Karsa Para Tikus
Karsa Para Tikus
oleh Chandra Kirana
Panji sama sekali tak mengerti. Kantor gubernur yang terkenal bersih dan
rapi, bahkan masuk dalam jajaran kantor terbersih menurut
majalah Bobo, kemasukan seekor tikus got. Tikus yang terkenal kotor luar biasa
dan dianggap berperan dalam penebaran penyakit pes (Plague) itu
berlarian dengan leluasa di kantor, di meja, dan di manapun. Semula Panji hanya menganggapnya sebagai masalah kecil yang
tak mungkin melibatkan dirinya. Paling-paling hanya tukang cleaning service
yang terkena dampratan dari atasan yang terkenal tidak berbelas kasih. Ia
berusaha melupakannya dengan mengasingkan diri dengan tumpukan tugasnya yang
harus dikerjakan.
Hari demi hari, Panji menyadari ada hal yang salah. Ia tak hanya melihat
satu atau dua tikus. Namun belasan tikus kerap ia jumpai berlarian kecil di
kantor.
“Sa! Ada tikus di dekat kakimu!”
Sontak Santi, teman sekantornya, berjengit kaget sambil meneliti tempat
duduknya. Berulang kali ia memutari tempatnya, memastikan bahwa tikus yang
dibicarakan Panji tidak ada di sana. Keningnya mengernyit heran.
“Tikus apa, Pan? Nggak ada tikus di sini.”
Panji tidak habis berpikir. Bagaimana bisa Santi tidak bisa melihat tikus
sebegitu besarnya yang sekarang menatap lelaki itu dengan tatapan tajam dari
pundaknya. Mata Panji terbelalak. Saat mulut tikus itu bergerak-gerak antara
seperti menertawakannya atau menggumam sesuatu. Ia hendak memperingati Santi,
namun perempuan itu terlanjur melenggang pergi meninggalkan Panji setelah
memuntahkan olokan, “Gila kamu, Pan. Bilang saja kalau kamu mau ngatain gue
jorok.”
Panji benar-benar tak bermaksud mengejek. Tikus itu nyatanya berada di
depan mata. Ia bisa melihat bagaimana tikus itu merambati kaki Santi dan masuk
ke dalam saku jasnya. Satu hal yang sama sekali tak ia mengerti adalah, kenapa
hanya dirinya saja yang menyadari keberadaan tikus-tikus itu sementara orang
lain tidak.
Perutnya tiba-tiba menggelinjang hebat. Sesuatu dalam tubuhnya menuntut
hendak dikeluarkan. Mendorong ke atas. Terasa amat sakit. Panji menahannya agar
ia tidak mengeluarkan isi perut di depan semua orang. Tak peduli bahwa ada bagian
supervisor yang mengawasinya. Ia berlari, menubruk apapun, dan masuk ke
dalam WC. Ia muntah sejadi-jadinya sambil menangis.
Tak ada yang mampu mengerti tentang apa yang ia rasakan. Ketika
tikus-tikus itu menatap dengan tatapan nyalang yang seakan ingin melumatnya
hidup-hidup. Ia tidak bisa berpikir
bagaimana hanya dia yang bisa melihat makhluk jorok itu mulai menginvasi
kantornya, memperbanyak diri menjadi ribuan ekor. Lantai-lantai berbau busuk
karena kotoran yang berserakan. Bau kencing tercium pesing di berbagai sudut
kantor. Terkadang Panji mendapati beberapa bangkai tikus yang mati terinjak di
bordes tangga dan terjepit di mesin fotokopi.
Setiap hari ia melalui hari-harinya dengan penderitaan. Ia harus
menghadapi tatapan aneh dari teman-teman dan atasan yang sering melihatnya
menutup hidung dan terlalu banyak mencuci tangan. Bahkan ia menghanguskan julukan kehormatannya sebagai
karyawan teladan dengan membolos beberapa minggu.
Dan tak hanya di kantor, tikus-tikus itu juga dengan serakah menempati
berbagai tempat umum. Pasar, sekolah, mall, stasiun, terminal, kampus,dan di
mana pun selama mata memandang. Mereka secara sporadik keluar dari
tempat-tempat penyimpanan uang. Saku kemeja, tas ransel, tas jinjing, dompet,
laci kasir, celengan, buku akuntasi, hingga brankas. Orang-orang sama sekali
tidak menyadarinya dan tetap melakukan tetek bengeknya seperti biasa.
Suatu hari, ia datang dengan menggebu-gebu. Kedatangannya tak hanya memancing
perhatian dari teman-teman kantornya, tetapi juga dari tikus-tikus yang kini
sudah memenuhi seantero ruangan. Ia menarik sebuah meja ke tengah-tengah
ruangan. Dan ia akan memulai orasinya setelah naik ke meja dan menghentakkan
kakinya keras-keras.
“Perhatian semua!” Praktis semuanya menatap Panji dengan
menganga.
“Kalian semuanya sudah buta. Iya! Kalian semua. Apa yang kau makan sampai
tidak bisa melihat cecurut yang menempel di baju kalian. Duit apa yang kalian
semua dapat sampai-sampai curut-curut najis itu makin banyak saja. Buta kalian
semua. Jorok dan najis. Apa jadinya kalau tikus-tikus itu menguasai negeri ini,
bangsat?”
Tak ada satupun yang berusaha menghentikan Panji berorasi. Hal itu membuat
Panji berang. Ia menyumpahi tikus-tikus itu, menginjak beberapa ekor, dan
menyiram mereka dengan air panas. Seisi kantor jejeritan, mengira Panji sudah
gila. Temannya yang lelaki berusaha menghentikan Panji. Sedang yang perempuan berlarian, berebutan mencari
jalan keluar, tak peduli kaki bersepatu berhak tinggi mereka saling menginjak satu sama lain.
Panji baru berhenti mengamuk ketika menyadari tikus-tikus itu mulai
berlarian ke arahnya. Tak ada jalan keluar karena seluruh pintu dan jendela
selalu dirambati oleh mereka. Lelaki itu mulai merasakan kaki-kaki kecil mereka
merambati celananya, naik ke kemejanya, disusul bertengger di atas kepalanya.
Ia panik. Tikus-tikus itu membenamkan cakar dan gigi ke dalam daging korban. Darah
bercucuran dari luka yang terbuka lebar. Ketika lapisan daging mulai menipis,
tikus-tikus mulai mengginggiti tulang, lapisan ligamen,
persendian. Cakar-cakar kecil mereka mulai menumpahkan buraian usus, hati,
jantung, disusul otak yang meluncur dari mangkuk ubun-ubun. Mereka memakannya
dengan rakus tanpa menyisakan sedikitpun.
Lalu, seisi kantor dipenuhi suara jejeritan yang melengking.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.