Kelopak 2 "ORKESTA KEMATIAN"
"Orkestra Kematian"
Karya Chandra Nirwana
Tak ada
yang akan mengira warna kehidupan itu terlalu fana dan berubah menjadi monokrom.
Hingga gerbang kehancuran hampir terbuka. Menyisakan celah. Dewata masih belum jua
menggoreskan tinta takdir. Merubah kematian
yang merajalela dengan sebuah kehidupan yang memiliki nafas. Ia terdiam.
Belum memilihkan akhir.
Mayat-mayat
bertebaran di mana-mana. Bertumpuk dan bertindih di atas tanah berkarat. Ada
mayat yang masih utuh. Ada yang sudah kehilangan kepala dan kakinya. Anak panah
tertanam di berbagai tempat, menembus kulit-kulit
busuk. Sayat bekas toreh pedang mengucurkan
darah sederas mata air.
Sepanjang
mata memandang, selalu terdapat mayat-mayat. Mati, tanpa mendapat jawaban dari pertanyaan
yang tersirat lewat tatapan mata yang membelalak. Mencuat keluar. Terciprati darah
dan lumpur.
Bumi Mayapada
Protesis yang mereka namai Bajamus Ave
kini terdistraksi menjadi neraka imitatif.
Melihat hal
itu, Seraphim yang berada di langit, di antara bintang Amulintang, hanya bisa duduk
diam dan menyanyikan doa-doa harapan. Berharap Dewata berhenti terdiam dan menurunkan
titah pertamanya. Salah satu dari ordo Kerubim memutuskan untuk turun kebumi. Membawa
secuil harapan di antara keputusasaan yang tersendat dalam sayap peraknya yang berkilau.
Kerub
mengais tanah. Mengumpulkan bertetes harapan yang terbuang percuma dari jiwa-jiwa
yang terpisah dari raga. Tumpah ruah. Berserak di antara mayat-mayat kaku. Ia bergumul bersama burung-burung kondor yang tak henti mematuk
daging mati.
“Bagaimana
ini bisa terjadi? Mengapa sejauh aku memandang, hanya kesedihan yang teramat kentara
yang tampak? Kemanakah kehidupan? Kemanakah keadilan? Kemana suara-suara itu?”
ucap Kerub sambil terus memandang satu persatu
mayat tak bernyawa.
Ia seorang
diri di sana. Menyimpan berbagai pertanyaan yang tak akan pernah berakhir. Tak akan
pernah terjawab hingga Dewata turun tangan.
Tapi apa? Selama ini Dewata terdiam dan membiarkan
kubu hitam terus merenggut kemanusiaan. Menunggu hingga Mayapada Protesis
menemui kiamatnya sendiri. Kehancurannya sendiri.
“Dewata
tidak sedang diam. Ia menunggu matahari
yang tepat saat semua ini akan diakhiri.” Bunga
krisan diletakkan di samping sebuah tonggak kokoh. Kerub memandang manusia yang
membawa sebakul krisan putih. Manusia. Bagaimana bisa ia masih hidup saat nafas
kehidupan di tanah ini dicerabut secara paksa. Sebuah kontradiksi yang amat
mencolok di atas ladang kematian ini.
Kerub
tahu siapa dia. Ksatria dan pemegang rahasia. Sang Klandestin. “Apa
yang dilakukan seorang Kerub di sini? Apa Swarga Loka sudah membuatmu bosan?” Klandestin
belum berpaling ke arah malaikat. Tangannya terus menyelipkan doa dan krisan putih
pada mayat. Kerub masih membisu. Hanya desau angin senja yang membelah udara di
antara mereka.
“Aku
tak sedang berbicara dengan mayat hidup, kan?”
Alih-alih
marah, senyum Klandestin mengembang kaku. Kali ini ia mendongak memandang Kerub
dengan tatapan teduh. “Mereka yang hidup adalah mereka yang memiliki hati yang
masih suci. Belum tercorengi keserakahan dan angkara murka yang ditumbuhkan ego
liar. Sedangkan dunia ini masih diduduki oleh
mereka yang sudahmati. Mati cahaya hatinya dan membutakan nurani. Tak bisa lagi memandang mutiara kehidupan
yang kini sedang rapuhnya.”
Kerub
mengatupkan keempat sayapnya, menekuri ucapan Klandestin yang menebar makna dasyat
di hatinya. “Lalu siapa lagi yang akan membebaskan tanah ini kalau semua kehidupan sudah dihapus?
Dewata bahkan berpaling dari ini semua.”
“Dia
bukan berpaling. Kerubku yang terhormat, Dewata tidak sedang memegang pion
apapun. Ia melepas semuanya. Hitam dan putih
saat ini bersateru dalam keseimbangan. Ia akan turun tangan saat salah satu dari
pion tersebut mengalahkan yang lain. Menyalahi keseimbangan yang seharusnya dijaga
utuh. Aku ingin tertawa. Bagaimana bisa Dewata
memainkan semua ini seperti bidak catur.”
Krisan
yang berada di bejana Klandestin melebur sebagian, menjadi renik-renik serangga kecil yang terbang digiring angin. Menjamah
cakrawala dan bergerombol satu koloni menuju
peraduan matahari senja. Memenuhi pandangan
mereka, menciptakan tabir dari selendang
jingga yang mengisi mega.
“Mereka
yang direnggut hatinya akan kembali ke alam mereka. Ke alam di mana mereka tak lagi mengawatirkan semua chaos
yang terjadi di dunia fana ini. Tapi bukan
berarti kita akan diam dan membiarkan kehancuran
mulai menampakkan diri. Jika Dewata tidak segera mengambil keputusan, maka kita
yang akan menentukan akhir dari semua ini.”
“Kata-kata
muter lalu dalam, Klandestin. Jika semua yang memiliki hati telah mati dan direnggut
kehidupannya, bagaimana kamu bisa hidup dan hadir menyaksikan semua ini dengan tenang?
Kau itu manusia, bukan?” kata Kerub sedikit meninggikan suaranya tiga oktaf.
“Dari
awal aku memang manusia dan memiliki hati. Tapi lihatlah siapa aku sebenarnya. Aku
pemegang rahasia. Rahasia yang kupegang terlalu sacral untuk diketahui banyak
orang. Maka aku merahasiakan hatiku dari siapa saja, termasuk dari pohon-pohon.
Perlu kamu ketahui,” Klandestin mendekat dan berbisik. “Setengah kubu pepohonan
adalah pengintai. Angin bisa jadi pendengar yang jeli. Langit bisa saja dengan licik
berubah menjadi pengintip yang lihai.”
Tiba-tiba,
suara bergemuruh terdengar dari balik kerak bumi. Bebatuan bergetar. Burung-burung
kondor beterbangan dengan kacau. Bumi berguncang. Mengamuk. Membentuk sesar secara
sporadik di permukaan tanah.
“Dewata?”
Tanya Klandestin.
“Bukan.
Ini adalah getaran karena mereka. Asmedeus baru saja menggaungkan orchestra
kematian.”
Foto: www.deviantart.com
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.