Pelanggaran Politik Praktis: Buntut Belum Tegasnya Peraturan OMEK di IAIN Ponorogo
Ilustrasi |
lpmalmillah.com, Ponorogo - Organisasi menurut KBBI adalah kesatuan (susunan dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dan sebagainya) dalam perkumpulan dan sebagainya untuk tujuan tertentu. Bicara soal organisasi, mahasiswa di perguruan tinggi juga
tak lepas dari aktifitas keorganisasian, sehingga tercetus
istilah “mahasiswa aktivis”. Sedangkan organisasi mahasiswa sendiri terbagi menjadi
dua, yakni OMIK (Organisasi Mahasiswa Intra Kampus) dan OMEK (Organisasi
Mahasiswa Ekstra Kampus) yang keduanya memiliki kiprahberbeda. Menurut draf Peraturan Kemendikbud RI tentang
Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi 28 Oktober 2011,
organisasi kemahasiswaan
bertujuan untuk mengembangkan kegiatan kemahasiswaan sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
Selain itu, dalam Peraturan Kemendikbud RI tentang
Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan TinggiNo. 155/U/1998 juga
mengatur tentang ruang lingkup organisasi mahasiswa. Organisasi intra mendapat naungan dari pihak kampus, baik dari
segi kegiatan maupun pendanaan. Organisasi intra melaksanakan program kegiatannya berdasarkan persetujuan dan dukungan dari
para pemangku kebijakan
di kampus. Skala pergerakan
organisasi intra lebih banyak dalam lingkungan kampus. Sedangkan, organisasi
ekstra berjalan searah dengan visi-misinya yang fokus pada pengembangan
karakter mahasiswa dan mengarah ke beragam aktivitas mulai dari agama, sosial
maupun kebangsaan. Organisasi ekstra tidak mendapat dukungan dana maupun
perlindungan dari kampus. Salah satu keunggulan organisasi ekstra terdapat pada jaringannya
yang berskala nasional.
Organisasi Mahasiswa IAIN Ponorogo
Begitu pula yang terjadi di Institut Agama Islam NegeriPonorogo. Sejumlah mahasiswa menjadi
aktivis organisasi intra maupun ekstra kampus. Organisasi intra di IAIN Ponorogomisalnya Sema (Senat Mahasiswa) dan Dema (Dewan Eksekutif)
Institut maupun Fakultas, HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) dan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) seperti
UKM Olahraga, UKM Bela Diri, UKM Pramuka, UKM Seiya (Seni dan Budaya), UKM KSR (Korps Suka Rela), UKM UKI (Unit Kegiatan Islam) Ulin Nuha, Kopma (Koperasi Mahasiswa) Al-Hikmah dan LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Al-Millah.
Aktivis
organisasi intra akan menjalani beragam
kegiatan sesuai visi dan misi organisasi masing-masing. Dalam organisasi yang berkaitan dengan
jurusan (HMJ.red), terdapat kegiatan kejuruan seperti diskusi, seminar, dan
pelatihan-pelatihan. Sedangkan kegiatan UKM
berisi pengembangan bakat dan
minat anggotanya sesuai citra yang melekat pada organisasi.
Selain
aktif di OMIK, sejumlah mahasiswa
IAIN Ponorogo juga
mengikuti kegiatan organisasi ekstra
di kampus.
Mulai dari PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), KMNU (Keluarga Mahasiswa
Nahdlatul Ulama), dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). PMII, IMM, dan KMNU di IAIN Ponorogo
merupakan underbow dari organisasi kemasyarakatan, yakni Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah. Maka, orientasi gerakan dan pembinaannya membawa spirit
kebangsaan dan keintelektualan serta semangat nahdliyin dan Muhammadiyin. Sedangkan HMI dan KAMMI berorientasi pada pembentukan
karakter keislaman kadernya yang diiringi dengan kegiatan sosialkemasyarakatan.
Praktik
Politik OMEK di IAIN Ponorogo
Meski
OMIK dan OMEK di IAIN Ponorogo
memiliki kiprah yang berbeda, tetapi dapat dilihat bahwa keduanya saling
berkaitan. Terutama karena keduanya sama-sama beranggotakan mahasiswa. Tidak hanya itu, banyak aktivis
OMIK yang juga merangkap sebagai
anggota OMEK.
