Rakyat Bukan Wayang Penguasa Dan Kaum Imperium Modal
Oleh Ulfa Nadiyah Mahmudah
“Seseorang tidak akan bisa membangun surga yang bertentangan dengan
keinginan masyarakat” (Ali
Syariati)
Entah mengapa investasi selalu menjadi magnet yang ampuh untuk
menuju kemajuan dan kemakmuran. Sehingga seolah di setiap negara dalam harapan
menuju kemajuan dan kemakmuran secara “instan”, selalu saja mendewakan “investasi”.
Oleh karena itu, negara berusaha mengupayakan segala cara agar investasi baik
dari pengusaha nasional maupun internasional dapat mengalir ke kantong-kantong
keuangan yang seringkali tanpa ada kendali.
Namun, dibalik gemerlapnya investasi, dengan dalih kemajuan dan
kemakmuran selalu saja dan tak bisa dipisahkan dari perkara korban dan ketidak-adilan.
Sisi yang selalu jadi wacana dan bahan analisis menarik,
namun tak pernah kunjung mendapatkan solusi yang solutif. Kasus-kasus
perampasan tanah di muka bumi pertiwi ini dengan alasan kemajuan dan kemakmuran
menjadi trending topic akhir-akhir ini. Diantara kasus perampasan tanah
adalah polemik bandara NYIA, tambang emas Tumpang Pitu, Kendeng, dan masih
banyak lagi. Terbaru, di Ponorogo adalah kasus tambang batu gamping Sampung.
Menjadi sebuah ironi di kala
negeri ini kian menunjukkan eksistensinya melalui perbaikan segala
infrastruktur namun rela mengorbankan nasib rakyatnya sendiri. Rakyat yang
seharusnya dilindungi dan disejahterakan layaknya tertuang di UUD1945, justru
kian dibuat tak berdaya dan mau tidak mau harus tunduk patuh meskipun
bertentangan dengan keinginan dan hati nurani masyarakat.
Kembali menilik kata yang diungkapkan oleh Ali Syariati di atas
bahwa memang benar adanya jika surga yang diidam-idamkan “negara” – pastinya didekengi para investor –
tidak lantas bertentangan dengan keinginan masyarakat. Karena sejatinya
kemakmuran suatu bangsa terletak pada kemakmuran rakyatnya. Petinggi-petinggi
di ruangan ber-AC itulah yang katanya merupakan abdi rakyat seharusnya juga memiliki fungsi sebagai
pelindung, bukan malah menginjak-injak rakyatnya hingga terkesan merendahkan martabat bangsa.
Bangsa seakan dibuat malu dengan para abdi negara yang dengan
seenaknya tega merampas hak warga negaranya. Lihat saja pada kasus perampasan
tanah yang penulis paparkan di atas meskipun hanya sebagian kecil kasus yang terjadi
di negeri ini. Mereka (abdi negara.red)
seolah dibutakan matanya hingga tidak
ingin tahu
menahu mengenai apa yang rakyat inginkan. Militer dan aturan menjadi alat
mematikan agar rakyat tak mampu lagi berkutik.
Lihat juga pada kasus Sampung, dari awal hingga sekarang masih saja
tidak
bisa dipisahkan dengan kedua hal tersebut (Militer dan aturan). Aturan sebagai
penguat dan militer dalam hal ini aparat menjadi aktor yang ikut serta layaknya
drama di tipi-tipi. Di sinilah letak dimana ketidak-adilan menjadi TANDA
TANYA BESAR. Selain itu, yang menjadi pertanyaan bagaimana posisi rakyat dapat
dikatakan sebagai korban? Mengapa militer dan aturan selalu jadi senjata ampuh
para imperium modal dan penguasa agar rakyat tunduk dan patuh?
Berbicara rakyat pasti juga berbicara mengenai pemerintah. Keduanya
tak bisa dipisahkan. Ketika kita menyebut rakyat pasti juga menyebut pemerintah
dan begitu pula sebaliknya. Ketika berbicara mengenai kemajuan suatu
pemerintahan atau negara, misalkan di bidang pendidikan. Akan ada semacam
pernyataan dan entah ini sebuah penilaian bahwa kemajuan pendidikan suatu
negara tak terlepas dari pemerintahan pada periode tersebut, dan tak lepas pula
dari kualitas sumber daya manusianya – pendidikan rakyatnya –.
Kemudian jika kita tarik pada permasalahan perampasan tanah di sini, akan kentara
bahwa rakyat menjadi korban dari ketidak-adilan yang terjadi. Diakui atau tidak
rakyat menjadi subjek yang lemah dan mudah sekali dipengaruhi dan dikendalikan
oleh pihak berkepentingan.
Tampaknya memang negeri ini sudah menerapkan konsep ideologi Neo-liberalisme.
Sebuah konsep ideologi atau pola pemikiran yang mengutamakan pertumbuhan
ekonomi di atas segala-galanya. Terbukti dengan adanya upaya negara menggenjot
investasi besar-besaran tanpa terkendali dan mengorbankan rakyat yang lemah
tentunya dengan dalih kemajuan dan kemakmuran ekonomi nasional berkembang.
Dalam pemikiran ini, setiap sektor ekonomi maupun sektor lain harus dikuasai.
Apapun yang mengahalanginya akan dihadang dengan berbagai peraturan
perundang-undangan. Dari sinilah alasan mengapa aturan dan militer menjadi
senjata ampuh nan mematikan seperti yang penulis ungkapkan sejak
awal.
Jika kita sedikit merenungkan nasib negeri ini kita akan dihadapkan
pada sikap pesimis lantaran rakyat sebagai kaum yang lemah dan sering ditindas
terus saja menjadi korban para imperium modal dan penguasa. Bukan tanpa alasan
adanya sikap pesimis ini disebabkan akibat dari perkembangan situasi
internasional dan kemudian berdampak pada Indonesia membuat negeri ini kian
dirundung berbagai permasalahan. Kapitalisme yang diusung oleh berbagai oknum
kian merajai pasar global. Akibatya mau tidak mau Indonesia harus beradaptasi.
Namun, kenapa harus rakyat yang jadi korban?
Sebuah keniscayaan apabila sebuah negara telah menerapkan konsep
Neo-liberalisme. Diakui atau tidak konsep ini membuat rakyat sebagai pihak
lemah menjadi korbannnya. Korban dari deregulasi berbagai aturan demi investasi
dari para kaum imperium modal bisa masuk dan berkembang dengan pesat. Lagi-lagi
berbagai pengurangan subsidi, penghapusan aturan menjadi pilihan. Lihat saja
akhir-akhir ini, subsidi dari berbagai sektor semisal pendidikan, kesehatan,
pertanian dan lain-lain dikurangi. Akibatnya rakyat pontang-panting.
Hal yang lebih mengerikan lagi, akibat konsep ini perampasan tanah akan kian
marak terjadi. Tanah hak rakyat dirampas dengan sewenang-wenang. Rakyat yang
dulunya menjadi tuan di negerinya sendiri perlahan tapi pasti akan beralih
menjadi buruh. Rakyat diibaratkan sebuah wayang bagi penguasa dan kaum imperium
modal yang seenaknya dimainkan kapanpun mereka mau. Miris.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.