apa yang seharusnya
diselesaikan,” ucap Mega.
Musyawarah turut dihadiri oleh Arif Mudhakir, ketua domisioner Himpunan
Mahasiswa Program Studi (HMPS) MPI dan dua saksi dari mahasiswa MPI yang menyatakan menyoblos M. Afitamam,
Ervan dan Riza. Dalam musyawarah
tersebut saksi mempertayakan kejelasan mengenai suara yang telah diberikan. “Saya
di sini kecewa sama kinerja KPUM, kok bisa suara yang sudah saya masukkan dalam
kotak suara menghilang? Apakah ada masalah dalam pemungutan suara?”, keluh
Riza.
Sementara itu, KPUM bersikukuh bahwa mereka telah melakukan segalanya
sesuai prosedur. Mereka mengklaim semua berjalan secara wajar. “Kami sudah menjalankan sesuai prosedur,
mengamankan kotak suara di pos satpam, dan mengimbau kepada calon ketua untuk
menjaga TPS”, tegas Khoiri, sekretaris KPUM. Pertanyaannya, bila benar wajar adanya, mengapa
bisa terjadi konflik semacam ini?
Meninjau musyawarah, terdapat dua saksi yang mengaku memberikan suara bagi
Afitamam. Setidaknya, Afitamam mendapatkan dua suara. Hal itu berbanding terbalik dengan hasil yang diumumkan KPUM. Mahasiswa yang
memiliki hak suara telah memberikan suaranya, namun tidak terhitung saat
penghitungan suara. Lantas, kemana suara yang sudah dititipkan? Apakah ada penyelewengan
surat
suara? Apakah pengakuan saksi tidak dijadikan
bahan pertimbangan?
Pernyataan saksi tidak serta merta diterima oleh hadirin musyawarah. Salah
satu pihak yang hadir selaku perwakilan Sema menyatakan kecurigaan bahwa saksi berbohong. Kecurigaan
tersebut dapat dibenarkan, mengingat saksi tidak dapat menunjukkan bukti nyata.
Sedangkan, panitia memiliki hasil penghitungan suara. Namun, bukti seperti apa
yang dapat diberikan saksi selain pengakuannya? Bila saksi berbohong,
mungkinkah akan melakukan pembelaan? Pantaskah pengakuan pemilih yang disertai
saksi disangkal? Apakah ini merupakan bentuk diskriminasi?
Karena permasalahan
semakin meruncing, ketua sidang mengembalikannya ke forum terkait waktu
musyawarah. Anas yang mengaku mahasiswa Akhwal as-Syakhsiyah mengatakan bahwa
ia mengajukan opsi lima menit saja untuk perpanjangan waktu sidang. Menurutnya
waktu sudah semakin malam sedangkan besok masih harus melaksanakan Ujian Akhir
Semester. “Opsi lima menit saja untuk sidang karena waktu sudah malam dan
besok kita juga masih UAS,” ujar Anas.
Setelah lebih dari lima
menit berjalan, terdapat opsi dari salah satu mahasiswa jurusan Tadris IPA
(Ilmu Pengetahuan Alam) untuk menambah waktu sidang sepuluh menit. Akhirnya
tepat pukul 21.52 WIB sidang diskors sepuluh menit. Terlihat para ketua yang
menduduki kursi di depan peserta membubarkan diri. Ketika beberapa calon ketua ditanya
mengapa membubarkan diri, mereka mengaku suasana panas dan menjenuhkan.
Selanjutnya pukul 22.16 WIB musyawarah yang membahas surat suara calon ketua HMJ MPI dengan pihak-pihak terkait di
atas panggung dinyatakan berakhir oleh ketua sidang.
Setelah musyawarah
dadakan digelar, peserta musyawarah kembali ke tempat duduk masing-masing. Rizqi
Wahyudatama membacakan tiga poin hasil musyawarah. Pertama, akan diadakan Pemilwa ulang
khusus HMJ MPI. Kedua, ketika Pemilwa
ulang dilaksanakan calon ketua Afitamam memilih mengundurkan diri, sehingga
calon tinggal satu orang dan akan diadakan aklamasi. Ketiga, apabila semua calon mengundurkan diri dan tidak siap
maka HMJ MPI akan dibekukan.
