SEPUTAR KONGRES: Pesta Demokrasi Versi Kongres
lpmalmillah.com, Ponorogo - Pesta
demokrasi di IAIN Ponorogo dimulai. Pesta ini dinamakan Kongres Mahasiswa
sebagai ganti dari acara serupa tahun lalu, yakni Musyawarah Mahasiswa (MUSMA).
Kongres Mahasiswa bukan hanya nama, namun memiliki prosedur yang berbeda dengan
MUSMA. Meski disebut-sebut sabagai pesta demokrasi, apakah demokrasi
benar-benar dijunjung di rentetan acaranya? Bagaimana demokrasi menjiwai dari perumusan
hingga pelaksanaannya?
Pada Rabu
(5/7/2017) di Gedung B IAIN, Kongres Mahasiswa dibuka secara resmi oleh Syaifullah selaku Wakil Rektor III IAIN
Ponorogo. Setelah Kongres dibuka, dibagikan buku yang berisi AD/ART Republik
Mahasiswa, dilanjutkan sesi yang disebut sebagai Sidang Pleno. Rizki
Wahyudatama selaku Ketua Sema menjelaskan gambaran umum mengenai perubahan AD/ART dan undang-undang yang berbeda dari
tahun lalu. Peserta yang masih menetap menyimak dengan seksama. Sidang Pleno
tersebut berlangsung damai tanpa adanya pertanyaan ataupun protes satupun dari peserta
sidang.
Hal
tersebut sangat berbeda dengan Sidang Pleno yang diadakan di dalam MUSMA. Di
dalam MUSMA, draf AD/ART tahun sebelumya dibahas per poin. Draf tersebut bisa
diubah, ditambah, dikurangi ataupun dihapuskan dalam sidang. Peserta sidang
yang memiliki hak suara – peserta penuh- bisa menyalurkan pendapatnya sehingga
seluruh peserta penuh maupun peserta peninjau akan memahami AD/ART secara
keseluruhan.
Buku
yang dibagikan tersebut berisi AD/ART yang sebelumnya telah diamendemen oleh
SEMA. Rizki menjelaskan, perbedaan AD/ART terdapat di beberapa aspek. SEMA
mempuyai fungsi legislasi penuh dalam perumusannya. Ia melanjutkan, dalam amandemen
tersebut produk yang terbaru adalah perihal KPUM dan Pemilwa (Pemilihan Umum
Mahasiswa).
Setelah
pihak SEMA mengamandemen, barulah disosialisasikan dan dikonsolidasikan kepada
perwakilan dari organisasi intra kampus pada (13/06/17). Dalam sosialisasi
tersebut, SEMA mengakui adanya keterlambatan salah satunya disebabkan mereka
menyusun seluruh rumusan AD/ART, pembentukan KPUM, dan tata tertib kongres yang
diamandemen.
Hal
tersebut berbeda dengan MUSMA, yang mana perubahan AD/ART untuk kepengurusan
selanjutnya baru dilakukan saat MUSMA berlangsung. Sehingga perumusan
dimusyawarahkan oleh semua pihak terkait. Dalam Kongres tahun ini kemungkinan tidak
akan ada pembahasan serupa mengenai AD/ART melihat tidak ada agenda pembahasan
AD/ART dalam rentetan acara Kongres Mahasiswa. “Melihat perkembangan kuantitas mahasiswa, kami mempertimbangkan tidak
akan kondusif jika masih melibatkan perwakilan dari tiap kelas. Kami takut jika
dikumpulkan akan seperti OPAK kedua”, terang Rizki Wahyudatama saat
sambutan.
Selanjutnya,
ia menyatakan bahwa dalam Republik Mahasiswa (RM) hak mengamandemen AD/ART dan
Undang-undang hanya milik SEMA. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
dilaksanakan oleh pihak SEMA. Mereka mengamandemen AD/ART dan UU bagi RM secara
sepihak. Namun, bila dilihat dari pelaksanaan amandemen oleh SEMA, mereka
mengamandemen saat bentuk keorganisasian di IAIN Ponorogo masih KBM (Keluarga
Besar Mahasiswa). Perumusan AD/ART dilakukan saat bentuk keorganisasian belum
menjadi RM. Yang menjadi pertanyaan, apakah hak legislatif SEMA dalam RM bisa
diterapkan pada saat bentuk keorganisasian masih KBM? Apakah AD/ART cukup
diamandemen oleh pihak SEMA tanpa menyertakan pihak-pihak lain?
Dengan
AD/ART yang ditentukan sepihak, akan muncul pihak-pihak yang merasa tidak
mendapat keadilan dari hal tersebut. Undang-undang yang dirumuskan dan
diberlakukan untuk seluruh anggota hanya dibentuk oleh sebagian kecil dari
anggota. Berbagai pihak turut menyampaikan keresahan mengenai keadilan AD/ART.
Salah satunya dari Masitah, anggota SEIYA yang menyatakan ketidaksetujuannya. “Ini tidak fair. Seharusnya diadakan
musyawarah bersama, supaya semua dapat memahami dengan baik.”, keluh
Masitah.
