SEMANGAT TAK KURANG, MESKI TEMPUH PENDIDIKAN LEWAT JALUR CURAM
Kaki-kaki kecil anak-anak dusun Jurang Sempu melangkah, menempuh tanjakan, menyeberang sungai dan melawan terik matahari demi mendapatkan ilmu di sekolah. Sekolah
merupakan salah satu tempat seseorang mencari ilmu dan pendidikan. Pendidikan merupakan
hal penting bagi anak-anak sebagai penerus bangsa. Akan tetapi masih ada daerah
yang kurang mendapat perhatian pendidikan yang seharusnya bisa dirasakan
seluruh warga Indonesia. Pembangunan pendidikan di daerah diatur dalam UU NO. 32/2004 tentang pemerintah daerah,
pemerintah daerah memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan pelayanan
pendidikan dasar (SD dan SLTP).
Kabupaten
Ponorogo merupakan salah satu daerah yang secara geografis sebagian besar wilayahnya perbukitan. Dusun Jurang Sempu merupakan bagian
dari desa Dayakan, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo. Desa ini
secara geografis berada di wilayah perbatasan Ponorogo dengan Pacitan di
sebelah selatan dan perbatasan Wonogori di sebelah barat. Dusun ini dihuni 6 Rukun
Tetangga (RT). Akses
menuju Jurang Sempu berjarak 3-4 km dari balai
desa Dayakan.
Mengacu
pada bidang pendidikan, desa Dayakan memiliki 2 Sekolah Dasar. SDN Dayakan 1 terletak
di dusun Sekar Putih sedangkan SDN 2 Dayakan terletak di dusun Kliyur. Jarak antara
SD dengan dusun Jurang Sempu cukup jauh, terhitung 3-4 km. Akses jalan menuju
sekolah dinilai belum memadai dan curam. Ditambah masalah transportasi warga
Jurang Sempu yang belum banyak berkendaraan. Hal ini tentu menjadi sudut pandang
utama bagi orang tua yang menyekolahkan anaknya bila harus membiarkan buah hatinya
yang masih kecil berjalan kaki.
Tahun
2000 untuk menangani masalah pendidikan di daerah pelosok seperti Jurang Sempu,
maka atas inisiatif masyarakat dan bantuan pemerintah desa didirikanlah SD
pararel di dusun Jurang Sempu. SD paralel tersebut terdiri dari kelas 1 sampai 3
saja, sedangkan untuk kelas 4-6 harus turun lebih jauh ke SD Induk Dayakan 1. Lantas bagaimana
peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur akses menuju pendidikan
di Jurang Sempu?
Berangkat
dari sejarah SD Paralel yang diceritakan oleh Ginanto selaku sekretaris desa, pada
tahun 2010 Jagabaya Dayakan mengadakan hajat dan mengundang Yuni Widia Ningsih (wakil
Bupati Ponorogo 2009-2014). Saat menghadiri hajatan, wakil bupati yang akrab disapa
Mbak Ida ini pun melihat SD
paralel dengan berdinding bambu reot disamping rumah Jogoboyo yang belum
tersentuh perhatian pemerintah, Mbak Ida merasa
tersentuh untuk membantu. “Dulu ketika hadir disini akhirnya bu Ida
mengusahakan bantuan 100 juta untuk SD pararel,” ujar Katimun, Jagabaya Dayakan.
Hingga
kini SD paralel itu terdiri 19 siswa, 6 siswa di kelas 1, 4 siswadi kelas 2,
dan 9 siswa di kelas 3. Hanya ada 2 ruang kelas, kelas pertama diisi
oleh siswa kelas 1 dan 2, sedang kelas kedua diisi siswa kelas 3. Kesadaran masyarakat Jurang
sempu terkait pentingnya pendidikan tergugah. Kini hampir semua anak yang sudah
waktunya bersekolah pun telah disekolahkan.
Suyatin,
seorang warga Jurang Sempu RT 6 yang menyekolahkan anaknya di SD Pararel sangat mengusahakan anaknya bersekolah. Ketika dirumah, Suyatin mengajari
anaknya belajar, dengan harapan masa depan anaknya baik dan bisa membantu orang
tua. Suyatin menyatakan bahwa sekolah tersebut gratis, hanya membeli seragam
merah putih dan pramuka, sekolah menyediakan seragam olahraga dan batik.
