Republik 'Dagelan' Watoe Dhakon
Esai-Fiksi
Oleh: Zaenal Abidin
Saya
ingatkan anda untuk tidak cepat-cepat kaget atau gupuh menyaksikan
fenomena-fenomena yang lucu bin menggemaskan akhir-akhir ini. Di dusun Watoe
Dhakon adalah pemandangan biasa dapat anda lihat warga berlalu lalang kesana kemari
terlihat lesu, mumet, wajahnya pucat. Air muka mereka abu-abu. Mengumumkan
segala beban yang menyelimuti kepala dan dada mereka. Salah satu sebabnya,
alih-alih memfasilitasi kelonggaran hidup, negara justru memaksa rakyatnya
untuk mengabdi pada kurikulum-kurikulum kehidupan modern yang membuat otot-otot
dan otak harus terbiasa sering menegang menjalani dan menghadapi segala
keruwetan.
Saking
sibuknya, para penduduk dusun agaknya ketlisut. Melewatkan banyak hal di
kanan-kirinya yang berpotensi membuat hati lebih gembira. Coba saja mereka
meluangkan waktu sebentar untuk menikmati begitu banyak tontonan yang menurut
saya bermuatan lawakan. Pertunjukan itu dilakukan oleh tidak sedikit pemimpin
dan calon pemimpin yang konon bergelar pinilih. Keraguan saya tentang
apakah mereka itu benar-benar pemimpin ataukah pelawak yang sedang berperan
sebagai pemimpin agak susah dibedakan- sedikit demi sedikit memperoleh
pencerahan. Melihat skenario pemilihan umum Republik Mudamudi Watoe Dhakon,
senyum saya hampir menemui titik sudut paling lebar di ujung kanan dan kiri
pipi saya. Sebenarnya kalau bersedia mengurangi sedikit egoisme dan melakukan
refleksi dengan jujur, sebagian besar masyarakat dusun pun diam-diam memelihara
sikap dan perilaku yang ndagel juga. Apatisme dan sikap antipati pada dunia
politik adalah penyakit akut menahun yang diidap mayoritas warga pribumi ini.
***
Para
sesepuh, lurah dan perangkat dusun Watoe Dhakon sejak dahulu telah memberi
restu kepada para pemuda untuk mengatur dan mengurus sendiri perkumpulannya.
Itu karena mayoritas penduduk dusun adalah angkatan muda. Perangkat dusun
tinggal mengawasi, memberi arahan, fasilitas finansial dan sedikit intruksi
dapur yang sebenarnya justru berdampak amat vital pada kemandirian anak-anak
muda ini. Di kemudian hari sejak 2017- diketahui perkumpulan itu bernama
Republik Mudamudi Watoe Dhakon (RM-WD).
Sayangnya,
mayoritas warga dusun ini nyaris sama sekali tidak tahu menahu mengenai manfaat
sosial organisasi ini dan dampak positif dari kinerja-kinerja pengurusnya.
Bahkan banyak dari mereka tidak kenal presidennya. Walau begitu, tetap perlu
diapresiasi bahwa beberapa anggotanya sangat jago untuk jadi Event Organizer
(EO) dan mengamalkan ajian samberproyek yang mereka pelajari turun
temurun. Kelak keterampilan itu akan sangat berguna di masa mendatang. Demi
terjaminnya pemenuhan kebutuhan perut mereka di zaman yang semakin rimba.
Sebagai
senior, tetua-tetua dusun tidak terlalu khawatir pada kegiatan-kegiatan
perkumpulan anak-anak mereka ini. Asalkan tidak mbalelo dari Pedoman
Umum Organisasi Kepemudaan yang disusun oleh para senior itu. Tempo dulu
(tahun 80-an), aturan itu bejudul Normalisasi Kehidupan Kampung/Badan
Koordinasi Kepemudaan (NKK/BKK), sebelum dideregulasi hingga seperti saat ini. Tujuan
disusunnya aturan itu agar kawula muda ini tidak kebablasan dalam mengelola
semangat muda mereka yang berapi-api sehingga tidak memercik ke sana kemari.
Kan bahaya bila banyak kegiatan mereka unfaedah dan buang-buang uang. Atau bisa
lebih parah menggiring rasio mereka untuk berpikir yang tidak-tidak dan
berperilaku subversif.
***
Hari-hari
ini tengah berlangsung hajatan sakral reformasi aturan dan struktur pengurus
Republik Mudamudi itu. Kongres dan Pemilu Raya Pemuda jadi headline di
media massa dan trending topic di media sosial. Mereka sangat
bersemangat menyambut momen menjelang presiden dan para menteri harus diganti.
Sebenarnya bukan penduduk sedusun, acara ini lebih banyak diminati oleh
penduduk di kompleks Indrakila. Di sana terdapat camp-camp pengungsian
tempat hidup koloni pemuda-pemudi yang mencari suaka sekaligus mengabdikan
diri pada apa yang mereka sebut nyantri di organisasi. Sepertinya hanya di
kompleks yang berada di wilayah tenggara Watoe Dhakon itu banyak penduduk yang
antusias menyambut agenda tahunan ini. Penyebabnya beragam.
