Walaupun Pagi Masih Kelabu
Walaupun Pagi Masih Kelabu
Sebuah pena klasik masih setia bersandar pada lemari kaca sebuah
gedung perkantoran.Sebuah pena dari masa lampau, penuh ukiran indah. Dari hati
yang tulus mengasah. Berbalut kisah yang tak purna, pena itu telah tangguh
menyaksikan peradaban yang terus bergulir melampaui masa. Memperhatikan
pola-pola sandiwara manusia.
Sebuah jemari mungil menunjuk-nunjuk ke arah sang pena. “Ayah, itu
apa?” Tanya seorang anak kecil yang datang bersama laki-laki berdasi. Laki-laki
yang menyerahkan dirinya untuk bekerja di kantor itu.
“Itu pena” Jawab ayahnya kalem.
Anak kecil itu memiringkan kepalanya. “Kok beda sama yang aku
pakai? Punyaku dari plastik”
“Itu pena antik nak, pena yang dipakai orang-orang zaman dahulu,
jadi penanya dicelupkan ke tinta dulu, baru kemudian dipakai.” Sang ayah
menjelaskan dengan sabar dan penuh kasih. Terlihat dari pancaran matanya yang
hangat.
Anak kecil itu mengangguk mengerti. Lalu mengucapkan sebuah
permohonan. “Penanya boleh aku pakai yah?”
“Eh”
“Boleh ya ayah, aku janji bakal ngerawat penanya kok” Anak kecil
itu menarik-narik kemeja ayahnya.
“Hmmm, boleh, tapi.. minggu depan ya”
“Horeeee” Sorak riang menghiasi kantor pagi itu.
Beberapa pegawai kantor yang melihat tingkah anak itu ikut
tersenyum. Kepolosan yang menentramkan jiwa. Namun sang pena mendesah dalam
hatinya, menatap para manusia mengeja aksara, berselimut debu kebohongan yang
tak kasat mata.
__
Pagi ini ada yang berbeda, meja disamping lemari kaca yang dulu
kosong itu kini dihuni oleh sebuah komputer dari abad modern. Mungkin saja komputer
itu memang dihadirkan untuk menemani sang pena.
“Hai kawan” Komputer itu menyapa sang pena ketika siang datang menjelang.
Sang pena masih terdiam, mengamati makhluk di hadapannya. Ciptaan
manusia. Komputer itu adalah hasil seni dari pergolakan sel-sel otak manusia.
“Apa yang membuatmu diam saja?” Tanya komputer itu penasaran.
Alih-alih menjawabnya, sang pena malah kembali melempar pertanyaan “Apa
yang bisa kamu lakukan dengan layarmu itu?”
“Hm? Apa? Aku bisa membantu pendidikan manusia. Menyediakan
berbagai macam ilmu pengetahuan untuk mereka, dengan bantuan internet”
“Kau bahkan mampu menghapus sekat yang tak terjamah oleh waktu.”
“Ya, bahkan manusia mampu menggenggam dunia hanya dengan
bersentuhan denganku.”
Sang pena mengernyit, manusia mampu menciptakan apapun sesuai
keinginannya. Manusia menorehkan pendidikan di setiap sudut bumi, namun tidak
semua umat mampu menggapainya. Pun pendidikan tak selalu menghasilkan manusia
yang berpendidikan. Dan teknologi yang berkembang dimana-mana tidak menjamin
intelektual manusia semakin lebih baik.
__
Di hari minggu yang cerah, tiba-tiba saja terjadi ledakan besar di
pusat kota. Semua bangunan yang ada hancur dan berserakan dengan tanah. Begitu
pula yang terjadi dengan si komputer. Hancur tertimpa puing-puing bangunan.
Namun sang pena masih baik-baik saja, ia terlempar ke luar gedung dan
menyaksikan hampir seluruh kota rata dengan tanah.
Bom, yang bahkan diciptakan oleh manusia sendiri, melukai dirinya
sendiri. Apakah bom adalah hasil dari pendidikan?
Lalu ia melihat sebuah masjid kecil yang masih sanggup berdiri
kokoh. Disana nampak beberapa anak sedang mendalami ilmu pengetahuan. Ia
melihat seorang guru masih memegang kapur tulis dan terpaku melihat
lingkungannya menjadi lebur tiba-tiba.
Sang pena sedikit mengukir senyum. Dalam sandiwara dunia, hidup tak
melulu soal kejahatan atau pendidikan yang tak sempurna. Pagi memang masih
kelabu, pendidikan belum menyentuh segenap kalbu, namun ia yakin, sebuah pena
masih mampu mengabdi pada pendidikan, menciptakan sebuah senja yang indah,
untuk manusia, dimana pendidikan menjadi lampu yang menyinari kehidupan, bukan
api yang membakar semesta.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.