TONI, AYO BERMAIN!
TONI, AYO BERMAIN!
Oleh : Muhammad Rofi’udin
Anang, seorang anak desa yang tak pernah berkunjung ke kota
walaupun sekali. Adiknya Anas, berumur dua tahun lebih muda dari
kakaknya. Mereka hidup di desa yang berbeda
dengan kehidupan hingar-bingarnya perkotaan. Sementara Toni temannya, pendatang baru dari kota yang
belum lama re-urbanisasi. Dalam keseharianya, mereka bermain bersama walaupun
awalnya terlihat canggung dan sedikit ada semacam sekat tentang cara pandang dan keyakinan.
Akan tetapi semua tentang hal itu terlupakan ketika bermain bersama. Langkah
mereka berdampingan menikmati kesejukan udara pegunungan, menghirup nafas-nafas kehidupan disetiap pohon yang
tumbuh subur di atas tanah yang dipijak.
Sore itu, mereka bertiga bermain bola di
lapangan dekat tempat ibadah penganut ajaran Sang Gautama. Hampir setiap hari
mereka menggiring dan saling tendang bola di tanah ukuran 7x8 meter itu. Juga
bercanda ria seperti burung riang berkicau di dahan pohon jambu. Memintal tali
persaudaraan dengan rajutan kasih cerita yang berawal dari kisah persahabatan.
Ya, meski keyakinan yang mereka anut berbeda, akan tetapi mereka menyatu
dalam seni. Menyukai kebudayaan dimana mereka berpijak tanpa membedakan latar belakang
agama yang mereka yakini. Kebersamaan terajut seperti nada-nada yang mengalun
dari suara pukulan perunggu dan kuningan itu. Menyemai asa bersama ritme yang
dihasilkan dari lembaran logam dengan pemukul kayu. Indah, suara-suara merdu
gamelan Jawa terdengar hingga merasuk dalam jiwa-jiwa yang halus.
Suatu ketika pertanyaan muncul dari si kecil Anas, "Kenapa kita
berbeda keyakinan dengan Toni, kak?" dengan suara dipenuhi tanda tanya
besar di benaknya.
Anang sebagai kakaknya pun juga kebingungan dengan pertanyaan yang sebelumnya
belum pernah ia dengar. Karena Anang sendiri belum tahu bagaimana harus menjawab
pertanyaan adiknya, ia mengajak Anas untuk bersua dengan kedua orang tuanya
agar mendapat jawaban dari kegelisahannya. Orang tua mereka pun tidak terlihat
kaget akan pertanyaan yang muncul dari mulut kedua jagoannya. Karena sang Ayah
sebelumnya telah mengetahui daerah yang dijadikannya tempat untuk membangun rohmah
dalam keluarga.
Orang tuanya menanggapi pertanyaan itu dengan halus, “Mengapa kau
bertanya soal itu, Nak?” Si kecil langsung menyahut, “Aku melihat si Toni setiap
hari Minggu mendatangi vihara di dekat lapangan sana untuk beribadah, Yah. Sedangkan kita setiap
hari pergi ke masjid terdekat. Mengapa kita berbeda?” ucap Anas dengan suara
polosnya.
“Memang agama yang kita yakini, Nak. Tapi kita punya satu wadah tempat untuk
bersatu yaitu budaya, seperti budaya ramah tamah, maupun kesenian Indonesia lainnya. Budaya dan seni tidak akan membeda-bedakan
kita dalam berkeyakinan. Hakikatnya setiap agama itu sama-sama mengajarkan
kebaikan, kebenaran, kerukunan dan kesejahteraan. Di sekolah kan kalian
sudah diajari tentang Pancasila, lupa?” ucap ayah dengan membelai rambut Anas
dan Anang dengan penuh kasih dan sayang.
“Oh iya, ngomong-ngomong
hari ini si Toni kemana sih, biasanya setiap hari nongol, kok belum
kelihatan batang hidungnya?” tanya ayah dengan melangkah menuju meja makan
untuk mengambil air minum. Sepontan Anang menjawab, “Tidak tau ayah, mungkin capek
setelah sembahyang di pojok dusun.”
“Coba kita lihat kerumahnya, kak, sambil kita bawakan ketela rebus
bikinan Ibuk tadi pagi,” ajak si kecil Anas dengan semangat sambil
berlari menuju ibunya.
“Ya coba kalian kesana, barang kali demam atau gimana kalian tidak
tahu kalau tidak mengunjunginya, kan,” kata ayah.
“Siap ayah! Mari, Kak, kita bergegas ke rumah Toni,” Anas meraih tangan
kakaknya dan bergegas menuju gubuk Toni di ujung jalan, berjarak sekitar 3
kilometer dari rumah mereka.