Pertama,
sebagian besar pemuda yang lain sibuk sekali melayani kewajiban akademik di
lembaga pendidikan tinggi tempat mereka belajar. Saat ini musim Ujian Akhir dan
waktu mereka habis diforsir untuk memenuhi deadline tugas-tugas sekolah.
Jangan salah sangka, semua pemuda di kampung ini sangat memerhatikan kebutuhan
intelektual nutrisi otaknya. Maka para wali murid menyekolahkan anaknya ke Universitas
Watoe Dhakon. Agar kelak jadi orang pintar yang tidak hanya ahli dalam hal minteri,
tetapi juga turut melestarikan gap antara kaum terdidik dengan
orang-orang udik. Satu lagi, sebagian besar sesepuh dusun tidak mengetahui
detail jalannya Pemilu ini. Entah tidak mau tahu atau memang tidak diajak urun
rembug. Meskipun tertera dengan jelas di undang-undang RM bahwa
beliau-beliau termasuk anggota pengawas.
Kedua, dari
sekian massa yang menaruh perhatian pada Pemilu Raya (Pemira), beberapa dari
mereka merasa jenuh dan bosan. Realitanya, dalam pertarungan politik RM tiap
tahun selalu dimenangi oleh kader-kader dari satu kelompok yang sama, yaitu
partai Pergerakan Pemuda Islam Impian (PPII). Parahnya, setelah terpilih dan
dilantik jadi pejabat, hampir tidak dapat dirasakan adanya kemajuan menyeluruh (konstruktif
transformatif) dan dampak positif bagi masyarakat dusun secara keseluruhan.
Kondisi ini selalu terulang dari tahun ke tahun.
Perbaikan-perbaikan
yang diharapkan oleh rakyat, berkaca dari pemerintahan sebelum-sebelumnya,
nyaris nihil. Justru yang sering tercium adalah dosa-dosa baru yang turun
temurun sehingga mendistorsi nama besar mereka sendiri. Yang utama buat mereka
adalah distribusi kader sebanyak-banyaknya untuk jabatan-jabatan penting. Status
quo harus tetap langgeng kan. Sementara peningkatan kualitas dan kapasitas
tidak masuk daftar prioritas. Makanya, aktivis-aktivis dari partai Himpunan
Pemuda Islam (HPI) dan Ikatan Mudamudi Islam (IMI) mungkin merasa capek.
Soalnya kalah terus.
Lain lagi
dengan partai Kesatuan Aksi Pemuda Muslim Impian (KAPMI) yang lebih punya
kedewasaan (lebih tepatnya pesimistis). Mereka terpaksa harus tahu diri karena
kalah jumlah pengikut, sehingga memilih fokus pada urusan taabbudi. Padahal
di dusun lain yang lebih metropolis, gerakan ikhwan-akhwat mereka sangat
massif, terstruktur dan progesif. Di samping itu, sebenarnya ada satu komunal
baru, cukup eksis meski sebatas di dunia maya. Harap dimaklumi, mereka masih
fokus pada tahap melariskan barang dagangan dan menjaring tangkapan
sebanyak-banyaknya. Mereka menyebut dirinya partai Keluarga Pemuda Nusantara
(KPNu). Karena masih seumur jagung, pergerakan dialektika sosial dan politik
mereka pun masih abu-abu.
Menyoal
kekalahan-kekalahan HPI dan IMI pada tiap edisi Pemira, bisa kita ambil sampel
dari kegagalan mereka tahun ini. Dua partai yang berkoalisi ini terkesan kurng
greget, main-main, amat jarang terlihat
bersungguh-sungguh menjadi rival bagi PPII dalam dinamika politik dusun. Meski
sebenarnya mereka sudah menjalin aliansi dengan aktivis veteran dari kota pahlawan
dan seorang pejabat tinggi di RM yang memutuskan jadi oposisi karena merasa
kecewa dengan kolega-koleganya.
Perihal
aktivis veteran ini, beliau sedang mencari suaka di dusun Watoe Dhakon, demi
tugas akhir studinya yang sudah jatuh tempo sehingga ditundhung dari
tanah airnya. Sebetulnya dia berlatar belakang aktivis senior PPII wilayah kota
pahlawan basis utara. Karena merasa kecewa dengan kondisi dan perlakuan
sahabat-sahabat jauhnya di dusun ini, akhirnya ia memilih jalan sunyi. Berbekal
teori-teori dari buku-buku kiri yang dia hafal di luar kepala, ditambah
segudang pengalaman hitam-putih perjuangan masa mudanya, sabda-sabdanya laris
manis banyak peminat. Beberapa warga dusun yang juga kecewa pada rusaknya dunia
berhasil direkrut menjadi pengikut setianya.
