Calon Penulis Berhak Bahagia
Oleh Nining Khoiru Nisa
Mula-mula kujawab dengan menggeleng. Malu. Karena aku belum bisa
menulis tema sosial kesukaannya. Kata Fajar, cerita pendek yang bagus bukan
sekadar berloncatan imajinasi, tapi mampu menggerakkan pembaca.
Aku menulis cerita pendek tentang kisah cinta bertepuk sebelah
tangan dan bunuh diri karena ditinggal kekasih. Fajar berdecap
mendengar jawabanku. Rambut klimis terlapisi pomade kaku tak bergerak, sekokoh perkataannya yang tak bisa
diterjang badai. Dadaku berdegup kencang, seperti ada serombongan anak-anak
mengentak-entakkan kaki karena tidak sabar mengantre pembagian kotak susu usai
makan siang. "Kisah sialan macam apa
yang kamu tulis? Ceritamu sampah!"
Fajar mengayun-ayunkan kaki. Rokok kelima sudah dibenamkan dalam
asbak yang penuh puntung dan abu. Bila sedang tak enak hati, dia mengisap rokok
cepat sekali. Aku berusaha menampik udara yang meluncur dari mulutnya. Tapi
udara bukan anak anjing yang mudah digiring. Hampir semua udara busuk dari
mulutnya menyesak ke dalam hidung. Aku menahan diri untuk tidak batuk. Batuk
akan membuatnya makin kejam mengomentari. Fajar terkenal sebagai mentor menulis
kejam dan mudah tersinggung.
"Apa kamu hanya bisa
menulis kisah picisan begini?" Kujawab dengan senyuman paling manis,
agar dia tidak bertambah sinis mengejekku. Matanya melotot, hampir bisa
menggelinding keluar andai kacamata minusnya dilepas atau disampirkan di atas
kepala seperti seorang sutradara mengoreksi lembar skenario. Sesekali aku
tertawa kecil, seolah sedang menyaksikan pelawak melempar guyonan. Sebenarnya
caraku tertawa sangat aneh, aku terbahak sendirian sedangkan dia masih dengan
tatapan menyeramkan seorang mentor menulis cerita pendek.
"Bawa pulang dan tulis
yang baru! Pekan depan harus lebih baik lagi. Tirulah Dea Anugerah atau Norman
Erikson Pasaribu. Mereka generasi baru dalam
percerpenan Indonesia. Jangan terlalu banyak nonton Youtube melulu!" Fajar menutup pertemuan sore itu.
Sebelum Fajar menyulap kertas-kertas berisi 1.600-an kata milikku
menjadi bungkus kotoran tikus atau sebagai lapik kopinya, aku buru-buru pulang.
Mengumpulkan semua nasihatnya kemudian mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya
dia inginkan.
Jujur, aku tidak marah. Telinga sudah kupasang peredam pitam
kualitas nomor satu. Aku harus sabar menghadapi cara kejam Fajar mendidik. Faktanya,
sudah banyak penulis berhasil di bawah mentoringnya yang terkenal jahanam tanpa
ampun. Seolah-seolah tidak ada kata bagus untuknya.
Di pertemuan pertama, seusai perkenalan basa-basi dengan nada
sindiran ketus dia menandaskan, "Therearenotwowordsmorehurtfulthan
GOOD JOB!" Maka sekarang aku sudah sangat siap bila semua tulisan di
hadapannya selalu mendapat cacian dan kritikan.
**
AKU belajar menulis karena mengikuti saran temanku, Melina, bila
sedang patah hati tulislah dalam cerita. Selain melegakan, bisa menguntungkan
bila berjodoh dengan media. Kalau bisa kunovelkan, ada kemungkinan menjadi
bestseller. Kata Melina, pembaca suka cerita haru biru menguras air mata. Dalam
kekalutan sakit hati, debaran jantung lebih kuat bila menyaksikan mantan
kekasihku lewat di depan rumah, aku mengiyakan saja. Aku bertanya bagaimana
mungkin orang yang tidak biasa menulis mendadak bisa menulis hanya karena
remuk-redam perasaannya?