Senada dengan
itu, Syahril dari Mapala pun menyatakan ketidaksetujuannya. Dia beranggapan
bahwa perumusan AD/ART terkesan otoriter kepada organisasi di bawah SEMA. “Apakah kami ini hanya menjadi boneka bagi
mereka yang berkepentingan?”, kata Syahril.
Dalam
rumusan undang-undang yang dibahas oleh segelintir pihak minoritas,
memungkinkan kesalahpahaman dari mayoritas yang tidak turut merumuskan.
Informasi yang terdapat di pembahasan tersebut tidak sampai ke mayoritas dengan
maksimal. Zidni, salah satu anggota HMPS Akhwalu Syaksiyah menyampaikan perlu
adanya transparansi informasi agar tidak muncul kesalahpahaman. “Yang perlu selalu diingat, kita ini ada di
kampus negeri yang menggunakan uang negara.”, tegas Zidni.
Berseberangan
dengan itu, Asep sebagai anggota HMPS PGMI menyatakan setuju dengan produk
hukum yang dirumuskan SEMA. Menurutnya, hal tersebut sudah sesuai dengan alih
status STAIN menjadi IAIN. “Kita sebagai
mahasiswa jangan sampai kalah. Jika akademik sudah melakukan transisi, birokrasi
mahasiswa pun harus mengikuti”, ujar Asep saat kami wawancarai di
kantornya.
Mendengar
berbagai keluhan yang ada, Yuda menganggap SEMA telah melaksanakan fungsinya
lebih baik dari tahun sebelumnya. Menurutnya, fungsi legislatif di tahun
sebelumnya tidak pernah sepenuhnya dijalankan seperti di negara kita (dimana
DPR merumuskan Undang-Undang tanpa melibatkan rakyat). Namun dalam kenyataannya, sistem yang
berjalan selama ini adalah KBM yang berbeda dari negara kita, yakni republik.
Maka, bagaimana sebenarnya standar legislatif SEMA di KBM? Apa yang mendorong
SEMA untuk mengamandemen Undang-Undang?
Menurut
Yuda alasan mengamandemen karena Undang-Undang yang terdahulu dianggap SEMA tidak
sempurna dan membawa kepentingan golongan. Ia menganggap produk hukum itu tidak
bisa adil, sehat, dan benar. Apabila menganalisa sidang yang dilakukan
eksklusif oleh SEMA, kecurigaan mengutamakan kepentingan golongan lebih
berpotensi untuk muncul. Ke-eksklusifan sidang lebih menutup informasi mengenai
proses dan menimbulkan banyak kecurigaan. Namun, SEMA mengklalim mereka telah
mensosialisasikan draf undang-undang kepada seluruh perwakilan organisasi intra
kampus.
Sosialisasi
yang dilakukan SEMA melibatkan perwakilan dari organisasi intra kampus. “Pada saat sosialisasi, kita bukan
mengesahkan, tapi menampung saran untuk AD/ART saja. Sosialisasi hanya
menyepakati beberapa poin penting saja yakni, perubahan sistem pemerintahan
yang menegakkan sistem presidensil, struktur pemerintahan dan perundang-undangan.
Setelah itu, barulah kita menggodok lagi dan mengesahkannya setelah ada
beberapa aspirasi dari beberapa perwakilan organisasi. Sebagian memang belum,
tapi sudah kami konfirmasi.”, jelas Yuda.
Sosialisasi
yang dilakukan hanya sekedar digunakan untuk menampung usul dan saran dari
organisasi intra. Dalam hal ini, AD/ART dirumuskan oleh SEMA dan disahkan oleh
DEMA. SEMA menawarkan produk hukum yang sudah setengah matang tanpa mengajak
musyawarah dari awal. Kesempatan mengutarakan aspirasi diberikan di episode
tengah, tapi SEMA mengakhiri sidang paripurna tanpa melibatkan perwakilan organisasi
intra kampus.
Yuda juga
menegaskan bahwa pembuatan AD/ART semata bukanlah buatan SEMA pribadi tetapi
telah disepakati oleh beberapa perwakilan. Hal ini diperkuat dengan adanya
tanda tangan dan juga stempel dari perwakilan KBM. Mereka menyetujui untuk
menggunakan cara baru, bukan cara lama.
Kongres
Mahasiswa telah dibuka, namun pelbagai pertanyaan mengenai AD/ART justru
bermunculan. SEMA menyangkal AD/ART telah disepakati oleh semua pihak, namun
kejelasan AD/ART yang belum dibahas secara merinci mengundang keraguan dari
organisasi intra kampus. Bagaimana kelanjutan pesta demokrasi yang baru
berjalan dua hari ini? Akankah ada kejelasan merinci mengenai AD/ART? Apakah
semua pihak benar-benar menyetujui produk hukum dari SEMA?
Reporter: Adzka, Alwi, Zahra, Picy_Crew
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.