Juga sudah menjadi rahasia umum bahwa pengurus OMIK IAIN Ponorogo didominasi oleh aktivis dari salah satu OMEK.
Hal itu diakui oleh Ummi, salah satu
pengurus HMJ Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Ia menyampaikan bahwa ketua OMIK didominasi oleh PMII. “Iya, ketua intra emang kebanyakan anak PMII”,
terang dia.
Pengakuan
Ummi senada dengan
pernyataan Sarifudin.
“Memang seperti itu. Intra, kebanyakan
dari mereka (PMII.red)”, ujar salah satu pengurus HMJ Pendidikan Agama Islam ini.
Sebagai contoh atas sikap politik praktis organisasi
mahasiswa, kita bisa meninjau kembali Kongres Mahasiswa I 2017 saat pemilihan
bakal calon ketua HMJ Tadris IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) yang notabene
merupakan jurusan baru. Arsyad, salah satu mahasiswa Tadris IPS mengaku bahwa
para petinggi mahasiswa dari SMJ (Senat Mahasiswa Jurusan) Tarbiyah
mengintruksikan kepada mahasiswa jurusan Tadris IPS untuk mengajukan bakal
calon dengan tambahan kriteria
di luar syarat formal yang ada. Syarat tersebut
diberikan secara sepihak oleh mereka. Ia melanjutkan, syarat tersebut berupa
keharusan calon untuk mengikuti atau harus berasal dari PMII.
Masalah
berlanjut ketika mahasiswa yang telah mengikuti organisasi tersebut tidakmemperoleh
dukungan dari beberapa mahasiswa jurusan Tadris IPS."Iya,kebanyakandari
kami memilih calon yang bukan anggota ekstra itu", kata Muhammad Yogi
selaku ketua satu-satunya kelas di jurusan Tadris IPS saat itu.
Sehingga, pada akhirnya bakal calon yang memiliki banyak
suara itu disetujui untuk maju dengan janji akan mengikuti PMII nantinya. “Kami tidak setuju dengan cara yang
seperti ini. Demokrasi tidak dijunjung di dalamnya”,
tegas Arsyad selaku calon ketua HMJ IPS kala itu.
Ketika
dikonfirmasi, Iqfan Rifaul selaku ketua SMJ Tarbiyah periode 2016/2017mengelak.
Ia menyangkal adanya aturan tambahan bahwa kandidat ketua HMJ Tadris IPS saat
itu harus anggota PMII. "Tidak", jawabnya singkat.
Ketimpangan
dapat dilihat di sini, mengingat OMIK bukanlah ranah aktivitas politik OMEK.
Membawa “bendera”
OMEK dalam organisasi intra bisa dikatakan sama halnya dengan membawa “bendera”
partai dilembaga pemerintahan. Dengan demikian, mahasiswa secara tidak langsung
telah menerapkan praktik politik praktis dalam kampus.
Hanif
Munawirullah selaku Ketua PMII IAIN Ponorogo mengatakan bahwa tidak semua ketua
OMIK berasal dari PMII, salah satunya adalah Ketua HMJ IPS. “Saya kira PMII tidak menguasai kampus.
Buktinya, Ketua HMJ IPS bukan kader saya. Di sana belum ada pengembangan
kader kami. Jadi kami rasa jangan dulu”, tuturnya.
Hisyam
Al Faridziselaku ketua HMI menyatakan bahwa bukan ranah OMEK untuk merasa berkuasa di kampus, karena
kampus bukan milik satu kelompok, melainkan milik bersama.“Persaingan memang lumrah
asalkan dalam kebaikan dan tidak ada unsur mementingkan kelompok di atas
kepentingan bersama”, ujar mahasiswa yang biasa dipanggil Zizi
ini.
Peraturan
Dikti Perihal
OMEK
Pergeseran peran OMEK
tersebut tidak sesuai dengan harapan dari pemangku kebijakan dalam hal ini
Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Sebagaimana tertulis di
Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Indonesia, No. 26 Tahun 2002 bahwa OMEK memiliki batasan untuk melakukan
aktivitas di dalam kampus. “Melarang
segala bentuk organisasi ekstra kampus dan partai politik membuka Sekretariat
(Perwakilan) dan/atau melakukan aktivitas politik praktis di kampus”,
seperti itulah yang tertulis di SK tersebut.
