'Suara' dari Pelosok Ponorogo Demi Sekolah
Apakah semangatmu masih
tetap berkobar kala terjal menantang?
Aku
mengunjungi seorang anak inspiratif 2bulan yang lalu, Rina dan Juremi.
Mereka tinggal di desa yang terletak di pegunungan perbatasan antara
Ponorogo-Pacitan, tepatnya di RT 04, dusun Jurang Sempu desa Dayakan kecamatan
Badegan Kabupaten Ponorogo, yang memiliki semangat baja, tak pantang menyerah
dan selalu ingin belajar.
Untuk
menuju rumahnya kutempuh dengan motor bersama satu temanku, dalam perjalanan,
doa-doa terus menggema agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semoga
selamat hingga tujuan. Banyak kekhawatiran yang muncul, karena beberapa
teman-teman yang melewati jalan tersebut, saat pulang membawa luka, ada yang
jatuh saat berkendara, ada yang kepleset karena terjal jalanan ataupun liku
belokan yang curam. Meski begitu, tidak bagi anak ini, mereka setiap hari
menempuh perjalanan menuju sekolah dengan berjalan kaki dari rumah dengan jarak
5-6 km, medannya tak biasa, sangat mengerikan. tetapi apapun akan dilakukan
demi berjuang meraih pendidikan.
Dalam keseharianya, Rina Anak perempuan
berambut panjang yang kini duduk dikelas 5 SD memulai hari sejak pagi-pagi buta, bangun pada pukul
04.00, suasana pagi dirumah Rina sangatlah dingin mencengkam, dipastikan air
terasa seperti es yang membuat gigil
dan ngilu membuncam, saat orang-orang merasa malas atau mager (malas
gerak), Rina
bergegas dengan sigap bangun dari mimpi indahnya untuk
mempersiapkan dunia nyata yang selalu dinantinya, belajar di sekolah. Tak sendiri, bersama Juremi seorang
adik laki-lakinya yang kini duduk dikelas 3 SD, melakukan rutinitas yang sama.
Mereka berdua berangkat bersama-sama. Biasanya, di jalan keduanya bertemu dengan teman
yang lain, mereka Intan dan Edo. Berjalan melewati setapak berempat, kemudian berpisah
dipersimpangan jalan antara RT 04 dan RT 02. Juremi dan Edo berangkat menuju Sekolah Paralel Jurang
Sempu, Rina dan Intan ke SDN 1 Dayakan. Jaraknya memang lebih jauh dari kelas paralel, sekitar 4-5km, dengan jalan
berliku-liku naik turun, yang menakutkan.
Sekolahnya
memang terpisah, sebelumnya Rina juga berada di kelas Paralel yang letaknya
lebih dekat dari rumah sekitar 3 kilometer. Namun, kelas paralel hanya untuk
kelas 1-3, setelahnya ia melanjutkan di SDN 1 Dayakan. mereka sejak kecil telah
terbiasa melewati terjal jalanan setiap hari, saat anak-anak lain diluar sana
lebih memilih untuk diantar-jemput orang tuanya. Mereka mampu berjalan sendiri
dengan berani, tak pernah takut melangkah melewati segala terjal yang
menghadang.
Aku
menemui mereka dijalan, ketika pulang dari sekolah. Mereka berjalan beriringan,
aku menghentikan motor dan menghampirinya. Tak lama berbincang, Rina kemudian
mengajakku ke rumahnya. Motor kutitipkan di sebuah toko, sebab jalan untuk
menuju rumahnya tidak bisa dilalui dengan kendaraan. Dalam perjalanan adik
Rina, juremi lari dengan sangat cepat, “Biasannya
kalau berangkat sekolah kita berempat lomba cepat-cepatan sampai rumah, juremi
selalu menang, karena anaknya kecil. Jadi enteng, aku dan Intan kan santai saja
kalau Edo gendut”Kata Rina. Gelak tawa dan candaan mengiringi perjalananya.
Edo sampai rumah terlebih dahulu, lalu Intan yang rumahnya terletak
dibelakang rumah Rina dan Juremi,
jalannya sangat sempit dan curam, tetapi
mereka sama sekali tak terlihat lelah.
Rina,
memilihkan jalan yang lebih mudah untukku dan temanku, tapi tetap saja,
menurutku jalannya masih menakutkan, banyaknya bebatuan dan carang membuatku
berjalan pelan-pelan. Mereka tetap menunggu dengan sabar. Sesampainya dirumah,
mereka membuka pintu dan mengucapkan salam dengan lantang, Ibunya menyambutnya
dengan senyum, pancaran matanya menggambarkan kebahagiaan dan kebanggan pada
kedua anaknya, ibunya juga menyambutku dengan ramah. Lalu sedikit bercerita
padaku “Selama ini mereka berangkat sekolah tidak
pernah diantar, karena saya juga tidak bisa naik motor, jangankan naik motor,
motor saja saya tak punya. Rina berangkat dengan adiknya jadi saya tidak
khawatir. pagi-pagi sudah bangun, berangkat jam 6 pagi, kalau Juremi sampai di
sekolah sekitar jam setengah 7, kalau Rina mungkin jam setengah 7 lebih”
begitu kata Bu Sunar, ibu dari Rina dan Juremi.
