Menulis Tanpa Teori, Bukan Berarti ‘Buta Teori’
Oleh: Ariny Sa’adah
Ilustrasi: catatankematiankomandan.blogspot.co.id
"Apabila
pernyataan salah satu dosen di Ponorogo sekaligus penulis buku Kiat Cepat
Menulis Puisi dan Cerpen, Sutejo, mengatakan bahwa menulis itu tanpa teori,
maka saya akan mengatakan begini, “Menulis tanpa teori, bukan berarti buta
terhadap teori.”
~Ariny~
Menulis adalah salah satu
bentuk dari serangkaian proses belajar. Mendengar, membaca, berbicara, dan
terakhir adalah menulis. Menulis membutuhkan tingkat pemahaman terhadap berbagai
hal dalam ilmu pengetahuan yang luas. Orang dengan gelar mahasiswa, sudah
sepatutnya mampu menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Para akademisi
memang dituntut untuk bisa menulis dengan bentuk apapun seperti jurnal, karya
ilmiah, dan minimal mampu menulis sebuah artikel. Karena syarat kelulusan dari
sebuah kampus adalah membuat sebuah karya tulis wajib yang disebut skripsi, tesis,
dan disertasi.
Akan tetapi fenomena yang
terjadi adalah banyak di antara kalangan akademisi tidak mampu menulis. Bahkan
kebingungan untuk menulis satu paragraf atau satu halaman pun. Hal ini sudah
tidak mengherankan di kalangan mahasiswa. Bahkan ketidakmampuan ini
menjadikannya hal yang wajar dengan alasan “menulis bukan hobi saya”. Seketika
muncul dalam pikiran penulis, apakah mengerjakan skripsi, tesis, dan
disertasi adalah hobi seorang penulis? Jawabannya adalah bukan, semua itu
adalah tuntutan yang harus ditempuh bagi yang ingin mencapai goal-nya.
Maka, menulis tidak
selamanya dikerjakan oleh orang-orang yang hobi menulis. Akan tetapi setiap
akademisi dan profesi tertentu sudah selayaknya mampu menerapkan aktivitas
tulis menulis dengan baik sebagai bukti bahwa ia adalah seseorang yang pernah
menempuh bangku perkuliahan. Apakah ia tidak malu dengan orang lain yang tidak
pernah menyentuh bangku perkuliahan akan tetapi produk tulisan dan karya
ilmiahnya melebihi tulisan akademisi?
Ada hal lain yang bikin
geram hati juga emosi, yaitu ketika seorang mahasiswa mengaku tidak mampu
menulis dengan baik, sedangkan ia memang tidak mau melakukan perbaikan terhadap
cara menulisnya. Contohnya, seorang mahasiswa dengan pikirannya yang
jenius menghasilkan ide-ide cemerlang dan inovatif. Akan tetapi karena ia tidak
bersungguh-sungguh dalam belajar menulis, hasil ide-ide kreatif tersebut
dicurahkan dalam bentuk tulisan yang berantakan. Sangat tidak lucu apabila
hal ini terjadi pada anak pers mahasiswa. Tidak masuk akal dengan ‘pembekalan’
menulis porsi combo, tetapi faktanya? (periksa sendiri)
Seringkali istilah
berantakan ini dibuktikan dengan penyampaian gagasan yang bertele-tele. Pengulangan
kata berlebihan pun seringkali dijumpai dalam penulisan. Bahkan, beberapa
di antara produk tulisannya tidak memahamkan pembaca. Akan tetapi, bukan berarti
tulisan yang tak beraturan strukturnya tersebut dikatakan salah. Karena dalam
ilmu pengetahuan tidak menyoal tentang salah dan benar. Disini, hanya akan
dikatakan bahwa menulis perlu belajar dan latihan. Apabila pernyataan salah
satu dosen di Ponorogo sekaligus penulis buku Kiat Cepat Menulis Puisi dan
Cerpen, Sutejo, mengatakan bahwa menulis itu tanpa teori, maka saya akan
mengatakan begini, “Menulis tanpa teori, bukan berarti buta terhadap teori.”
Di samping itu, tokoh-tokoh
pemikir yang sering digemari oleh kalangan intelektual mahasiswa, juga
menghasilkan karya-karya besar dengan tulisan-tulisannya. Sehingga tulisan
dalam karya hebat itu mampu mempengaruhi pikiran pembaca. Tentunya dengan
proses penulisan yang teratur dan sesuai kaidah bahasa yang dianutnya, pemikir-pemikir
belahan dunia timur dan barat mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap
perkembangan dunia.
Banyak tokoh-tokoh yang
mendengungkan untuk menulis. Seperti yang dikatakan oleh pemilik karya ‘Bumi
Manusia’, Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah suatu tindakan untuk keabadian.
Jika seseorang ingin dikenang maka menulis adalah salah satu solusinya. Bahkan ada
satu pepatah yang sering beredar dari seorang filsuf belahan Timur, Imam Al-Ghazali,
bahwa jika seseorang tidak memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur sosial, maka menulis adalah
salah satu solusi untuk menunjukkan eksistensi. Pepatah yang diungkapkan oleh
penulis kitab Ihya’ Ulumuddin tersebut adalah “Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka
jadilah penulis”.
Ilustrasi: catatankematiankomandan.blogspot.co.id
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.