"Tentu tidak!"
Melina menyahut gegas. "Kamu
membutuhkan guru untuk mengarahkan bagaimana menulis bagus." Aku
mengangguk-angguk. Melina menyebut nama Fajar, sastrawan senior di kotaku, yang
pernah menyabet penghargaan cerita pendek terbaik se-Indonesia dan sampai
sekarang menjabat redaktur majalah sastra.
Melina menambahkan, salah seorang sahabatnya pernah mengikuti
bimbingan yang sama dan sangat menikmatinya. Melina juga mendorongku mengikuti
kelas tersebut karena menurutnya aku perlu lebih sering menghabiskan waktu di
luar rumah dan melakukan sesuatu yang bisa kunikmati. Aku bisa menenggelamkan
diri dalam kesibukan menulis, hingga melupakan mantan kekasihku. Melina tak
ingin aku menua karena sakit hati dan duduk menopang dagu saban hari.
"Sekali saja, dicoba
dulu," kata Melina.
Aku mengangguk sambil memikirkan sebuah kisah yang akan kutulis dan
kusodorkan kepada Fajar.
Seminggu aku menulis cerita pendek dengan berdarah-darah. Mungkin
karena aku lebih suka menulis status di Facebook dan berkicau di Twitter,
hingga untuk menghasilkan cerita sepanjang enam halaman saja aku membutuhkan
waktu seminggu utuh. Tiap menghasilkan satu paragraf, gegas kuhapus. Rasanya
tombol CTRL+A kemudian delete begitu menggoda jemari.
Akhirnya ceritaku jadi. Cerita itu kuberi judul "Pacar
Dinosaurus". Dengan kalimat pembuka, Setelah menjadi seekor cecak,
kekasihku memaksaku beralih wujud menjadi seekor dinosaurus. Sayang, tubuh
cecak tak sebesar dinosaurus. Maka pekerjaan pertamaku adalah mencari pompa
angin, mungkin seperti yang dipakai penjual balon, dan memastikan pompa itu
cukup untuk menjadikanku sebesar dinosaurus. Tentu mencari orang yang ikhlas
memompakannya.
Kisah itu berlanjut sedemikian panjang. Karena luas penampang kulit
cecak tidak akan cukup untuk membuat replika seekor dinosaurus, cecak itu
akhirnya meledak di depan kekasihnya. Pompa angin penuh cipratan organ dalam
cecak, warna gagang pompa angin legam sontak berganti merah darah.
Aku sangat yakin cerita pertamaku ini sangat menarik. Apalagi aku
menulisnya sekaligus membayangkan kekasihku dan diam-diam memasukkanku dalam
tokoh cerita.
Kusodorkan cerita tersebut kepada Fajar. Dan apa reaksinya? Dia
tertawa, kemudian menyampaikan ceritaku mirip dongeng Majalah Bobo. Keringatku
merembes sebesar jagung. Lalu dia mengatakan: apa-apa saja yang seharusnya
kutulis, ritual baik sebelum penulis menulis cerita, membaca buku-buku filsafat
dan sastra peraih nobel, cermat melakukan pengamatan, dan tidak berhenti
menulis sehari pun.
Meski sudah kuikuti semua sarannya, nyatanya ceritaku tetap saja
dikatakan sampah dan tidak layak menerima pujian dari Fajar.
**
AKU bertekad untuk tidak sering menemuinya dan saat bertemu dia
akan benar-benar memuji ceritaku. Mirip tapa brata pendekar sebelum turun
gunung menumpas kejahatan.
