Berpacu dengan Proses
Cerpen
Karya Fanisa
Kala itu, saat siang yang begitu mencekam, Asyfa diantar oleh
kedua orang tuanya menuju peron kereta menuju Ibukota, ini adalah pertama kalinya
ia harus pergi jauh sendiri karena ia telah menjadi Mahasiswa Baru di Perguruan
Tinggi ternama. Selama sebelum kuliah, Asyfa selalu takut jika tinggal jauh dari
orang, tua, hidup di tanah rantau, takut bepergian jauh, takut dicopet, takut dihipnotis,
takut tak sampai tujuan dengan baik. Asyfa juga takut kesepian, takut kehilangan
perhatian, takut tak punya teman, dan takut tak diperhitungkan dalam pergaulan sosial.
Betapa tidak, banyak orang menceritakan ibukota sedemikian jahatnya hingga seakan-akan
tak ada orang baik disana.
Ia
kembali meyakinkan dirinya, jika hidup penuh ketakutan, ia harus bersi keras melawannya,
ia hanya terdiam mengatup-ngatupkan mata, mencoba mengendalikan situasi dengan menarik
napas sepanjang yang ia bisa, lalu berdiri dengan dagu yang sedikit terangkat.
Ia meraih ransel perlahan, seketika Ibunya memeluknya dan Ayahnya mengikutinya,
rasa cinta begitu ia rasakan sesaat ketika bersandar, teras berat. Lantas ia memegang
tangannya dengan lembut sambil berpamitan pergi.
Ia melangkah tanpa ekspresi,
sambil memandagi dua sosok yang sangat berjasa dalam hidupnya tersenyum dan penuh
harap dengan muka yang tampak biru menahan pilu, ia mempercepat langkah kakinya
menuju gerbong kereta. Pengap, banyak orang berduyun-duyun dengan koper dan kardus-kadus
besar. Ia tak peduli, kereta berjalan perlahan.
Dalam
perjalanan, ia berpikir apa yang akan ia lakuka nanti,
pasalnyasetelahsampaitujuan ,esoknya ia langsung menjalani Ospek di Kampus.
Sebelumnya, ayahnya telah mencarikan kos-kosan lewat teman kerjanya, ia mencoba
menghilangkan ketakutanya, dan berpikir baik-baik saja.
Setelah
lebih dari 10 jam, ia sampai di Stasiun Ibukota “Perang akan dimulai” gumamnya dalam hati, ia menuju ke kosannya lalu
istirahat dan membereskan tempatnya.
Esoknya,
saat pagi-pagi ia berangkat menuju kampus, untuk mengikuti pesiapan Ospek.
Sebenarnya tak banyak yang diinginkan oleh Asyfa ketika diawal kuliah, ia hanya
ingin menjadi mahasiswa yang baik, berprestasi, lulus tepat waktu, dan setelahnya
bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, agar bisa membanggakan kedua orang
tuanya di desa. Setelah melewati berbagai pertemuan soal persiapan, Asyfa mendapatkan
teman baru, Difa dan Naya sama-sama anak rantau, mahasiswa satu fakultas yang
tinggal di dekat kosannya.
Banyak
yang harus dipersiapkan untuk mengikuti Ospek, mulai dari kostum, paper,
dan juga kreasi unik yang wajib dibawa saat acara. Mereka bertiga mempersiapkan
dengan sangat matang, tak ingin ketinggalan satupun.
Hari
Rabu, benar-benar digelar Ospek dikampusnya, banner ucapan selamat datang
Mahasiswa baru mulai terpampang dipagar-pagar dan tempat keluar masuk mahasiswa.
Ia berangkat bertiga pagi-pagi buta menuju lapangan utama kampus. “Ayo segera, cepet jalannya woi. Lu lemot bangeetsih!!”Teriak
salah satu kakak tingkat dengan muka garang dan menyebalkan, mahasiswa baru mulai
berlari-lari terbirit-birit menuju lapangan. Asyfa sedikit terkejut dengan mahasiswa
yang sebegitu banyaknya, dalam hati berpikir sainganku juga semakin banyak.
Kemudian
panggung diisi oleh orasi“Hidup Mahasiswa!”
Mahasiswa baru bersorak menjawab “Hidup!”
Teriakan itu begitu keras menggema, memantul bersama debu dan terik matahari
yang begitu ganas mengintimidasi. Serta kegiatan-kegiatan yang melelahkan membuat
mahasiswa baru kesal, orang seperi Asyfa, Difa dan Naya ketika menghadapi situasi
seperti ini hanya menginginkan untuk pulang, pulang dan pulang, ketika itu,
para senior yang baik hanya memandang keluh si maba dengan mukaramah menahan sinis,
disertai senyum yang sok menghibur “Sudahlah,
sebentar lagi pulang”
Disisilain, senior yang
lebih tegas biasanya memandang keluhan maba dengan umpatan sarkas dan terkadang
melecut “Baru juga sampai kegiatan ini,
sudah ingin pulang saja. Tahun depan kau akan merasakan seperti kami, kau akan lebih
jarang pulang,” ujarnya.
Awalnya, Asyfa hanya memandang
abai perkataan para seniornya. Bagi seorang maba kepulangan bagaikan oase ditengah
gurun, pelepas dahaga penghilang fatamorgana. Akan tetapi, waktu terus melaju,
Asyfa dan kawanya tumbuh diterpa badai kesibukan dan ambisi pembuktian. Mendapati
realitas yang terjabar di depan mata: yang penuh tanda tanya.
Ada yang memilih duduk
memenuhi bangku pertama, menggangap dosen adalah dewa dengan mencatat seluruh apa
yang diutarakannya. Ada juga yang memilih untuk memenuhi kursi-kursi rapat, meja-meja
konferensi atau pun mimbar-mimbar lomba, pulang larut pagi dengan mata yang
masih harus berjuang melawan kantuk demi tugas kuliah yang masih perawan. Selainitu
juga ada yang harus mengerahkan segenap daya nalar hingga keseluruhan potensi lahiriah,
sekedar demi menjamin sesuap nasi untuk tidur.
Ia
terus mencari hal yang baru, dan tumbuh dikancah waktu, ketakutan-ketakutanya perhalan
mulai sirna. Kini Asyfa sadar bahwa hidup tak lagi sesederhana yang dulu. Semangatnya
semakin menggebu-gebu dan waktu semakin menjadikannya pribadi yang baru, menjadi
mahasiswa adalah tanggungjawab yang
berat, bertanggungjawab pada orang tua, juga sekaligus bertanggungjawab pada
masa depan. Bag Asyfa udara yang kini dihirupnya semakin susah. Namun ia harus terus
melangkah mewujudkan segala keinginanya.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.