Mereka berdua berjalan dengan langkah kaki mantap, tatapan mata tajam ke
arah jalan berbatu yang membentang di depan. Saat tiba dirumah Toni, mereka
bertemu ayah Toni yang sedang asik menelpon kawannya di teras rumah. "Selamat
siang pak, apakah Toni ada di rumah?” Ayah Toni menghentikan telponnya sejenak
dan menjawab, “Iya, Nak. Toni dirumah kok, masuklah dan coba hibur dia.”
Mereka bergegas masuk ke dalam rumah. “Ton.. Toni! Ayo main!” kata Anang. Anas
menyahut, “Iya, ayo main bola, Ton.” Akan tetapi Toni belum kunjung keluar
bahkan tidak mau menjawab ajakan kawannya.
Anang dan Anas pun kembali menemui ayahnya dan berkata, “Pak kenapa Toni tidak
kunjung keluar menemui kami seperti biasanya?” Tanya Anang dengan
terheran-heran.
“Itulah, Nak, Toni lagi ngambek, dia ingin pindah dari desa
ini.”
“Lho, kenapa pak?” Tanya mereka berdua serentak kaget.
“Hanya hal sepele. Ia merasa berbeda dengan teman-temanya,” jawab ayah
Toni dengan menatap lembut mereka berdua.
“Berbeda soal apa pak?”
“Soal keyakinan, ia merasa berbeda padahal sudah saya kasih pengertian
tentang hal itu,” jawab ayah Toni sembari mengusap peluh di dahinya. Cuaca
siang ini memang cerah, matahari bersinar terang.
“Tapi pak, kata ayah saya tidak masalah kok kalau keyakinan kita
berbeda, kita tetap punya budaya yang mempersatukan perbedaan kita,” kata Anang dengan
semangat karena telah mendapat jawaban dari sang Ayah tadi.
“Coba kalian jelaskan kepada Toni, barangkali kalau yang jelasin
kalian, dia akan mengerti,” ucap ayah.
Anang dan Anas kembali berjalan menuju kamar Toni. Anang mengetuk pintu
kamar dan berteriak, “Ton... Toni, kamu kenapa sih? Ayolah seperti
biasanya, jangan berlarut-larut begini. Aku tau kalau kita mempunyai
keyakinan yang berbeda, tapi kita ini hidup sebagai masyarakat dan mempunyai
budaya kebersamaan, bukankah kita saling bahu-membahu dan saling
tolong-menolong ketika kesulitan, bukankah kita sering bermain bersama dan bercanda tawa. Ayolah kita main bola
lagi,” ajak Anang dengan nada tinggi meyakinkan.
Toni masih merenung di kamarnya. Memikirkan setiap kata yang diucapkan
Anang. Ia mulai membenarkan perkataan temannya itu. “Mungkin benar apa yang
mereka katakan,” ujarnya dalam hati.
“Mungkin kalian benar kawan, tapi,,,” ucap Toni lirih.
“Ayolah kita bermain seperti kemarin-kemarin lagi, Ton!” ajak Anas
Toni masih merenung sejenak. “Ini kami bawakan singkong rebus, manis rasanya,” kata Anang
dengan menawarkan seplastik singkong rebus di tangan kanannya.
Toni mulai memahami apa yang mereka pikirkan. “Terimakasih kawan, kalian
sangat perhatian kepadaku, sekarang aku mulai mengerti apa yang orang tuaku
katakan dan apa yang kalian jelaskan,” kata Toni dengan senyum lebar wajah
berbinar.
“Nah! Ayo sekarang kita main,” teriak Anas kegirangan. “Tidak sabar ingin
bermain bola bersama. Ayo... ayo...ayo...!” lanjutnya dengan menarik lengan
Toni. Mereka bertiga keluar rumah dan berlari kecil menuju lapangan di dekat
Vihara. Ayah Toni menatap mereka bertiga dengan senyum kebanggaan bahwa
anak-anak di desa ini telah mengerti dan paham akan makna kebhinekaan.
“Hey! Kalian mau main bola, ya?” Tanya Ayah. “Iya, Yah,” sahut
Toni.
“Nah begitu kan lebih baik. Kalian lupa ya kalau bola kalian rusak, ini buat
membeli bola baru di toko Bu RT,” kata ayah sambil memberikan uang dua puluh
ribuan.
“Terimakasih, Ayah,” jawab mereka serentak.
Akhirnya mereka bersama-sama lagi seperti biasanya dan bermain bergembira
seperti sediakala.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.