OMEK Langgar SK Dirjen, Ketegasan Birokrat Kurang
Opini
Oleh Adzka Haniina
Kampus menjadi ladang
subur untuk meningkatkan organisasi ekstra. Seperti namanya, organisasi ekstra
tidak terlepas dari kampus. Akan tetapi dalam waktu yang sama mereka tidak bisa
leluasa berkegiatan di kampus karena salah satu yang membatasi adalah Surat
Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi No. 26 Tahun 2002 tentang Larangan
Politik Praktis Kampus atau Partai Politik dalam kehidupan kampus. Sayangnya,
di IAIN Ponorogo, peraturan ini tidak terlalu diindahkan. Entah, masihkah
peraturan dapat diberlakukan ketika tidak dianggap sesuatu yang urgent?
Peraturan ini agaknya
memang tidak begitu mengusik di IAIN Ponorogo. Toh tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan dominasi organisasi ekstra
sudah menjadi suatu hal yang lumrah. Organisasi ekstra bahkan sudah seperti
organisasi intra. Bisa dengan mudahnya memuncullkan eksistensinya berupa banner,
bendera, dsb. Bebas berlaga selayaknya organisasi intra, masuk pada perebutan
kekuasaan, memonopoli, menimbulkan propaganda, atau berorganisasi selayaknya ‘rumah
sendiri’, itu sudah biasa. Akan tetapi, hanya ekstra yang memiliki kekuatan dan
dominasi yang mampu menguasai.
Poin yang menjadi
pertanyaan adalah, mengapa pelanggaran terhadap SK Dirjen Dikti tersebut menjadi
lumrah di kampus kita? Faktor pertama adalah dari organisasi ekstra itu sendiri.
Saat organisasi ekstra tidak memberikan edukasi mengenai peraturan yang
berkaitan dengan mereka, anggota tidak mengetahui batasan mereka di kampus. Ketika
tidak mengetahui hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitasnya, kemungkinan
melanggar akan lebih besar.
Abdul Rozak, ketua
Rayon dari PMII Jayadipa mengakui hal tersebut. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak
mengetahui ada SK yang melarang organisasi ekstra untuk berkampanye di area
kampus. “Saya juga tidak tahu jika ada SK
yang menyatakan jika OMEK tidak boleh melakukan kampanye di area kampus,” katanya.
Dengan ketidaktahuannya
tersebut, ia telah melakukan satu pelanggaran, yakni memasang banner atas nama PMII di depan Gedung
BEM. Dari sini, dapat dilihat bahwa ketidaktahuan menyebabkan suatu
pelanggaran..
Faktor kedua yang
mempengaruhi yakni belum adanya ketegasan dari pemangku kebijakan. Dapat
ditinjau dari pernyataan Syaifullah, Wakil Rektor III, “akhir-akhir ini banyak pertimbangan. Apakah dilarang sepenuhnya atau
tidak. Dalam pelaksanaan SK ini kita juga harus luwes,” jelasnya.
Sebagai penanggungjawab
atas kemahasiswaan, pihak rektorat memberi celah pada OMEK untuk melanggar SK
tersebut. Selain pernyataannya untuk luwes dalam pelaksanaan SK Dirjen Dikti,
pihak rektorat juga tidak menegaskan kembali di lingkup kampus melalui surat
keputusan. Jika tidak ada perbaikan dari kedua pihak, peraturan Dikti akan
terasa jauh dan hanya milik Jakarta saja. Jika tidak ada ketegasan untuk
menerapkan peraturan ini, pelanggaran akan terus berulang. SK Dirjen Dikti bisa
jadi sudah tidak punya tempat di IAIN Ponorogo. Sampai kapan pendidikan
melanggar aturan ini berlanjut?
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.