Biasanya, untuk pulang sekolah, Juremi berjalan kembali
naik keatas menuju rumah bersama Edo, Rina dan Intan, pulang dari sekolah
menggunakan transportasi yang telah disediakan oleh sekolahan untuk murid yang
bertempat tinggal di desa Jurang Sempu, karna jaraknya yang lumayan jauh, untuk
menggunakan fasilitas ini, setiap anak dikenakan biaya Rp.1000 sekali naik,
transportasi ini hanya mengantar sampai pada pertigaan, kemudian mereka
melanjutkan dengan jalan kaki menuju rumahya yang masih harus naik lagi dengan
jarak 2km. Jarak 2km bagi jalanan pegunungan bukanlah jarak yang dekat. Dan
sayangnya transportasi ini hanya mengantar saat pulang sekolah, jadi ketika
berangkat mereka tetap harus menempuh penuh dengan berjalan kaki melewati
belantara jalanan yang sepi.
Setelah sampai di rumah masing-masing, mereka makan dan istirahat sebentar. Kemudian pada pukul 2 siang mereka
melanjutkan belajar agama di TPQ yang terletak di RT 05, untuk menuju tempat
menimba ilmu itu, mereka harus berjalan naik lagi, jaraknya lumayan jauh, akan
tetapi mereka tak pernah mau melewatkan ini, karena TPQ dilaksanakan hanya pada
hari Jum’at, Sabtu dan Minggu.“Aku harus tetap belajar, kalau ndak belajar nanti nggak
pintar” begitu kata Juremi. Ia menjelaskan bahwa ia sangat senang belajar dan tak
pernah ingin tidak masuk sekolah, baginya sekolah itu penting, meski dalam keadaan
apapun dia akan berangkat sekolah. Rina juga berkata bahwa ketika hujanpun
mereka tetap harus berangkat “Kalau hujan
ya tinggal pakai jas hujan” kata Rina begitu mantap.
Ketika mereka ditanya, apa cita-citanya, Juremi mengatakan
“Cita-citaku jadi tentara, biar bisa
melindungi orang tua, dan orang-orang didesa”, disisi lain Rina juga
menjelaskan “Cita-citaku ingin kuliah,
biar bisa terus belajar sampai tinggi, membanggakan mamak dan bapak. Pokoknya
aku nggak mau bikin kecewa”. Sebuah hal sederhana yang sangat berpengaruh
besar untuk tetap mempertahankan keinginannya meraih cita-cita yang mulia.
Sang
ibu juga selalu mendukung pendidikan kedua anaknya, meski harus
tertatih-tatih dengan bekerja menjadi buruh tani. Terkadang juga bekerja di Wonogiri, ikut memburuh bersama rombongan bercocok tanam, bermalam
15 hari sampai 20 hari. Jika ibunya meninggalkan kedua anaknya, urusan rumah digantikan oleh bapaknynya. Bu Sunar
berharap banyak dengan keberhasilan anaknya “Saya ingin anak-anak saya bisa
terus belajar, supaya pintar, kalau sudah pintar bisa mencari
uang dan membantu orangtuanya”.
Ketika
aku dan temanku berpamitan untuk pulang, Rina mengajak Intan mengantarkanku
turun kebawah. Sebenarnya aku sudah melarangnya, karena menurutku terlalu jauh,
takut bila mereka capek, tapi dia tetap saja mengikutiku dengan riang dan penuh
kegembiraan.
Mengetahui
tentang mereka membuatku menyimpulkan arti bahagia yang baru, senyum kepolosan
dan keceriaan membawa suasana kebahagiaan. Tak terhalang letak geografis ataupun keadaan ekonomi, Rina,
Juremi dan teman-temannya ini tetap memiliki jiwa militan untuk terus
semangat meraih pendidikan.
Sulitnya akses jalan, tak pernah sedikitpun menjadi penghalang. mereka berangkat
dengan senyuman, tanpa rasa kecewa dengan keadaan, atau latar belakang lain
sehingga membuatnya
berbalik arah, mereka belajar dengan baik dan tenang.
Semangat
selalu ada untuk siapa saja yang ingin memperjuangkannya. Apapun yang terjadi
bukan menjadi alasan untuk berhenti atau menyerah kepada keadaan, aku banyak
belajar dari mereka, tentang arti sebuah mempertahankan, dan hidup bukan soal
keterbatasan, tetapi soal bagaimana memperjuangkan.(Fanisa.crew/features/PJTD/pendidikan)
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.