EKSISTENSI PERS MAHASISWA: Pengawalan Menuju Mahasiswa Berideologi “Membela Kaum Tertindas”
Oleh Ariny
Sa’adah
Repro: PPMI |
“Berkaitan dengan ini maka PPMI menyerukan
kepada Pers Mahasiswa dan lembaga Pers Mahasiswa untuk berani dan terus menerus
menginformasikan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat secara nyata dan
utuh sebagai keberpihakan yang riil terhadap komitmen moral dan kerakyatan.”
Tegalboto Jember, 17 Desember 1995
Kutipan
pernyataan tersebut tercantum dalam Deklarasi Tegalboto, yang diselenggarakan
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, sebagai bukti bahwa PPMI mulai mengambil
sikap atas keberaniannya melakukan kritik terhadap pemerintah. Sebuah
pernyataan yang menyatakan diri sebagai insan pers independen.
Mari
kita telisik tujuan awal diciptakannya sebuah perkumpulan; pers mahasiswa (Persma).
Memihak yang pantas dibela; rakyat adalah prinsip bertendensi wujud
keberpihakan pers secara nyata. Hal tersebut menjadi komitmen moral yang layak
untuk dijunjung tinggi. Kredibilitas Persma semakin terasa di masyarakat
apabila pers dalam melakukan aksi kritik tegas berargumentasi.
Kampus,
wahana belajar bagi calon generasi-generasi masa depan negeri. Mulai calon
presiden, pengusaha, politikus, pendidik, hingga preman dan koruptor, berawal
dari kehidupan kampus yang disebut-sebut sebagai miniatur negara. Negara tidak
akan hidup dan mengalami fase perkembangan tanpa tumbuh suburnya lembaga kritik
yang disebut dengan pers. Begitupula universitas, institut, maupun sekolah
tinggi, tidak akan nampak eksistensinya apabila tempat kreativitas mahasiswa, terkhusus
pers, dibungkam bahkan dimusnahkan.
Mahasiswa
yang bergelut dalam dunia pers, idealnya memiliki mental yang tangguh, cerdas
dalam membaca fenomena, dan peka terhadap isu-isu sosial. Konsekuensi logisnya pers
mahasiswa sudah selayaknya berani mengambil resiko dan siap menanggung berbagai
ancaman yang timbul.
Disamping
itu, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan sangat diperlukan. Kredibilitas
seorang wartawan atau penulis semakin terpercaya ketika telah banyak wacana
yang ia kuasai. Dikarenakan ilmu-ilmu tersebut mengambil peran besar dalam sebuah
tulisan. Melingkupi ilmu kebahasaan, ilmu politik, hukum, dan sebagainya. Sehingga
seorang Persma paham dalam berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, akan tetapi
tidak secara mendalam seperti para ahli atau ilmuwan.
Mahasiswa
pers, berangkat dari Persma yang memperlajari pengetahuan tentang “pers”,
termasuk teori-teori hingga etika dan ideologi yang semestinya disandang oleh Perhimpunan
Pers Mahasiswa. Independensi adalah satu ajaran hakikat pers. Kebebasan
berpendapat yang tertuang dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers
sudah menjadi makanan dan kebutuhan primer Persma. Meskipun sebenarnya
legalitas Persma belum disetujui oleh pemerintah.
Lembaga
yang masih murni ini tidak ada intervensi dari pihak lain serta independen
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Berbeda dengan media pers mainstream
pada umumnya. Mereka akan memihak pada perusahaan yang memberikan profit besar.
Sehingga karena unggul dalam kebebasan berekspresi, Persma sudah semestinya memanfaatkan
posisi tersebut secara maksimal, khusunya dalam mengawal kaum tertindas.
Akan tetapi banyak juga kasus-kasus tentang
pembredelan Persma karena dianggap menggangu aktivitas kampus. Seperti kasus pembredelan
LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
pada tahun 2016. Tindakan ini dilakukan oleh rektoratnya sendiri, dan bukan
dari pemerintah. Seperti dikutip dari tirto.id bahwa saat negara tidak lagi membredel, malah kampus
sering berusaha membredel Pers Mahasiswa.
Hal tersebut dilakukan oleh para oknum-oknum yang
anti-demokrasi. Mengapa harus ada pembredelan jika sistem yang dianut adalah
demokrasi? Apakah pihak yang bersangkutan belum mendalami dan kurang dalam membaca
wacana demokrasi? Ataukah demokrasi hanya sekedar simbolisasi dan teori belaka?
Karena kita hidup di negara demokrasi, sudah
selayaknya menghargai pendapat-pendapat yang beragam. Apabila suatu negara
(kampus.red) tanpa ada yang mengkritik maka sistemnya beralih ke rezim. Dimana
semua tindakan dan keputusan mutlak milik penguasa.