Mengenai buku pelajaran pun sudah diberikan oleh pemerintah (Kemendikbud). “Mau
sekolah setinggi-tingginya bahkan sampai perguruan tinggi orang tuapun pasti
mendukung dan mencarikan biaya,” katanya.Selain itu, semangat menempuh pendidikan bagi anak-anak Jurang Sempu tampak luar biasa. Juremi siswa kelas 3 SD Pararel. Setiap harinya berjalan kaki ke
sekolah bersama teman dan kakaknya dengan jarak 3-4 km naik turun gunung. Ia
sangat bersemangat dalam bersekolah, tanpa pernah mengeluh. “Gak capek, aku harus tetap belajar, kalau hujan ya pakai jas hujan,” ujarnya dengan semangat.
SD paralel
Jurang Sempu hanya memiliki 2 tenaga pengajar, yakni
Riyadi yang mengajar sejak tahun 2010 dan sudah berstatus PNS. Ada
juga rekannya bernama Dewi Retno. Dewi Retno merupakan seorang guru honorer
yang sudah mengabdi di SD Paralel Jurang Sempu selama 10 tahun, terhitung dari
tahun 2008 sampai sekarang. Gaji honorer terhitung berkisar 250 ribu per bulan,
itupun terkadang tidak diberikan setiap bulan.“Honorer itu gajinya jika
dihitung menurut kebutuhan, untuk bensin saja tidak cukup, kira-kira itu hanya
250 ribu sebulan, itupun kadang turunnya tidak setiap bulan, bisa 3-6 bulan
baru turun,” terang Riyadi kepada LPM aL-Millah.
Berbicara tentang
gaji bagi guru honorer, Ginanto selaku sekretaris desa Dayakan
mengatakan bahwasanya gaji guru desa tidak bisa dianggarkan oleh pemerintah desa, karena
persoalan hal itu berada dibawah naungan Kemendikbud. Hal ini dibuktikan dengan SKPD
(Surat Ketetapan Pajak Daerah) tidak berkomitmen untuk menangani persoalan tersebut. Meski
demikian pemerintah desa Dayakan tetap menampung setiap usulan terkait sekolah. Ginanto juga
mempertanyakan mengapa SD pinggiran seperti
Jurang Sempu yang dikirim malah guru honorer, seharusnya PNS. “Ketika
ada SD pinggiran, entah kenapa yang dikirim guru honorer, bukan yang PNS. SKPD
terpisah. Dikira kita independensi, bisa jadi karna kepala dinas gak pernah
kesini juga, kita kan ndak tahu,” terang Ginanto.
Kondisi
ekonomi warga Jurang sempu mayoritas bekerja sebagai buruh tani dan tergolong
rendah. Di Indonesia dalam menghadapi persoalan ekonomi warga yang rendah,
tentu ada progam bantuan yang diberikan pada warga tersebut. Di dusun Jurang
sempu, semua warga mendapatkan bantuan berupa PKH (Progam Keluarga Harapan)
yang merupakan bantuan biaya pendidikan bagi keluarga yang kurang mampu. PKH
dapat diperoleh berdasarkan data statistik yang dimana tingkat kemiskinannya terhitung
dibawah 25%. Bantuan PKH ini keluar setiap 3 bulan sekali sebesar 500 ribu per
Kartu Keluarga (KK) pada tahun ini.
Tahun sebelumnya memiliki sistem berbeda dimana besar bantuan yang diterima
didasarkan jumlah anak yang masih sekolah dalam satu keluarga. Selain PKH ada
juga KIP (Kartu Indonesia Pintar). “Tiap tahun
2 kali anggarannya,” ujar ketua RT 6 Jurang Sempu kepada crew.
Selain
faktor ekonomi, faktor infrastruktur juga menjadi salah satu kendala pendidikan
di Jurang Sempu. Keadaan akses jalan yang cukup jauh dan curam, tentu jalur
tersebut membutuhkan pembangunan yang layak, setidaknya aman bagi para pejalan
dan pengendara, apalagi jalur itu dilalui anak-anak SD yang menempuh
pendidikan. Terkait pembangunan infrastruktur jalan dari pemerintah, Jagabaya setempat
mengatakan ada beberapa bagian sudah beraspal dan sebagian besarbelum.“Kendala
terbesar itu ya pada insfrastuktur itu,” begitulah keterangan Katimun, Jogoboyo Dayakan.
