Darurat Personalitas Perempuan
Modernitas menciptakan
budaya-budaya baru dalam tatanan sosial. Era yang telah memasuki postmodern ini
telah memberikan perubahan besar hingga tingkah laku dan gaya hidup masyarakat
dunia. Begitupula perempuan tidak lepas dari struktur sosial yang membentuknya.
Perempuan yang dahulu hanya dirumah dan mengurus keluarga, sekarang telah
merubah orientasi hidupnya menjadi lebih maju. Sedikit demi sedikit mereka meninggalkan
hal-hal yang membatasi kreativitas hidupnya. Akan tetapi, ternyata
perempuan-perempuan modern tidak seperti yang diteorikan oleh modernitas
tersebut. Lantas problematika apa yang sebenarnya mengusik dilema perempuan?
Perempuan, begitulah
tulang rusuk lelaki itu disebut, memiliki hati yang lembut dan detail dalam
berpikir. Mahluk yang semakin mendominasi bumi ini dituntut untuk cerdas otaknya.
Karena dalam menghadapi terjang kehidupan, perempuan harus cerdik secara
kognitif untuk berhadapan dengan jenis manusia yang bernama laki-laki—yang seringkali—menggunakan
ototnya. Namun ternyata perempuan dilanda sebuah kegelisahan yang mungkin tak
mampu ia utarakan. Kegelisahan itu berupa tuntutan masyarakat yang mewajibkan
dirinya untuk berperilaku sesuai dengan keinginan budaya sosial. Perempuan
harus mampu membereskan pekerjaan-pekerjaan domestik, seperti mengurus rumah
dan keluarga, tidak bekerja diluar
rumah, dan mampu menyelesaikan segala pekerjaan mengurus (rumah, anak, suami,
orang tua).
Realitanya, dia
(perempuan) susah untuk memahami dirinya sendiri. Kontradiksi antara dorongan
hatinya dengan kewajiban peran yang harus dilakukan membuatnya galau
dengan pikirannya sendiri. Singkat cerita, ada seorang perempuan punya pacar
yang menyuruhnya untuk tidak bekerja. Alasannya, segala kebutuhan si perempuan
sudah dipenuhi oleh pacarnya. Uang pun juga sudah dicarikan dan dialirkan ke
saku si perempuan itu. Si perempuan menurut apa yang diinstruksikan pacarnya. Akhirnya
ia menjadi tidak mandiri dan mati karyanya. Kondisi seperti inilah yang disebut
sebagai krisis identitas perempuan.
Banyak orang mengira
bekerja hanyalah untuk sekedar mengeruk rupiah saja. Mengumpulkan banyak uang
yang dianggapnya sebagai derajat kesuksesan hidup. Istilah ‘bekerja’ dalam
kajian feminisme tidak sebatas mencari uang, akan tetapi lebih kepada makna
berkarya untuk peningkatan intelektual. Arti feminisme menurut KBBI edisi V
Kemendikbud RI merupakan sebuah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.
Betty
Naomi Goldstein, biasa disapa Betty Friedan seorang aktivis feminis dari
Amerika, dalam bukunya The Feminine Mystique membagi ‘pekerjaan’ menjadi
dua kategori, yaitu Job dan Work. Friedan memaknai Job sebagai
pekerjaan yang bertujuan menghasilkan materi atau uang, sedangkan Work diartikan
sebagai pekerjaan yang menghasilkan karya untuk menunjukkan eksistensi. Jadi
seseorang pasti ingin eksis dengan karyanya, tak terkecuali perempuan.
Perempuan seringkali
berpikir keras untuk memahami kehidupannya sendiri. Ia bimbang antara dia harus
bersekolah tinggi dan berkarir, ataukah menjadi perempuan biasa yang hanya mengurus
rumah dan keluarga. Sedangkan budaya patriarki masyarakat melarang perempuan untuk
bekerja dan berkarir. Perempuan itu ya dirumah, menikah, berumah tangga,
mengurus anak dan suami. Itu saja. Sehingga orientasi hidup perempuan menurut
Betty Friedan ditujukan hanya pada tiga hal yaitu, hearth, home, and husband
(mengejar cinta, romantisme, urusan rumah, dapat suami yang mapan, sholeh,
kaya). Secara umum mereka memanglah mencita-citakan 3 hal tersebut.
Karena kiblat perempuan
yang sedemikian sempit tersebut, maka mereka berlomba-lomba menarik pasangan
terbaik yang bisa ia tarik. Perempuan disibukkan dengan memperbanyak koleksi
alat-alat yang memperindah tubuhnya untuk mencapai tujuan itu. Seringkali laki-laki
yang kaya menjadi pilihan tepat daripada lelaki yang tampan wajahnya. Urusannya
bukan lagi suka atau tidak suka, tetapi bagaimana lelaki itu bisa dijadikan
sandaran hidup. Karena perempuan tidak lagi berpikir untuk berkarya sendiri
atau mandiri melainkan bersandar pada laki-laki. Disamping itu perempuan
dituntut untuk bisa melayani dan mengurusi rumah tangganya. Perannya menjadi
sempit. Arah pemikirannya hanya sebatas di wilayah itu, tanpa ingin berpikir
untuk keluar dari paradigma patriarki tersebut. Perempuan mengalami krisis
identitas, apa iya hidupnya hanya begitu saja?
Dalam Urusan pendidikan
pun perempuan harus memutarbalikkan otak. Ketika pendidikannya semakin tinggi
ia semakin gelisah. Apabila pendidikannya tinggi ia ragu bisa melayani
keluarganya atau tidak. Bahkan ia takut apabila berpendidikan tinggi, tidak ada
yang berani melamarnya. Jikalau karirnya sukses, bisa tidak ya mereka
mengurus suami dan anak-anaknya. Sebenarnya yang paling baik untuk perempuan
itu yang mana, antara menuruti tuntutan masyarakat atau mewujudkan mimpi-mimpinya.
Begitulah kerisauhan yang seringkali menjadi persoalan dilematis tak
berkesudahan bagi perempuan. Pernyataan penulis tersebut berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Friedan di Amerika. Di Indonesia pun, yang saat ini
terjadi memanglah seperti itu adanya.
Padahal ketika kecil, perempuan memiliki cita-cita yang menggebu. Tetapi seiring bertambahnya
kedewasaan, perempuan akan merubah mimpinya karena tuntutan masyarakat. Mereka
melenyapkan hasrat untuk mandiri dan mencurahkan segala perhatiannya untuk
rumah tangga dan keluarganya. Posisi perempuan memanglah
kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Maka sudah
selayaknya perempuan sadar bahwa hidupnya tidak sesempit konstruksi masyarakat.
Ia memiliki hak untuk mewujudkan mimpinya dan berkarya untuk menunjukkan kepada
dunia bahwa perempuan layak untuk mendapatkan posisi dalam bereksistensi. (ArinyS.crew/Essay)
Gambar: ayeey.com
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.