UAS: Evaluasi Sebagai Perburuan Nilai, Hasilkan “Jebolan Kampus” Berkarakter Materi
Opini oleh Ariny Sa’adah
Ujian Akhir Semester (UAS) sudah menjadi
agenda rutinan sekali dalam satu semester.
Agenda ini sudah menjadi kewajiban yang harus ditunaikan setiap kampus
dalam mengevaluasi hasil belajar mahasiswanya, termasuk lembaga pendidikan
tinggi yang disebut sebagai ”kampus hijau” di Ponorogo. Evaluasi yang dimaksud
adalah untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mahasiswa terhadap materi yang
telah disampaikan. Mahasiswa menjawab soal yang diberikan dan hasilnya akan
diberitahukan dalam bentuk nominal huruf. Seringkali nilai A+ menjadi kebanggan
tersendiri bagi beberapa mahasiswa. Sedangkan nilai C ke bawah dianggap sebagai
hal yang buruk.
Pertanyaannya, apakah nilai yang
diwujudkan dalam bentuk nominal tersebut sudah mewakili gambaran “intelektual”
mahasiswa? Apakah nalar kritis mahasiswa dapat ditentukan dengan nilai yang
dinominalkan? Seberapa pentingkah ujian bagi para mahasiswa? Perlu digaris
bawahi dalam tulisan ini “tidak”
dikatakan bahwa mahasiswa dengan nilai A+ bukanlah mahasiswa yang pandai.
Banyak di antara mereka yang benar-benar sesuai antara simbol dengan fakta.
Penyebutan UAS sebagai hasil akhir
adalah pernyataan yang tidak elegan. Terlebih jika pernyataan tersebut tertanam
dalam otak dan pribadi mahasiswa. Hal ini akan menanamkan “candu” terhadap
kebodohan. Maksudnya, mahasiswa akan belajar dan memahami materi ketika akan
dilaksanakannya agenda UAS. Apabila hal ini terjadi di kalangan mahasiswa, maka
UAS bukan lagi sebagai sarana untuk evaluasi. Akan tetapi menjadi sebuah
patokan yang disebut sebagai nilai akhir. Bukan lagi ujian untuk belajar, melainkan
belajar untuk ujian.
Karena sudah menjadi candu, maka
seringkali didapati mahasiswa yang malas belajar di kesehariannya. Misalnya,
malas masuk kelas dengan alasan belajar tidak harus di dalam kelas, namun
kenyataannya di luar kelas ia juga tidak belajar. Belajar yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah belajar memahami teori dan penerapannya. Di beberapa kasus lain
yang terjadi para mahasiswa sudah menanamkan pada diri mereka sendiri
bahwasannya belajar hanyalah ketika hari UAS berlangsung. Lalu aktivitas apa
yang mereka lakukan ketika hari berlalu panjang sebelumnya?
Banyak alasan yang dikemukakan oleh
mahasiswa. Beberapa mahasiswa beralasan bekerja. Sedangkan beberapa diantara
mereka yang mengaku “aktivis” akan menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan “organisasi”.
Lagi-lagi organisasi menjadi kambing hitam mahasiswa.
Sebagian orang akan memaklumi hal
demikan, namun kenyataan yang nampak di mata adalah kualitas aktivis organisasi
intra ataupun ekstra setiap tahun semakin “menurun” jumlahnya. Akan tetapi kuantitas mahasiswa yang
masuk kampus semakin membludak. Apakah pantas organisasi dijadikan sebagai “alasan”?
Sedangkan yang terjadi adalah lebih banyak tiga kali lipat jumlah mahasiswa
yang notabene bukan aktivis.
Selain itu, akan disaksikan fenomena
unik lainnya ketika UAS berlangsung. Suasana di depan ruang ujian, di kantin,
atau di tempat sekitar kampus lainnya, akan terlihat mahasiswa-mahasiswi yang
belajar, lebih tepatnya “menghafal” materi-materi yang akan diujikan. Menurut
beberapa orang yang sadar akan pendidikan, ini merupakan fenomena “ganjil”
namun terasa wajar.
Dikatakan ganjil karena semestinya
ketika pemaparan materi di kelas, dosen dan mahasiswa sudah bersinergi untuk
mencapai goal-nya yakni
pemahaman. Bertanya jawab dan berdiskusi di kelas adalah hal yang wajib dan
seharusnya dijalankan. Dosen sebagai “teman” mahasiswa menjadikan suasana kelas
hidup dengan berbagai persoalan yang diajukan.
Ketika melihat fenomena mahasiswa yang
belajar semalaman atau bahkan tepat sebelum masuk ruang ujian, bahkan terkesan
menghafal kalimat-kalimat dalam materi itu, pertanyaan besar yang muncul adalah
bagaimanakah kondisi mahasiswa ketika berada dalam kelas selama satu semester sebelum
UAS berlangsung? Pahamkah mereka dengan materi yang disampaikan? Ataukah hanya
mendengarkan seakan mereka memperhatikan padahal handphone ada di kolong
meja masing-masing? Lalu apa gunanya mereka belajar satu semester di ruang
kelas, jikalau ketika ujian bukan pemahaman yang diandalkan namun “hafalannya”?
Miris sudah kondisi mahasiswa saat ini.
Sistem yang dibangun menjadi salah dipahami oleh mahasiswa yang mengaku masa
kini. Ujian akhir yang semestinya sebagai sarana evaluasi, bermetamorfosa
menjadi alat untuk mencari nilai. Jika karakter rendahan seperti itu berlanjut menggerogoti
setiap jiwa para generasi, maka jangan gelisah ketika pada akhirnya produk “jebolan”
kampus yang tercipta seperti perolehan untung dan rugi. Artinya, akan bertindak
jika hanya ada nilai materi yang tersaji.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.