Ginanto
juga mengungkapkan bahwa tak ada korelasi langsung antara SD dan pemerintah
desa. Hanya ada koordinasi dari pemerintah desa bersama dengan perwakilan dusun.
Banyak siswa yang berjalan untuk berangkat dan pulang sekolah.Kepala Sekolah SD
dayakan menyadari medan jalan menuju sekolah Pararel tidak memadai untuk siswa-siswi
yang berjalan kaki. Kemudian diadakan angkutan untuk mengantarkan pulang dengan dikenakan
biaya 15 ribu perbulan. Adanya angkutan pun hanya berjalan beberapa waktu saja,
sebab beberapa masyarakat tak menyanggupi melakukan pembayaran setiap bulan hingga
sempat vakum. Hal itu pernah dimusyawarahkan kembali dengan para orang tua anak yang
kemudian disepakati membayar seribu rupiah setiap harinya. Akhirnya angkutan tersebut dapat berjalan
hingga sekarang. “Secara singkronisasi,
sebenarnya dana dari PKH ataupun KIP bisa disisihkan untuk angkutan tersebut. Lagipula jika dihitung seribu setiap hari
maka sebulan mencapai 30 ribu, jauh lebih mahal dari sebelumnya,”
terang Ginanto, sekretaris desa saat ditemui crew LPM di kediamannya RT 4.
Jalan
di lereng gunung itu begitu curam dan kemungkinan longsor pada musim penghujan. Anggaran
dana desa yang terbatas belum bisa merata pada pembangunan insfrastruktur.
Pembangunan difokuskan pada titik rawan longsor, akibatnya jalan beraspal terkesan
aneh terputus-putus. Pembangunan terbatas itu berupa mengaspal jalan di beberapa
titik curam, sedangkan di titik rawan longsor di beri talut atau dinding
penahan tanah. Ginanto mengatakan “Dulu ada jalur yang hampir putus, tahun 2017 perbaikan pakai dana
desa. Lagipula ada daerah yang butuh perhatian juga. Watu Agungkondisinya pun
seperti Jurang sempu. Kalau hanya fokus pada satu tempat ya pasti di demo kita.”
Ginanto
juga menyampaikan pembangunan insfrastruktur
desa, bahwa sebelumnya pemerintah daerah Ponorogo memberikan anggaran sebesar 200
juta pada tahun 2018. “Dana 100 juta digunakan untuk membuat talut-talut, dan
yang 100 juta disimpan dibuat keadaan nanti kalau musim hujan.”
Masyarakat
selaku pengguna langsung infrastruktur yang
diberikan oleh pemerintah menanggapi hal berbeda. Suyadi salah satu warga
Jurang Sempu mengeluhkan pemerintah masih kurang peduli terhadap infrastruktur
jalan. Bahkan datang langsung ke lokasi Jurang Sempu ini hanya sekali. Ketika
musim hujan pemerintah setempat beralasan tidak bisa menghadiri acara yang
diadakan Jurang Sempu dengan alasan jalannya
jeblok. Tetapi pada musim kemarau juga tak pernah hadir dengan alasan ada acara. “Setiap
ada undangan acara pengajian, kepala desa saja tidak pernah datang, alasannya ya
ada saja, pernah datang itu hanya sekali.”
Tahun
ini dusun Jurang Sempu telah melaksanakan pilkada sebagai wujud demokrasi. Syahroni
selaku kepala desa yang terpilih (31/07/2018) mengkampanyekan
untuk perbaikan infrastruktur jalan. Hal
itu mendapat tanggapan dari Suyadi, salah satu masyarakat dusun Jurang Sempu
mengharapkan hal itu tidak hanya janji saja. Semoga setelah dilantik segera
merealisasikan janjinya. “Ya semoga saja insfrastrukturnya segara di bangun,
sesuai janji kampanyenya,” tegasnya. (Yulia,Umar/crew/depth/PJTD/pendidikan)
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.