Hanif Munawiruloh dari
jurusan Pendidikan Agama Islam mengajukan pertanyaan terkait pengunduran diri
calon ketua harus berdasarkan alasan. “Opsi pengunduran diri harus ada
alasan dari calon ketua terkait,” ucap Nawir, mahasiswa semester VI.
Ketua sidang menjelaskan
alasan pengunduran calon Afitamam apabila dilaksanakan pemilihan ulang. Hal ini
disebabkan oleh kekecewaan calon atas hasil yang diperoleh malam itu, yakni
tidak ada suara yang masuk. Juga kinerja KPUM yang dirasa cukup janggal.
Opsi masuk dari Allisa
Adhitya Asep Irfana ketua Dema Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan yang baru, mengatakan
bahwa ia sangat menyayangkan apabila HMJ MPI dibekukan. Ia sangat tidak
menginginkan apabila perjalanan kepengurusannya kehilangan satu roda. Pun
sangat disayangkan, karena terlebih dahulu sudah ada yang merintis keberadaan
HMPS MPI, dan HMJ MPI yang akan datang tinggal meneruskan perjuangan perintis
sebelumnya.
“Kita nanti berjuang
bersama-sama untuk memajukan fakultas Tarbiyah. Saya tidak ingin apabila ada
satu dari lembaga di bawah naungan Dema FATIK tidak beroperasi. Sehingga sudah
selayaknya meneruskan perjuangan ketua HMJ sebelumnya. Maka saya pribadi
memilih opsi yang pertama yaitu diadakannya pemilihan ulang,”
tegas Asep ketika mengajukan tawaran.
Berdasarkan musyawarah
dengan sekretaris sidang dan ketua Dema yang telah domisioner, Yuda menawarkan
poin yang pertama yaitu diadakannya pemilihan ulang untuk disepakati. Pemilihan
akan diulang dari awal pendaftaran calon hingga penghitungan suara. Akan tetapi
keputusan dikembalikan lagi seluruhnya kepada forum sidang.
Tiba-tiba calon ketua
Dessi Lestari Setyaningsih menyatakan kesiapannya untuk menjadi ketua HMJ MPI.
Mahasiswa semester II ini berucap, “Saya akan mengklarifikasi permasalahan
tersebut, bahwa saya menyatakan siap menjadi ketua HMJ MPI,” tegas Dessi
diiringi tepukan meriah dari para peserta sidang di Graha Watoe Dhakon. Dessi pun dijemput dari kursi peserta oleh
ketua terpilih HMJ TBI, HMJ PIAUD dan HMJ PBA untuk menuju kursi para ketua di
depan panggung.
Setelah klarifikasi disampaikan oleh Dessi, forum langsung menyetujui tanpa
mempertanyakan kembali kepada mahasiswa MPI yang hadir. Opsi-opsi yang
dihasilkan dari musyawarah terabaikan dengan pernyataan satu pihak. Lantas, apakah pernyataan tersebut cukup sebagai solusi
permasalahan yang ada? Apakah kesiapan satu calon untuk memimpin dapat
menyisihkan suara yang telah diberikan pada calon lainnya? Dimanakah nilai demokrasi yang selayaknya dijunjung dalam suatu republik?
Menanggapi konflik yang terjadi, ketua KPUM, Yusuf Fadhilah menyayangkan
hal ini. “KPUM sudah mengantisipasi. Kami sudah meminta calon untuk mengawal
jalannya pemilu. Di UU sudah tertata. Kami juga menaruh kotak suara di pos
satpam supaya aman dan terhindar dari manipulasi.”, terang Yusuf.
Pun ia meminta maaf sebesar-besarnya atas kekurangan dari KPUM. “Kami
KPUM ini baru pertama, ndak bisa tanya-tanya ke panitia sebelumnya. Bahkan kami
sempat bertanya ke KPU Ponorogo untuk meminta masukan. Kami harap KPUM
selanjutnya lebih baik dari sekarang”, tambah Yusuf saat ditemui di akhir acara.
Mahasiswa yang memiliki hak suara telah memberikan suaranya, namun beberapa
suara dari mereka tak berwujud
saat penghitungan. Musyawarah telah diadakan dan menghasilkan beberapa
opsi, namun gugur dengan pernyataan satu calon
ketua. Bagaimanakah kelanjutan HMJ
yang melewati proses pemilihan ketua seperti ini? Masihkah ada kepercayaan mahasiswa pada Pemilwa selanjutnya?
Reporter: Arini,
Adzka, Mofik_Crew
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.