Pada Pemira
kali ini, dengan persiapan ala kadarnya jagoan-jagoan yang mereka usung untuk
maju sebagai capres semuanya gagal pada tahap verifikasi berkas administrasi. Padahal
di hari terakhir batas waktu pendaftaran capres sudah diberitahu kelengkapan
apa saja yang kurang dan diberi kelonggaran untuk melengkapi berkas yang kurang
itu selama satu hari. Nyatanya, tetap gagal lolos verifikasi. Mulai dari sini
bisa dipertanyakan kinerja Panitia Pengawas sudah sampai mana. Sepertinya malah
nyaris tidak ada geliat sedikitpun.
Lucunya, majelis luhur pengusung jagoan yang
kalah itu lebih memilih untuk melayangkan sumpah serapah bahwa KPU tidak
transparan dan tidak independen daripada mengevaluasi sebatas mana pemahaman
mereka pada kelengkapan persyaratan yang tidak dipenuhi itu. Kan tidak
seyogyanya, setelah sosialisasi hasil verifikasi paslon diumumkan, baru ada
yang bertanya: Sebenarnya persyaratan bagi yang ingin nyapres itu apa saja
to?. Sayang sekali, antara KPU dan peserta Pemira pun juga tidak saling
mawas diri, kurang menyadari pentingnya sikap terbuka dan jujur pada hati
nurani tanpa embel-embel kepentingan golongan masing-masing. Terlepas dari
indikasi adanya main mata yang dilakukan KPU, kalau benar-benar ingin ikut
berkompetisi, sekaranglah saatnya bukan? Paling tidak, supaya masih punya muka
demi eksistensi dan punya barang jualan buat keberlangsungan kaderisasi.
Anggota-anggota baru kan mudah silau kepada senior yang memegang jabatan
penting organisasi.
Satu faktor
lagi yang dapat dijadikan referensi untuk tersenyum, penguasa menilai bahwa
aliansi ini mempunyai inisiatif melakukan pendekatan dengan media massa
satu-satunya di dusun. Khusus pada poin ini lah yang sepertinya tidak dijadikan
salah satu strategi berduel oleh rezim yang sedang berkuasa. Melalui pendekatan
personal dan kedekatan emosional, aliansi bergerilya. Nyatanya tidak ada ukuran
bahwa kedekatan ini terbukti. Ataukah hanya karena kebetulan wacana mereka
sebagai minoritas terwadahi. Media memang memiliki tanggungjawab untuk menyampaikan
aspirasi publik, terutama suara mereka yang termasuk ashnaf voicelesses people.
Media massa
senantiasa berusaha menjadi wadah aspirasi dan wacana alternatif balancing
kehidupan demokrasi di dusun. Namun, sebagian warga kampung masih belum sampai pada
level bisa memaklumi keberpihakan media pada kaum tertindas. Mereka mungkin
memahami bahwa bagi sebuah media, memposisikan diri pada wilayah netral itu
sungguh sulit dan dilematis. Berusaha tidak condong ke kiri dengan tetap
menjaga keseimbangan untuk tidak cenderung ke kanan adalah sesuatu yang
membutuhkan pengukuran dengan presisi tingkat tinggi. Tapi tentu bukan hal
mustahil.
Bila media
mengkritisi pihak pro-posisi, orang-orang menyangkanya tengah dekat dengan
oposisi. Sebaliknya, bila media massa tidak menyampaikan kritik konstruktif
atas kebijakan penguasa, buru-buru dicap media ini penjilat rezim. Peran media
adalah menjadi penyeimbang dua sisi itu. Keberpihakannya adalah pada
kepentingan publik, kebenaran dan keadilan.
Pada akhirnya,
saya berharap anda tidak terlalu serius menanggapi tulisan ini. Kembali ke
bagian paling atas bahwa ini hanyalah dagelan. Anggap saja setiap warga dusun
Watoe Dhakon adalah pelawak yang ngelawak dengan cara dan ciri khas
masing-masing. Dengan begitu, segala permasalahan dan keruwetan di sekeliling
dusun ini tidak akan melahirkan kekhawatiran, tetapi justru mendatangkan tawa
dan kebahagiaan.
Gambar: pinterest.ca
Gambar: pinterest.ca
Diancok trah yo bener kui �� KPU ne GG (gak guna)
ReplyDeleteAnggap saja semua aktor di sini berperan sebagai dagelan. Lainnya hanya figuran.
DeleteHahaha um, figur untuk di pajang :D ah. Kapan ya negara ini maju, kalau masih kuliah aja bisa maen kayak ular tangga :D
DeleteJustru saat masih kuliah adalah waktu yg pas untuk latihan main seperti itu.
DeleteSupaya pas lulus dan terjun langsung di dunia nyata tidak kaget. :D
Masih bermain dengan satu sutradara ya, mana nih transparansi.
ReplyDeleteSutradara tandingan tidak lolos verifikasi.
DeleteTransparansi hanya mitos.