MAYAPADA PROTESIS "Kelopak1"
Kelopak 1
Perjamuan Semesta
Ini adalah sebuah negeri yang orang-orang anggap sebagai
sepotong khayalan belaka. Sebuah cerita yang lebih dari sekedar dongeng namun
tak banyak orang yang bersedia menikmatinya. Ini bukanlah sebuah dongeng yang
biasa kita dengar dari orang tua yang menemani anaknya tidur dengan membacakan
dongeng sekelas Cinderella, Snow White, Red Ridding Hood, dan tetek bengeknya.
Lalu sang anak dengan polosnya tertidur mendengkur tanpa pernah mengatamkan.
Ini adalah sebuah
kisah yang melekat, menyatu bersama darah yang mengalir di setiap urat nadi,
yang membawa kita bercermin pada cerita abadinya. Yang tanpa kita sadari telah
menjadi baying-bayang yang mengekor, mewanti segala tindak dan tanduk, dan
meleburkan sejuta makna yang belum tentu bisa tertoleransi.
Ini adalah jalan setapak yang menuntunmu dari kegilaan dunia,
menawarkan perspektif baru untuk kita pilih, untuk kita perhitungkan, dan untuk
kita bermetafora bersamanya. Kita tidak pernah diizinkan menjadi penonton yang
duduk manis sambil menikmati kopi cangkir. Kita ikut terlibat, menjadi dalang,
menjadi pemandu, bahkan kita bisa memilih menjadi naga yang memiliki keagungan
fana.
Ketahuilah, ini adalah kompleksitas. Akan ada tabrakan dasyat
antara imajinasi yang berbenturan. Semuanya akan melahirkan chaos yang menuntutmu untuk
memilih antara hitam ataukah putih. Menjadi benar atau salah. Menjadi yang
terpuji maupun yang dihina-dina.
Inilah Jamuan Semesta. Tak ada penjara yang paling
menyedihkan selain mengacungkan imajinasi yang tumpul di medan laga.
***
Mayapada Protesis. Sebuah dunia parallel yang terletak nun
jauh dari nalar kita, yang sejatinya sangat dekat melebihi tulang dan jantung. Sebuah
negeri yang menyimpan sejuta keajaiban yang terkungkung bersama kekayaan alamnya.
Di mana matahari dan bulan hanya tahu cara berotasi, tanpa
mengerti bagaimana cara berkoalisi. Keduanya menciptakan wilayah otonom yang
tak pernah diusik oleh jarum sinarnya masing-masing. Langit dan bumi tak lagi
memiliki tabir yang menciptakan jarak, yang menciptakan sekat, hingga sabuk
galaksi di atas terlihat bagaikan debu yang berhambur.
Pintu dari kedelapan penjuru mata angin terbuka lebar. Tak
lagi mematuhi jarum kompas yang akhirnya berputar tiada arah.
Pohon-pohon berjejer, mengikuti lajur tanah hingga menyentuh
batas kaldera.
Peri-peri berterbang riang di antara lekuk dahan pepohonan,
mengkalkulasi musim yang datang sesuai jadwalnya. Mereka ada di mana-mana. Di
pohon, sungai, gubuk, dan dalam cangkir gelas teh. Terbang dengan sayapnya yang
seperti dicipta dari bening mata kristal.
Setiap koloni memiliki tanggung jawab untuk mengatur kapan salju
bercucuran, bunga mengeliat dari kuncup, dan kapan daun-daun kering berias diri
menjadi kuning dan gugur dengan penyambutan musim dingin yang sakral.
Manusia, peri, dan beberapa ordo dari kerubim dan seraphim
berkumpul menjadi satu, tercampur aduk dalam sosialisasi yang bercorak seperti
kue kismis. Tiada onar tersemburat, tiada pedang teracung di dalam hingar bingar
penuh sapa dan salam.
Namun, tidak semua dari mereka menyadari bahwa ada
bibit-bibit angkara murka yang dihembus oleh manusia-manusia adidaya. Hasrat
dan arogansi tumbuh dan menjalar. Membakar akal sehat hingga hangus, berubah
menjadi ketamakan tanpa belas kasih.
Empat raja yang membangun kekuasaan, membentang wilayahnya
hingga memenuhi seluruh penjuru arah. Setiap tanah subur yang disentuh engan
matahari diklaim, diperebutkan, dan dikeruk demi segumpal emas. Kaum ploretar
diambil, dilatih menjadi tentara, dan dipaksa berperang meninggalkan keluarga
dan rumah kampung. Mereka membayar dengan nyawa, untuk apa yang raja mereka inginkan dan nafsukan. Nyawa melayang
setelah digorok pedang, menatap langit tempat Dewata bersemayam. Menanyakan
satu hal yang menjadi hutang untuk sang Dewata. Namun mata terburu terpejam,
kehilangan kesempatan untuk menyapa matahari esok.
Sementara para raja kian membuas. Naluri telah kandas dari
jasad berwujud manusia. Pedang para raja selalu berdesing pilu, menciptakan
percik api dan menumpahkan darah sahaya. Kuda-kuda meringkik, komando
diakbarkan, genderang perang dipukul bertalu-talu, perlahan bermetamorfosis
menjadi musik kematian yang kehilangan makna.
Jerit penduduk Mayapada dibungkam oleh harapan pada Dewata.
Harga diri dijatuhkan, dilenyapkan menjadi serpih debu. Telinga kaum aristocrat
tersumpal olehiming-iming mahkota mulia dan kastil agung. Semata menuruti
bisikan Asmodeus untuk menuhankan nafsu rakus.
Dewata barangkali mencandai
kelakar yang tak waras. Dia hanya menyaksikan di atas. Tertawa mengejek diamnya
KEADILAN.
***
gambar: www.deviantart.com
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.