Kuborong buku bagus, ingin kulahap dan kucermati. Terutama
bagaimana tulisan peraih nobel sastra mampu mengungkapkan isu sosial dan penuh
muatan perubahan. Sebulan kurasa cukup untuk menghindari Fajar dan bertemu
membawa naskah yang akan membuatnya tidak kecewa menerimaku sebagai murid
menulis cerpennya. Dua atau tiga minggu membaca, kemudian seminggu aku tulis
semuanya.
Selama tiga minggu pertama kubaca semua buku. Kucatat hal-hal
penting. Satu hal terpenting yang kupelajari, hampir semua kisah diceritakan
begitu nyata, seperti kisah penulis sendiri. Akibatnya, naluriku tersulut,
seolah terlibat merasakan. Apakah mereka benar-benar merasakan secara nyata
kemudian pengalaman itu dituang ke dalam
tulisan?
Mereka hanya pandai mengamati. Tulisan bagus dan menyentuh harus
didasari pengalaman atau pengamatan jeli. Dituang sempurna dalam tulisan. Benar
nasihat Fajar, penulis harus cermat melakukan pengamatan. (Tapi pengalaman
nyataku tentang patah hati dan kutulis dalam "Pacar Dinosaurus" tidak
mampu menggerakkan Fajar dan dianggap sampah.)
Ide cemerlang melintas di kepala. Tidak boleh disia-siakan. Segera kususun
kerangka tulisan. Kuatur drama tiga babak untuk membuat sebuah cerita utuh.
Sesekali aku mengecek kamus besar bahasa Indonesia dan googling. Berharap mampu membuat cerita sederhana namun menggugah
pembaca.
Seminggu penuh aku menuliskan ide tersebut. Ketika hampir selesai,
Melina mendatangiku dan menyampaikan salam.
"Fajar bagaimana? Mirip terminator?" Melina berkata seperti sedang mengejek Fajar.
"Makin
keras batu diasah, jadinya makin bagus," aku mengelak.
"Sudah
ada perkembangan?"
Aku mengiyakan. Bagaimanapun kejamnya Fajar mengomentari, selalu
ada pelajaran baru yang diberikannya. Benar kata pepatah, dari kerasnya batang
tebu tersimpan sari gula manis. "Fajar
selalu mengatakan menulis cerita harus ikut merasakan. Kalau ingin cerita orang
melarat, harus pernah merasakan kelaparan. Sebulan ini aku absen ketemu Fajar.
Aku berjanji akan menemuinya dengan cerita paling fenomenal."
"Seperti
semedi, kemudian turun gunung?" Melina tertawa. Bila tertawa keras, matanya hampir tidak terlihat.
"Mungkin
besok aku akan bertemu dengan Fajar."
"Lalu,
apa yang kamu tulis dalam cerita pendekmu?" tanya Melina.
Aku menghela napas.
"Judul
cerita pendekku 'Calon Penulis Berhak Bahagia'."
Melina membelalakkan mata. Jelas sekali dia dibakar rasa penasaran.
"Tentang
apa?"
"Calon
penulis! Dia sedang berguru kepada penulis senior, kondang, dan disegani. Tapi
sang mentor begitu kejam. Mentor itu begitu ringan tangan, melempar apa saja
kepada si calon penulis. Cerita si calon penulis buruk dan tidak memenuhi
ekspektasi mentor. Berkali-kali si calon penulis menulis, sebanyak itu pula
kepalanya harus rela ditimpuk benda apa saja. Hingga kekesalan itu memuncak dan
berjanji akan menulis paling bagus."
Aku berhenti sejenak mengatur napas.
"Lalu
calon pengarang itu memutuskan untuk mengisahkan seorang mentor menulis kejam
dan mati dibunuh oleh anak didiknya."
Melina agak kebingungan. "Apa
yang kamu tulis itu?"
"Cerita."
Melina tergeragap.
Kesadarannya mendadak mencuat seperti kecambah kecapi menyesak di sela-sela
tembok.
"Apa
Fajar baik-baik saja?"
tanya Melina.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.