Seminar Dialektika Agama dan Politik, Ulil: “Politik Islam Indonesia Masih Primitif”
Reporter: Abidin
Repro: Ienas Tsuroiya |
lpmalmillah.com, Ponorogo – Dialektika
antara agama dan politik, memposisikan agama dalam dunia politik dan
sebaliknya. Seperti itulah garis besar pembahasan dalam acara Seminar Nasional yang
diselenggarakan oleh Pascasarjana IAIN Ponorogo di Graha Watoe Dhakon Selasa
(12/12)
Tahun-tahun
politik yang sudah di depan mata dan agama yang akhir-akhir ini semakin nyata
dibawa ke ranah politik praktis adalah latar belakang seminar ini diadakan. “Agama
tidak pernah lepas dari politik praktis Indonesia. Akan jadi masalah bila
politik praktis memperkosa agama yang dijadikan sebagai alat partai untuk
perebutan kekuasaan,” terang Aksin Wijaya selaku direktur Pascasarjana.
Abid Rohmanu sebagai moderator juga menambahkan bahwa akhir-akhir ini agama sering
ditampilkan sebagai “simbol-simbol” yang justru dapat menimbulkan konflik
horizontal. “Tema yang kita ambil sangat relevan karena tahun depan (2018)
kita akan menyambut Pilkada serentak dan Pilpres di tahun 2019,” tuturnya.
Intelektual
muda Ulil Abshar Abdalla yang terkenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya
dan Martinus Sardi, dosen UMY yang belum lama menjadi muallaf dan dosen di
Italia didaulat sebagai narasumber pada forum ini. Martinus juga malang
melintang dalam misi perdamaian dan HAM di Israel dan negara-negara Timteng
serta Eropa.
Ulil
menjelaskan bahwa model politik Islam Indonesia (Indonesian Way)
berbeda dengan negara lain yang mayoritas Islam (Arab, Mesir, Malaysia) tetapi
lebih mirip dengan Turki, yaitu pada posisi agama dan demokrasi yang dapat
berjalan dengan akur. Islam di Indonesia lebih mengutamakan subtansi keadilan
sosialnya daripada formalisasi hukum-hukumnya.
Menantu
dari Mustofa Bisri (Gus Mus) itu juga menambahkan bahwa agama Islam belum
menjiwai perilaku politik Indonesia. Yang dijadikan fokus adalah bagaimana
caranya meraih dan mempertahankan kekuasaan, bukan manfaat atau fungsi dari
kekuasaan itu sendiri. “Politik Islam
Indonesia masih primitif, kelas dunia ketiga. Yang dipikirkan sekedar how to
get and maintain the power, bukan what the power is for. Nilai universal Islam
belum diejawantahkan oleh individu maupun partai dalam dunia politik,” tegas
alumni Harvard Univerty itu.
Saat
disinggung tentang sikap para intelektual Indonesia yang apolitik padahal
memiliki kemampuan mumpuni, ia menyatakan bahwa memang para kiai, ulama atau
intelektual lebih cocok mengemban peran profetik (kenabian), menyampaikan
gagasan atau nasihat dari luar dunia politik daripada terjun langsung jadi
politisi. “Kiai itu jadi syuriahnya politik saja. Pengurus tanfidhiyahnya
biar para politisi,” imbuhnya.
Sementara
itu Martinus menegaskan bahwa yang akrab kita temui hari ini adalah politisasi
agama. Agama hanya dijadikan sebagai alat perebutan kekuasaan. “Mayoritas para
politikus menjadikan agama sebagai instrumen dalam kampanye politik saja.
Setelah mereka terpilih malah lupa berterimakasih pada agama dan rakyat yang
memilihnya,” paparnya.
Sosok
yang pernah menjadi pendeta di Italia itu juga menerangkan bahwa umat Islam di
Indonesia sering ditipu janji-janji palsu politisi. Rakyat begitu mudah memilih
pemimpin hanya karena seagama, bukan karena perilaku keberagamaannya.
Agama
(Islam) dan politik tidak bisa dipisahkan tetapi harus didialektikkan. Islam
dibutuhkan utuk menjaga moralitas politik. Sedangkan politik dibutuhkan agama
sebagai haris ad-diin (penjaga eksistensi). Pernyataan dari moderator di
atas menutup seminar hari ini.
Lanjutkan
ReplyDeleteSIAP!
DeletePemikiran politik modern mengajarkan agar kita memisahkan antara negara dan agama. Padahal ada hubungan antara kita, tanah air, negara, dan Tuhan. Dialektika seperti ini harus melalui exstra-pemahaman yang komprehensif. (Sinau bareng Cak Nun)
ReplyDeletemantab!
Delete