Kongres Mahasiswa 2018, Demokrasi PREMATUR
Opini
oleh Chandra Nirwana
Belakangan
ini, ormawa tertinggi di Institut maupun fakultas tengah bergeliat. Hal ini
dikarenakan SK kepengurusan sudah akan berakhir. Geliat itu ditunjukkan dengan
adanya pembukaan kongres dan beberapa persiapan lainnya terkait pemilihan
mahasiswa (pemilwa). Kongres menjadi acara yang krusial mengingat hal tersebut
merupakan hal terpenting dalam Republik Mahasiswa (RM). Yaitu ketika agenda
yang dinamakan pesta demokrasi berusaha dipraktikkan dalam ruang lingkup kampus
yang tak lain adalah miniatur negara.
Namun
semangat demokrasi tersebut rupanya harus terlahir prematur. Pengadaan kongres
dianggap terlalu ‘dipaksakan’ sehingga perkembangannya tidak berdampak
apa-apa terhadap seluruh ormawa maupun mahasiswa biasa. Sosialisasi yang ‘tidak’
memberikan pemahaman seluruh lapisan mahasiswa dituding menjadi alasan kuat
penyebab minimnya sambutan antusias.
Apa
yang membuat lembaga legislatif tersebut tidak begitu maksimal dalam
menjalankan tanggung jawabnya? Itu pantas diangkat di permukaan mengingat
SEMA-I bahkan DEMA-I sebagai eksekutif menduduki posisi tertinggi dalam RM. Maka
dari itu alasan apapun yang membuat lambatnya pesta demokrasi bukanlah jawaban
yang retoris. Malah akan dianggap sebagai alibi untuk menutupi alasan
kuat lain yang barangkali menjadi penyebab pokok permasalahan tersebut.
Begitu
pula dengan pengaruh SEMA-I/DEMA-I dengan UKM-UKM yang dibawahinya. Meski belum
terbukti mangkir dari tanggung jawabnya, program kerjanya dianggap lamban
membuat UKM-UKM memilih untuk ‘lepas kendali. Acara-acara UKM, seperti mubes
(musyawarah besar) dan pergantian pengurus, tidak ikut terseret dalam lubang
hitam persoalan rumit SEMA-I/DEMA-I. Mereka masih mampu menyusun program kerja
mereka sendiri tanpa bergantung pada instruksi.
Di
sinilah rakyat Republik Mahasiswa harus pandai membaca situasi dan menafsirkan
hal-hal yang dikemas rapi. Faktanya, bukan rapi dalam arti sebenarnya, namun
rapi dalam membius mahasiswa utnuk meng-iya-kan konsep yang diajukan.
Sebab, ormawa tertinggi itu dan mahasiswa institute secara luas, menyangkut UKM
dan lemabag-lemabaga intra lainnya adalah satu kesatuan dan tidak dapat
berjalan dengan sendiri-sendiri. Eksistensi SEMA-I/DEMA-I harus membawa manfaat
yang nyata bagi seluruh lapisan mahasiswa, melalui proker yang dikerjakan tanpa
terlalu banyak membuang waktu dan mampu memberi pengaruh pada civitas kampus.
Ironisnya,
seperti yang dijelaskan di atas, ada tidaknya presiden mahasiswa, tidak
mempengaruhi kegiatan ormawa. Koordinasi pun belum terbangun antara birokrasi
mahasiswa dengan UKM-UKM. Sehingga terbentuk semacam pemisahan kewilayahan.
Jalan sendiri tanpa ada wujud keharmonisan yang saling mendukung dan menguatkan.
Hingga dapat disimpulkan bahwa keberadaan SEMA-I/DEMA-I tak lagi menunjukkan
pengaruh bagi bentuk miniatur negara yang berbentuk republik ini. Bisakah apabila
kita menganggap bahwa ormawa tertinggi tersebut sudah tak lagi pantas
menunjukkan eksistensinya lagi? Toh, bila seandainya tidak ada, kegiatan UKM
akan terus berlanjut. “Kita gak ada SEMA
atau DEMA pun jalan. Toh, mereka adapun kita anggap”, begitulah kiranya ungkapan beberapa ketua
UKM yang berhasil kami dengar suaranya.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.