Surat Untuk Calon Guru
Aku meletakkan secangkir kopi panas yang
mengepul bersama dengan sebuah amplop putih di atas meja kayu, kemudian
terduduk nyaman pada kursi dan membaca surat kiriman seseorang itu. Sebuah
potret laki-laki dan selembar kertas berwarna merah jambu yang berisi tulisan
tangan teramat indah. “Dialah dosenku” begitulah yang tertera di balik potret
itu. Adalah gadisku, jika aku boleh menyebutnya begitu, seseorang yang begitu
mengagumi dosennya, dosen yang juga seorang relawan pendidikan yang mengajar di
tempat-tempat tak terjangkau mata penguasa. Melakukannya di sela-sela kesibukan
jadwal mengajar kuliah. Dosen yang luar biasa katanya. Aku menopang dagu untuk
sejenak. Memikirkan sesuatu. Di detik kemudian, aku meraih pena lantas mulai
menggoreskan kenangan.
Aku mengawali sajak pada selembar kertas
dengan sebuah kisah, tentang seorang guru. Di masa putih abu-abuku yang lalu,
beberapa tahun silam. Tentang pelajaran ekonomi, yang sedikit banyak pernah kucintai. Pelajaran yang kini kembali ku tempuh di status kemahasiswaanku. Dulu
sekali, aku adalah seseorang yang cukup gila dengan pelajaran. Seseorang dengan
nilai yang harus di atas standar. Bahkan, aku sering mengikuti beberapa lomba
ekonomi. Walaupun masih berakhir pada status finalis. Jadi, seperti inilah
dongeng kehidupanku.
Saat itu, aku membuka lembar-lembar buku
pelajaranku dengan bosan, sembari menguap beberapa kali. Menunggu. Lalu seorang
laki-laki sedikit tambun memasuki ruang kelas. Membawa sebuah buku yang sama
persis milikku dan beberapa benda lain lantas meletakkannya begitu saja di meja
guru dan berdiri di depan kelas, membelakangi papan tulis yang masih putih.
Memulai pagi dengan selukis senyum dan sebuah salam yang hangat. Orang-orang
memanggilnya Pak Lutfi.
Merapalkan kisah tentang seseorang yang
beliau kagumi. Aku menatap heran pada sosok di hadapanku. Ini saatnya pelajaran
ekonomi bukan? Namun yang kudapati adalah rangkaian dongeng. Memaparkan riwayat
hidup seseorang. Aku menangkap nama yang beliau sematkan. Seorang ustadz.
Perasaan kagum yang beliau ungkapkan itu menerbitkan sebait kata sederhana,
yang kemudian menjadi semangat saat diri merasa rendah. Seperti mantra ajaib.
Kala melihat sesuatu yang diinginkan, cukup menyentuhnya dan rapalkan dalam
hati “Semoga akan singgah di rumahku”. Sebuah do’a. Sebuah harapan.
Sepagi itu, di jam pertama pelajaran,
beliau menjelaskan makna sholat dhuha yang rutin dilaksanakan masyarakat
sekolahku. Sekolah swasta islam. Kami memiliki agenda sholat dhuha berjama’ah
sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Walaupun tak banyak guru yang turut
serta, namun Pak Lutfi adalah orang yang konsisten melakukannya. Beliau lebih
dari sekedar guru biasa.
“Baiklah, disini saya punya kertas”
beliau mengakhiri dongeng indahnya dan memulai sesuatu yang lain.
Menyerahkan sekumpulan kertas persegi
berwarna-warni di hadapan kami. Meminta menuliskan nama di bagian atas kertas.
Lalu menyiapkan kertas lain yang lebih besar dan menyuruh kami menempelkan
kertas mungil tadi pada kertas tersebut. Menyusunnya dengan rapi lantas
melekatkannya pada dinding kelas. Sebuah laporan nilai yang terpajang umum.
Pak Lutfi memandang hasil karya tangan
kami dengan penuh semangat. “Jadi, kertas ini akan diisi nilai yang kalian
peroleh dalam kegiatan menghafal di mata pelajaran ekonomi”
Lucu. Namun juga mendebarkan karena
mengundang malu jika mendapat nilai yang
terperosok jauh di bawah rata-rata. Otak kecilku berputar mengulas memori. Banyak
yang berbeda dengan guru ini. Kemudian aku menemukan, orang yang merintis usaha
dari titik nol kehidupan. Pemilik toko parfum di seberang pasar. Seorang guru
ekonomi yang juga seorang pebisnis. Rasional. Aku membuka lipatan hari dalam
benak. Mengingat hari lalu dengan Pak Lutfi, hingga aku berada pada ujung
kesimpulan, beliau bukan sekedar guru yang mengumbar ceramah pelajaran di depan
kelas, tetapi beliau juga orang yang menyinari kehidupan sejumlah manusia di
muka bumi, terlebih anak manusia yang duduk tegak di belakang meja kayu
kecokelatan sebuah sekolah menengah atas.
Di tengah bising teori pelajaran, beliau
menyisipkan dongeng kehidupan yang rampung dilakoninya. Terkesan membuang waktu
memang, namun kehidupan di sekolah bukan
hanya tentang aliran arus pendidikan bukan? Akhirnya aku mengerti, satu hal
yang tak pernah ku maknai. Satu hal yang selalu luput dari pendangan logika.
Teori kehidupan. Sebuah teori bukankah harus diuji coba sebelum fasih menjadi
sebuah pelajaran?. Dan begitulah, aku mempelajari teori itu, dari seorang
guruku. Teori yang telah terbukti.
***
Aku mendongakkan kepala, menatap langit
yang mulai kemerahan di ufuk barat melalui jendela kamarku. Menghela nafas
panjang selepas menuliskan sekumpulan aksara itu di meja usang yang hampir berdebu.
Aku adalah manusia klasik, yang setia menulis surat untuk sahabatku. Tanpa
kata, kami mengukir janji untuk saling melakukannya, dan disinilah sekarang aku
berada, di sebuah kamar kos yang tak mewah tentu saja. Aku melipat kertas yang
telah penuh oleh coretan tanganku, yang kaya akan kenangan. Akan ku kirim pada
sahabatku yang dirundung resah oleh tugas kuliahnya. Mengajar dengan berbagai
strategi dan metode yang memusingkan.
Menyimak kisah guruku, aku berharap
gadisku mengerti makna menjadi guru. Guru yang lebih dari sekedar luar biasa.
Sahabatku, gadisku. Seorang mahasiswa pendidikan. Calon pendidik umat manusia.
Yang mungkin akan menjadi calon pendidik untuk anak-anakku. Calon perempuan
yang akan mendampingi hidupku. Harapku pada sore yang belum senja, hari ini,
sebelum memasukkan kertas surat ke dalam amplop yang tergeletak di sebelah
tangan.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.