Dari keputusan tersebut
dapat dilihat bahwa OMEK tidak mempunyai keleluasaan untuk melakukan
aktivitasnya di lingkungan kampus. Pertama,
tidak diperbolehkan membuka sekretariat di perguruan tinggi. Menurut Saiman
(2002:31), sekretariat merupakan suatu tempat di mana terjadinya aktivitas
kerja yang sifatnya tetap pada suatu kantor atau suatu tempat yang telah
ditetapkan untuk mencapai tujuan bersama.
Kedua,
dilarang untuk melakukan politik praktis. Mengutip dari POLBANGMAWA (Pola Pengembangan
Kemahasiswaan) yang dicetak oleh Dikti di tahun 2006, politik praktis adalah kegiatan dalam kampus atau
mengatasnamakan kampus yang bertujuan untuk mendukung partai politik atau
organisasi ekstra perguruan tinggi. Dikutip dari artikel Frachman dalam laman beritash.com, politik praktis adalah
sebuah dunia ketika segala itikad, motif, kepentingan, dan ambisi hadir
bersamaan dan saling berhimpit untuk memperebutkan kekuasaan. Secara kasat
mata, yang diperebutkan adalah jabatan, kedudukan atau posisi. Namun secara
implisit, yang diperebutkan sesungguhnya adalah otoritas dan wewenang untuk
membuat keputusan-keputusan publik.
Hal itu
dibenarkan, melihat dari POLBANGMAWA BAB IV No. 6 tentang Strategi Pengembangan
berbunyi”Membentuk suasana yang kondusif agar mahasiswa tidak
terlibat dalam kegiatan politik praktis sehingga mahasiswa tidak menjadi
terkotak-kotak. Hal
ini antara lain dengan tidak memberi izin organisasi ekstra-perguruan tinggi
maupun organisasi lainnya yang merupakan underbow dari parpol untuk mempunyai
eksistensi di wilayah kampus”.
POLBANGMAWAadalah
acuan bagi perguruan tinggi untuk pengembangan skill
mahasiswa di luar kegiatan akademik. Dalam buku panduan tersebut menekankan
kembali SK Dikti No.26 Tahun 2002, bahwa mahasiswa tidak diperkenankan
melakukan politik praktis dan perguruan tinggi tidak memberikan izin kepada
OMEK untuk menunjukkan eksistensinya di wilayah kampus.
Pengaplikasian
SK Dikti di Perguruan
Tinggi
Dalam
pengejawantahan SK Dikti, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta telah mengambil langkah labih
dahulu dengan memberi batasan gerak bagi OMEK di area kampus. Dilansir darilpminstitut.com,
organisasi ekstra kampus dilarang untuk menggunakan fasilitas kampus. Pembantu
Rektor Bidang Kemahasiswaan tahun 2010, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya menyatakan bahwa kebijakan larangan masuknya
organisasi ekstra kampus dan sejenisnya masuk ke kampus sebenarnya merupakan
kebijakan lama. Hal itu bertujuan agar tidak ada pengkotakan mahasiswa
berdasarkan sentimen kelompok organisasi maupun ideologi tertentu.
Simbol-simbol organisasi ekstra juga tidak diperbolehkan untuk
dipasang.Peraturan serupa juga diterapkan di IAIN Ambon, UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung, UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret) Surakarta, dan Universitas Telkom Bandung, yang dilansir oleh www.upi.edu,
lpmnovum.blogspot.com, dan
anaktelkom.com.
Sementara itu, IAIN
Ponorogo belum menerapkan peraturan seperti di Jakarta, Ambon, Bandung, dan Surakarta dengan maksimal.
Syaifullah selaku Wakil Rektor III IAIN Ponorogo menyatakan bahwa pihaknya
tidak punya jalur untuk memberi tindakan ataupun melarang aktivitas OMEK. Ia
melanjutkan, rektorat hanya melarang pemasangan spanduk dan simbol-simbol
organisasi ekstra di area kampus. Membuka stan pendaftaran masih diberi
kelonggaran asalkan mengantongi izin dari Warek III. Adapun penggunaan
fasilitas kampus yang diperbolehkan hanya pada penggunaan Graha Watoe Dhakon
mengingat gedung tersebut adalah fasilitas untuk umum, tetapi diharuskan
memenuhi ketentuan yang berlaku. Jika OMEK melanggar, maka konsekuensinya
adalah teguran. “Setiap kampus punya cara
berbeda untuk melaksanakan aturan tersebut. Tapi kami pun melarang tegas
politik praktis", ujar Syaifullah.
