Daya Kritik Mahasiswa yang ‘Sengaja’ Dilemahkan
Oleh: Ariny Sa’adah
Menyampaikan aspirasi
merupakan wujud kebebasan berpendapat yang didengung-dengungkan di seluruh
penjuru dunia. Negara yang mengaku demokrasi memberikan hak kebebasan berpendapat
dan hak menyampaikan aspirasi bagi warganya. Begitupula dengan dunia kampus. Penyampaian
aspirasi mahasiswa yang dilakukan secara damai tanpa merusak tatanan memanglah
menjadi syarat yang harus dilaksanakan. Asalkan aspirasi dapat tersampaikan
kepada pihak yang dituju dan tepat sasaran. Sehingga diharapkan ada tindak
lanjut dari keluhan yang sedang dirasakan. Itu idealnya!
Akan tetapi dunia
demokrasi dalam praktiknya hanyalah simbolisasi. Simbol kebesaran demokrasi
tercoreng dengan berbagai tindakan neo-kolonialisasi. Memang sekarang ini
negara kita (Indonesia) adalah negara yang merdeka dari penjajahan secara
fisik. Kita sering abai bahwasannya penjajah itu semakin menggila permainannya.
Ketidaksadaran kita akan keganjilan yang terjadi di lingkungan merupakan
hasil dari produk neo-kolonialisme. Sehingga masyarakat lebih nyaman
berada di zona nyaman. Tidak mau ambil pusing dan kebingungan. Asal hidup
bahagia dan keluarga nyaman. Padahal zona nyaman adalah zona yang membodohkan. Kita
telah lupa, bahwa kehidupan ini dikuasai oleh segelintir orang yang disebut
dengan ‘elit global’.
Kampus Sebagai Tempat Tidur Bayi yang
di-Nina Bobok-kan
Masih terlalu dini jika
berbicara elit global. Karena sudah banyak sekali hal-hal yang menggelikan di
lingkungan sekitar. Seperti contoh adalah sebuah kampus tempat saya menempuh
Strata I. Menurut hemat pribadi, kampus yang telah bergelar IAIN ini banyak
sampah dan kotoran yang sepertinya sulit untuk dibersihkan. . Seperti individualisme, malas, kebodohan, egosentris,
pikiran kolot, dan objektivitas dosen
terhadap mahasiswa. Mahasiswa di kampus ini lumayan banyak
akibat tranformasi status kampus beberapa bulan yang lalu. Akan tetapi
mahasiswa di kampus ini selayaknya bayi yang di-nina bobok-kan. Akibat
perubahan status kampus tersebut tidak atau belum menghasilkan Sumber Daya
Mahasiswa yang kritis secara intelektual (apalagi secara moral).
Dari berbagai observasi
terhadap perilaku keseharian, mahasiswa memang sengaja dilemahkan daya
kritisnya. Praktik pelemahan ini disampaikan melalui hegemoni dosen terhadap
mahasiswa secara halus dan alamiah. Kategori absen masuk kelas sebanyak 75%
tidaklah masalah. Penumpukan tugas kuliah memang sudah menjadi hal yang wajar
di dunia kuliah. Akan tetapi pelarangan dan pembatasan berproses di luar
kampus, tidak bisa diterima baik secara sosial maupun nalar intelektual.
Pembatasan ini lagi-lagi dikembalikan kepada absen perkuliahan yang harus
dipenuhi oleh mahasiswa. Bahkan berupa ancaman-ancaman tidak dimuatnya nilai di
siakad apabila bertindak macam-macam. Sehingga mahasiswa disibukkan oleh
perkuliahan supaya tidak merusak tatanan yang dibuat.
Kampus Bukan Lahan Doktrinisasi, Apalagi
Praktik Politisi
Selain itu, kekritisan
mahasiswa dibatasi ketika proses perkuliahan di dalam kelas. Beberapa dosen
menyampaikan materi dengan semena-mena, maksudnya tidak memberi peluang kepada
mahasiswa untuk menyampaikan pendapatnya. Bahkan beberapa di antaranya, dosen
menyampaikan doktrin ‘maha benarnya’ kepada para mahasiswa. Dengan sangat
alamiah, mahasiswa pun manggut-manggut dengan sukarela. Waduuuh,
ini kampus pak, buk, bukan lahan doktrinisasi!
Kampus merupakan tempat
para akademisi, yang berbicara tentang apa pun berdasarkan konteks pengetahuan,
bukan pendapat pribadi yang di-Tuhan-kan. Apalagi yang menyangkut benar
dan salah. Ini benar, dan kalau tidak yang ini berarti salah. Kampus ialah
tempat diskusi dan berkumpulnya orang-orang kritis, bukan tempat tindakan para
politis. Kampus sudah selayaknya menutup diri dari gerakan-gerakan yang
mencoreng gelar akademiknya, yaitu politik.
Apabila, sebuah kampus
melemahkan daya kritik mahasiswa dengan alasan agar mahasiswa fokus pada studi,
sehingga tidak mengobrak-abrik tatanan civitas akademika, maka apa bedanya era
reformasi dengan ‘rezim orba’?
Doktrin ‘Anti Kritik’ yang Semakin Merajalela
Di atas saya sebutkan
istilah kolonialisasi, adalah praktik penjajahan fisik dan Sumber Daya Alam seperti
yang dilakukan Belanda dan Jepang di masa pra kemerdekaan. Sedangkan neo-kolonialisasi
adalah sebuah praktik penjajahan dengan cara dan model baru. Penjajahan
dilakukan dengan sangat halus dan lembut melalui pola pikir. Pada akhirnya
menghasilkan sebuah kebiasaan berfikir yang ‘manut’. Pola pikir sengaja
digerakkan oleh para pelaku neo-kolonial. Seringkali para pelaku adalah bangsa
sendiri bahkan saudara sendiri.
Lagi-lagi kampus
menjadi lahan dari berbagai proses praktik penyimpangan. Manusia memang tetap
manusia, hingga akademisi pun terjun di dalam kubangan politik demi hidup yang
lebih baik. Kampus yang identik dengan mahasiswa idealis, dieksploitasi
habis-habisan supaya mencetak warga masyarakat yang memiliki karakter ‘anti
kritik’. Dosen yang sudah membawa ideologi anti kritik ini menyebarkan hegemoni
di kelas-kelas ketika perkuliahan. Hegemoni yang sering saya ketahui adalah
kegiatan ekstra kampus atau kegiatan di luar jam kuliah hanyalah buang-buang
waktu, membuat mahasiswa lupa pada tugas kuliah, jarang masuk kelas, dan IPK
jelek.
Seringkali fenomena
dosen yang anti kritik tersebut menimbulkan efek geram. Bahkan tidak memberi
ruang kepada mahasiswa untuk bergerak bebas. Jiwa-jiwa sosial mahasiswa bahkan
dimusnahkan perlahan. Sedangkan karakter individualisme ditanamkan
besar-besaran. Dibuktikan dengan tidak aktifnya mahasiswa di luar jam
perkuliahan, memikirkan diri sendiri, berfoya-foya, lemahnya daya kritis, tidak
peka terhadap orang sekitar dan lingkungan. Miris!
Lalu bagaimanakah kondisi
kehidupan manusia di masa depan apabila
derajat kekritisan masyarakat (mahasiswa.red) sedikit mendapat ruang bahkan
semakin dilemahkan? Padahal seorang pemikir besar dari Jerman, Max Horkheimer,
telah mengatakan “Masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis
dewasa ini.”
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.