Di
sinilah peran Pers Mahasiswa yang berat ditanggung, akan tetapi mulia
dirasakan. Kepedulian pada manusia lain, khususnya masyarakat kampus, yang di zaman
ini buta akan fenomena-fenomena janggal, menjadikan mereka –birokrat kampus– merasa
aman dan lena. Keberadaan mahasiswa yang memiliki ketajaman dalam analisis dan
kritik sangat dibutuhkan sebagai fungsi kontrol terhadap birokrasi. Akan tetapi
saat ini mahasiswa apatis dan sibuk dengan dunianya sendiri yang seringkali
kurang mencerdaskan. Kalau bukan Persma, siapa lagi?
Mengusung ideologi “membela kaum
tertindas” seperti yang saya ambil sebagai judul tulisan ini, Pers Mahasiswa dalam
keadaan apapun harus berada di pihak yang lemah. Pemerintah akan sewenang-wenang
dan semakin menindas jika kritik dari pers tidak tegas. Seringkali paham yang dianut
oleh pers berbeda-beda. Ada yang halus seperti tokoh Jacob Oetama, ada juga yang
berani melakukan aksi kritik keras terhadap pemeritah seperti revolusioner
Dahlan Iskan.
Akan tetapi, Pers Mahasiswa dituntut
untuk peka terhadap fenomena sosial, dan menumbuhkan efek kritik konstruktif. Bahkan
juga mampu melakukan kritik yang transformatif sehingga mampu menciptakan
perubahan ke arah yang lebih ideal. Tugas lain dari Pers Mahasiswa adalah menciptakan
kader-kader militan bermental baja, kuat terhadap cela dan hinaan. Selain itu,
diperlukan fokus dalam memperluas link serta basis media. Karena perlu
diingat bahwasannya muara pergerakan Pers Mahasiswa berkecimpung dalam media.
Praktek kerja jurnalistik melalui media merupakan upaya untuk merawat idealisme
yang searah dengan jalan tempur Persma.
Akan tetapi, lagi-lagi legalitas
menjadi permasalahannya. Legalitas dari kampus memang diperlukan bagi Persma dalam menjalankan aktivitas jurnalistik.
Akan tetapi tidak sepenuhnya Persma tunduk pada peraturan kampus secara
absolut. Namun tetap memegang kode etik jurnalistik dalam penerapannya ialah
hal yang utama. Pers Mahasiswa merupakan wahana belajar bagi mahasiswa untuk
menumbuhkembangkan kepekaan sosialnya kepada masyarakat. Pasalnya masyarakat
sebagai rakyat perlu jembatan untuk menyalurkan aspirasi dan suaranya. Alhasil Pers
Mahasiswa-lah yang harus bergerak dan menjadi corong bagi keresahan
masyarakat terhadap keputusan dan tingkah pihak pemerintah. Bukan malah
melakukan intervensi dengan pemerintah, merapat kepada birokrat untuk mencari
muka dan keamanan. Hal ini sangat disayangkan apabil terjadi pada Persma.
Disamping itu, perilaku tersebut
sama sekali tidak mencerminkan keberpihakannya pada rakyat ataupun pihak yang
perlu dibela. Apabila pemerintah bersikukuh untuk tidak memberikan pengakuan
dalam bentuk tertulis maupun konvensi, hal ini sama sekali bukanlah persoalan
yang perlu dihadapi. Karena Pers Mahasiswa eksis di lingkup kampus bahkan di
masyarakat merupakan hasil kerja nyata, bukan omong kosong belaka.
Mencari aman bukanlah pilihan.
Khawatir dengan masa depan bukan kendala untuk bersuara. Kehidupan kita
bukanlah di tangan pemerintah, tetapi ada pada kuasa Sang Pencipta. Hal ini
mengingatkan saya pada kutipan puisi Gus Mus yang berjudul “pilihan”.
Antara perang dan damai tentu kau
memilih damai
Lihatlah, kau habiskan umurmu berperang demi perdamaian
Lihatlah, kau habiskan umurmu berperang demi perdamaian
Antara beradab dan biadab tentu kau
memilih beradab
Lihatlah, kau habiskan umurmu menyembunyikan kebiadaban dalam peradaban
Antara nafsu dan nurani tentu kau memilih nurani
Lihatlah, kau sampai menyimpannya rapi jauh dari kegalauan dunia ini
Lihatlah, kau habiskan umurmu menyembunyikan kebiadaban dalam peradaban
Antara nafsu dan nurani tentu kau memilih nurani
Lihatlah, kau sampai menyimpannya rapi jauh dari kegalauan dunia ini
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.