Peraturan
Dikti tersebut mendapat beragam respon dari beberapa aktivis OMEK. Nawir menanggapi,
bahwa aspek sosiologis kampus
belum mendukung untuk diterapkannya aturan tersebut. “Kampus kita gak bisa lepas dari ekstra. Cukup dibatasi saja dengan
izin”,
ujar mahasiswa semester tujuh tersebut.
Wahyu selaku penasehat KMNU IAIN Ponorogo, berpendapat bahwa hanya sebagian kecil
mahasiswa yang tertarik pada politik. Ia melanjutkan, organisasi ekstra
bukanlah partai politik yang memperebutkan kekuasaan, bukan pula organisasi
massa yang menjadi motor kemenangan partai. “Menurut
saya yang harus diberlakukan bukan pelarangan, tetapi batasannya harus
diperjelas”, tegasnya.
Hal senada disampaikan
oleh Jhonha Ilham Hasibuan, ketua KAMMI IAIN Ponorogo. Ia berkata bahwa
masuknya organisasi ekstra ke ranah kampus akan menutupi kesempatan organisasi
intra untuk muncul. “Ekstra memang harus
di luar, kalaupun
mau masuk ya harus ada izin”, terang mahasiswa
jurusan IAT ini.
Syaifullah telah
menyebutkan batasan-batasan OMEK di kampus. Namun demikian, hal tersebut belum
dipatuhi sepenuhnya oleh OMEK. Terbukti dari adanya bendera berlatar kuning
miliksalah satu OMEK pada Selasa (12/9/17) yang
berukuran sekitar 3 x 3 meter di kampus II IAIN Ponorogo, tepatnya di gedung
B yang terpasang pagi hari di depan dinding kaca bagian tengah. Syaifullah hari
itu melihat dan langsung memberi intruksi untuk menurunkannya. Hal itu
dibenarkan oleh Adip Mashuri, salah satu Satpam di kampus II. Menurutnya,
pemasangan juga tidak meminta izin terlebih dahulu ke Satpam.“Saya lihat sendiri Pak
Syaifullah minta karyawan untuk menurunkan benderanya”, kata Adip.
Moh. Faishal selaku
Presiden Mahasiswa beranggapan, jika
pemasangan memang tanpa izin, maka bukan salah bila sampai diturunkan. Menurut Faishal yang juga aktivis OMEK ini, izin menjadi syarat mutlak untuk
pemasangan atribut apapun di area kampus. “Harusnya
ya sesuai prosedur. Kalau sudah izin ya silahkan”, tegas Faishal.
Perbedaan
pengejawantahan SK Dikti memang pasti ada, namun jika tidak
berbentuk peraturan tertulis maka
tidak akan diambil serius oleh pihak-pihak terkait, dalam hal ini OMEK. Zuhal selaku ketua IMM
mengatakan bahwa Warek III memang pernah menyinggung perihal eksistensi simbol
organisasi ekstra di kampus.”Pak
Syaifullah pernah menyinggung tentang itu, namun sampai sekarang kampus tidak
punya hukum tertulis terkait itu. Mungkin, masih
ada kekosongan hukum di sana”,
terang Zuhal.
Organisasi mahasiswa, baik intra maupun
ekstra sama-sama bertujuan baik dalam pengembangan mahasiswa. Namun demikian,
masing-masing organisasi tersebut memiliki koridor yang berbeda. Dikti telah
mempertegas batasan tersebut. Di samping itu juga sudah ada beberapa universitas yang menegakkan larangan tersebut. Tetapi belum terlihat ketegasan tersebut di IAIN Ponorogo, walaupun kampus
menegaskan turut mendukung peraturan Dikti itu. Syaifullah mengaku bahwa
pihaknya akan mempertegas aturan yang berkaitan dengan organisasi ekstra. “Nanti pada saatnya, kami akan tertibkan sesuai aturan
yang ada”,janji Syaifullah di akhir wawancara.
Reporter: Azka, Taufik, Riza, Airyn, Laila
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.