Pahamilah!
Pahamilah!
Oleh : Fandy Sholihin
“Hey nak ! kemarilah,
ibu punya sebuah cerita untukmu. Ceritanya
sangat
populer di negeri ini, cerita yang nilainya hampir setiap saat di dengungkan
lewat lisan ataupun tulisan.
Namun, realitanya mulai
memudar di negeri ini. Nak, tahukah kamu cerita apa yang akan ibu sampaikan?”
Anaknya menjawab, “Tidak bu.”
“Kalau begitu kemarilah,
duduklah di samping ibu, ibu akan bercerita tentang sebuah desa yang sangat
harmonis. Dengarkanlah nak,
dan pahamilah,
hikmah yang terkandung dalam cerita ini, karena kelak, kala kamu dewasa nanti, hikmah dari cerita ini
pasti akan sangat berguna bagi kehidupanmu. Begini nak, di balik gunung batu
sebelah barat sana,
berdiri sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian, jauh dari kemodernan
akan tetapi sangat kental akan keharmonisan. Disana adalah tempat di mana
matahari menghilangkan cahayanya, tempat angin menghembuskan kepeduliannya
terhadap dunia, dan tempat tanaman menghidupi manusia. Kesuburan tanah yang
berubah-ubah menjadikan desa itu layaknya seperti desa-desa di pegunungan biasanya. Hampir tidak ada
keistimewaan tersendiri jika dilihat dari kondisi alamnya, akan
tetapi ada sebuah keunikan yang menarik dari desa ini. Suatu ketika, ada sekelompok anak
yang bermain sepak bola. Dengan bola yang mereka beli dengan iuran uang saku,
mereka merasa sangat merdeka, tidak ada rasa takut jika tiba-tiba ada orang
yang memintanya. Kemerdekaan mereka membuatnya lupa akan waktu, lapar, haus, kesedihan, bahkan kesusahan, yang
ada hanyalah kesenangan semata.
Tak
terasa cahaya mulai meredup, matahari mulai menampakkan sinar
kemerah-merahannya, bumi bagian timur mulai kehilangan sorotnya. Angin saat itu
terasa berlari membawa dingin, salah satu anak dari kelompok bermain itu tersadar
akan waktu yang mulai mengisyaratkan senja. Saat
ia tersadar, terdengar suara yang tak asing di telinganya, suara yang identik
dengan panggilan akan suatu kewajiban, suara yang sangat keras dan tegas, bak jendral
menyerukan sebuah peperangan. Dia sangat mengenal suara itu, suara yang sangat
sering didengarnya dalam waktu-waktu tertentu, suara itu adalah suara
adzan. Saat itu hanya dia yang mendengarnya, teman temannya terlalu larut dalam permainan. Dengan
tegas, ia memanggil beberapa temannya yang sedang asik bermain dan menyadarkannya bahwa
waktu maghrib telah tiba.
“Teman-teman! sudah maghrib, ayo cepat pulang! Mandi yang bersih, Sudah waktunya sholat.."
Temannya
menjawab. “Eh
iya.. sudah maghrib. Aku pulang dulu ya. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Temannya
yang lain menjawab. "Ya sudah.
Besok diteruskan lagi mainnya. Oke,
sampai ketemu besok !"
Saat itu juga mereka bubar, meninggalkan permainan yang membuat mereka bahagia.
Sebagian dari mereka ada yang berlari dan sebagian ada yang berjalan.” Si Ibu memberikan jeda untuk anaknya bertanya.
"Loh
bu, kok sebagian ada yang berjalan pulang? Nggak ikut sholat maghrib berjamaah?"
Ibu
menjawab. "Hmm..
jadi di situlah nak letak keistimewaan
mereka.”
“Istimewa yang bagaimana
bu? Bukannya itu sesuatu yang kurang baik?"
“Sebentar dulu, jangan langsung
menyalahkan. Anak-anak yang bermain tadi sangat memahami nilai keberagaman,
tidak mempermasalahkan agama apa yang mereka miliki, bagi mereka kedamaian dan keharmonisan antar umat beragama
adalah sebuah nilai penting dalam kehidupan bermayarakat, berbangsa dan
bertanah air di Indonesia.
Mereka mengerti toleransi dan saling mengingatkan kala salah satu dari mereka
ada yang lupa kalau sudah masuk waktunya beribadah."
Anak itu baru mengerti,
kemudian ia berkata. “Ohh
jadi anak-anak yang bermain tadi agamanya berbeda-beda ya bu?"
“Iya nak, kau benar.
Tapi tidak hanya anak-anak
itu yang berbeda agama, melainkan
seluruh
masyarakat di desa itu juga berbeda-beda agamanya. Ini lah nak letak
keistimewaan desa itu, desa yang membuat ibu iri akan keharmonisannya."
Ibu
itu terlihat menutup
matanya sambil menghela napas
panjang. Sang anak hanya terdiam dan menyaksikan penghayatan ibunya dalam bercerita. Ibu
meneruskan bicaranya. “Nak,
ketahuilah, saat ini di negeri kita
sangat membutuhkan keharmonisan seperti ini. Tidak saling menyalahkan umat lain
apalagi umat sendiri, negeri kita ini nak, merdeka atas perantara perjuangan orang
terdahulu yang latar belakang mereka sangat beragam, tidak hanya berlatar belakang akan satu agama, satu ras, satu suku, dan satu bahasa.”
Anak itu
pun tersenyum, paham atas apa yang
ibunya sampaikan. Terakhir ibu itu berkata.
“Jadi, contoh lah kehidupan bermasyarakat desa itu,
tumbuhkanlah di dalam hatimu rasa saling menghargai, saling menghormati, dan saling memahami.
Pahamilah nak, kelak kamu akan membutuhkan nilai-nilai itu dalam kehidupanmu.”
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.