Benarkah Ada Setting-an dibalik Serangkaian Pemilwa?
Hari-hari ini, ketika
perayaan bernama Kongres Mahasiswa dan pesta pemilwa digelar, ketika
update-update dan seruan bertemakan demokrasi diserukan, apakah terlintas
di dalam pikir bahwa dalam aktivitas pemilwa ternyata ada yang setting-an?
Tentu, kita semua
memahami bahwa pemilwa
adalah ajang demokrasi untuk menentukan siapa calon-calon pemimpin yang
selanjutnya akan menduduki kursi-kursi jabatan dalam Organisai Intra Kampus (Omik),
tentu hal ini akan berdinamika jika panggung tersebut berisi sesuatu yang
bervariasi.
Pada dasarnya
organisasi dalam lingkungan kampus itu bagaikan miniatur Negara yang tidak
lepas dari panggung politik. Anggap saja Omik sebagai pemerintahan resmi yang
menjabat di kampus sekaligus dipimpin oleh presiden mahasiwa, sedangkan
organisasi ekstra kampus (Omek) sebagai partai politik yang bermain untuk
memenangkan kursi presiden mahasiswa di kampus. Jadi tidak heran kalau dalam
pemenangan presiden mahasiswa di suatu kampus tidak terlepas dari peran
organisasi ekstra kampus yang memiliki kepentingan terhadap jabatan fungsional
di kursi Republik Mahasiswa. Lantas bagaimana adat yang berlaku di kampus kita
tercinta, IAIN Ponorogo?
Kita semua tahu, diakui
atau tidak, dari tahun ke tahun, terdapat Omek yang mendominasi kampus, baik anggota maupun jabatan-jabatan
dalam Omik dikuasai. Diakui atau tidak sifat dari Omek ini adalah visioner
atau kaderisasi untuk mempertahankan eksistensinya dari waktu ke waktu.
Sementara Omik adalah salah satu alat yang bisa dijadikan ‘lahan’ bereksistensi.
Jika di kampus-kampus lain, persaingan antar Omek menjadi keniscayaan, sering
terjadi friksi antar Omek dikampus dalam memperebutkan mahasiswa sebagai kader,
lebih-lebih pada waktu pergantian pengurus Omik. Namun, bagaimana yang terlihat di
dalam kampus kita ini? Omek apa sajakah yang ‘bertengger’ dalam kursi kandidat
calon pejabat Omik? Apakah pada Pemilwa yang sedang berlangsung juga terdapat
campur tangan Omek untuk kepentingan tertentu ?
Kalau berbicara mengenai pemilu di kampus lain, bahwa pemilu
raya atau pemilwa –atau dengan nama yang lain– adalah sebuah
jalan demokrasi untuk meminimalisir gejolak pertentangan antar Omek dalam suatu
kampus yaitu pemilihan secara langsung untuk menentukan pengurus Omik. Sudah
lumrah kampus-kampus mengadakan pemilu raya untuk menengahi nafsu mengusai para
Omek. Dibentuk Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan panwas (panitia
pengawas) agar proses pemilihan berjalan lancar dan bersih. Demikian juga
sistem pemilwa yang berlaku di kampus kita tercinta. Namun, sudahkah kita
melihat variasi Omek dalam calon kandidat pada Pemilwa? (Silahkan dijawab
sendiri sebab ini bukan jawaban yang sulit).
Jika demikian, bagaimana jika proses pemilwa dikampus yang
diharapkan dapat bermanfaat bagi pencerdasan dalam memahami demokrasi justru
menjadi ajang ‘pembodohan’ bagi rakyat kampus, terlebih pembodohan bagi
kader-kader ‘suruhan’ yang mana telah terdapat setting-an di dalam
sistem tersebut.
Jika adat seperti ini berlangsung terus menerus dari tahun
ke tahun dan seperti tanpa kritik. Sementara nihilnya persaingan antar
mahasiswa secara sehat –terlepas dari embel-embel Omek– dalam persaingan
untuk menjadi yang terbaik selama kepengurusan di dalam Omik. Serta kemenangan
kadernya hanya bertujuan untuk menjadi penentu masa depan keberadaan Omek di dalam
kampus. Apakah mungkin kader-kader yang terpilih untuk menempati kursi jabatan
di dalam Omik nantinya akan memiliki greget atau tujuan untuk bersaing menjadi
yang terbaik? Bagaimana jika kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan apakah Omek
memiliki maksud dan tujuan lain dalam menempatkan kader-kader mereka di Omik?
Seperti kondisi yang stagnan, mereka tidak perlu bersusah
payah dan mengusahakan yang terbaik sebab tidak adanya saingan pun kritikan.
Kalau diibaratkan dengan film, mereka
–Omek– adalah sutradara sekaligus sekenario, sementara para kandidat calon
pemegang jabatan di Omik menjadi lakon untuk mewujudkan skenario dan konsep
tadi. Kesimpulannya, baik sebagai benda ritual maupun aktor –pemegang jabatan– yang pasti mereka adalah paradoks dari pasivitas aktif; diam dan berwibawa.
Nampaknya kita semua
diharuskan untuk ber-husnudzan. Anggap saja memang tidak ada mahasiswa
yang berambisi untuk menduduki kursi jabatan di dalam Omik. Mari sama-sama
berdoa agar perjalanan Republik Mahasiswa kedepan dapat berjalan dengan bersih
dan menemui kemajuan tanpa disertai kepentingan-kepentingan suatu Omek tertentu,
serta dapat bermanfaat bagi mahasiswa khususnya rakyat mahasiswa IAIN Ponorogo.
Penulis tekankan
kembali, bahwa judul opini diatas adalah sebuah pertanyaan, bukan pernyataan,
jadi siapapun yang ingin menjawab pertanyaan tersebut sah-sah saja menyatakan
jawabannya masing-masing.
(Rina PR, merupakan mahasiswa yang pernah
menjadi peserta pada serangkaian Musma tahun 2016)
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.