Mayapada Protesis Kelopak 3 “Rendevous”
www.devianart.com |
Karya
Chandra Nirwana
Dalam renungan aku
menggapai ketiadaan
Melalui jalan setapak
dari sebuah hidup yang menikam
Menyebut namamu,
bersama nafas yang terpenggal angin
Aku merengkuhmu, demi
keabadian yang fana
Kematian ini bersekutu,
maut menyapa hari
Aku tak mau terpasung,
dalam kehampaan yang mencekam
Biarkan aku lepas,
menembus kesadaran
Biarkan aku bebas,
menggapai kemortalan yang membantai
Biarkan aku hilang,
terbalikkan dunia yang perlahan menyentuh kehancuran
***
Mataku separuh terkuak. Kantuk masih
bergelayut, memberati bola mataku. Cahaya keemasan matahari menyambutku seperti
biasa, mencuri celah dari dinding-dinding lapuk. Ini akan jadi ritual biasa.
Ketika matahari separuh menampakkan diri, peri-peri penjaga rawa akan bernyanyi
sambil menari. Rambutnya tergerai indah tatkala ia menari, menyambutku bangun
dari tidur malam. Tak peduli bahwa sebagian teratai adalah pengintai kecil,
yang akan mencuri dengar nyanyiaannya yang menggiringi awan.
Sinar matahari biasanya hangat. Tidak sepanas
yang mendera kulitku saat ini. Ketika aku terbangun, mataku spontan membelalak.
Keterkejutanku membuat jantungku berpacu dengan cepat dalam balut ketakutan.
Gubukku terbakar.
Api menari-nari riuh. Lidahnya menjilati
setiap perabotan. Ketel, gorden, dan lantai. Mengelilingiku dengan barikade
plasma yang menyengat. Sebagian sudah melalap habis sisi gubuk yang menjadi
akses jalan keluar.
“Apa yang terjadi?”aku merangkak,
menghindari jilatan api dan kubangan asap, meraih ke jendela sempit. Namun,
gerakku terhenti ketika langit-langit runtuh dan menimpa jalanku. Aku
berteriak. Ujung gaun tidurku terbakar.
“Papa! Mama!” mulutku memanggil parau.
Panas menyapa masuk. Asap sudah memenuhi ruangan, mengaburkan pandanganku. Masuk
secara sporadik ke dalam paru-paruku, membuat dadaku terasa sesak.
“Papa! Mama!”
Aku merangkak, menempel pada dinding.
Mataku menemukan celah. Segera kulihat suasana di luar rumah, mencari jawaban
dari pertanyaan yang menyumpal di benak.
Langit-langit pecah, berjatuhan dalam
wujud kobaran api. Mendentum bumi dengan pecahannya dan bergaung mengerikan.
Tanah bergetar dasyat. Pepohonan bergetar hebat. Tak memberi kesempatan
bertanya untukku.
Tidak ada orang-orang berlarian.
Semuanya lenyap bersama gubuk-gubuk yang hancur disulap menjadi tepung. Kobaran
api memenuhi tanah, berkobar angkuh dalam pusaran angin yang bertiup kasar.
Partikelnya berterbangan, menggantikan eksistensi kunang-kunang danau.
Langkahku terarah pada jalanan. Nyala
api menjadi penggiring. Menjamah apapun tanpa pilih kasih.
Hitam langit malam luntur oleh kepulan
konstan asap bara api. Warna merah membedaki, mencuri binar rembulan yang
berdiam di atas langit. Semuanya bercampur dalam satu konotasi negative.
Kuhimpun kekuatanku. Kuberlari menembus
api yang masih menjilat liar, mencari pintu dan keluar. Gubukku hangus. Runtuh
di depan mataku.
Hancur lebur. Tanpa sisa.
***
“Penolong Mayapada Protesis bukanlah
salah satu dari empat raja. Tak ada yang pantas menjadi pemimpin yang
sesungguhnya.” Ucap Klandestin.
“Lalu, siapa ratu adil sebenarnya kalau
bukan dari keturunan para raja?” sergah Kerub.
“Keturunan murni darah bangsawan sudah
lenyap, Kerub. Mereka sudah punah. Mereka yang berperang di sana bukanlah
pemimpin sejati yang diharapkan Mayapada Protesis.”
Kerub tersenyum sinis. Bibirnya
membentuk garis miring. “Kau pemegang rahasia. Apa kau sedang menghiburku
karena kau tahu umur negeri ini sudah tak lama lagi?”
Krisan yang tersisa di bejana Klandestin
melayu. Kehilangan nyawa yang seharusnya dikandung dalam kelopak segar.
“Tidak. Kau mengabaikan satu hal. Yang
kumaksud keturunan murni adalah mereka yang masih memiliki kebijakan di hati
mereka. Yang belum tersentuh noda keserakahan pada hati mereka,” kata
Klandestin. “Kau hanya menganggap hal tersebut dari kacamata eksistensi raga.
Kau memandang pewaris raja adalah mereka yang masih memiliki darah raja
terdahulu. Kau salah lagi, Kerub yang terhormat.”
Keduanya duduk di bubur tebing,
mengamati pemandangan suram dari negeri yang telah ditutupi abu sisa
pembakaran.
***
Aku berlari. Tak peduli langkahku
tersandung mayat-mayat yang bergelimpangan sepanjang jalan. Tak peduli rambut
kusutku ditempa angin, menari-nari dan lepas dari ikatannya. Gaun tidurku kotor
dengan limbah perang.
Mulutku masih meneriakkan panggilan,
yang tergemakan dalam ketakutan yang tak berujung. Hutan masih gelap.
Pohon-pohon ringkih menertawakan ketakutanku. Malam belum jua menampakkan
fajar.
Langkahku terhenti saat kulihat dari
kejauhan, banyak orang dibariskan dalam satu kelompok, diawasi oleh serdadu
berbaju zirah. Aku terdiam. Mematung seraya mengintip di balik ketiak pohon.
Mencari sosok Mama dan Papa.
Kobaran api besar. Membumbungkan asap
yang dilahirkan dari bangkai rumah. Fraktal api berhujanan, layaknya salju yang
kehilangan dinginnya, berubah menjadi panas yang membara.
Orang-orang berbaris. Diawasi oleh
mata-mata dingin yang mampu menepis siulan jantung. Pucuk-pucuk pedang terarah,
mencari gerakan anarki yang berpotensi menyulut pemberontakan. Tapi mereka sama
sekali tak bersenjata. Nihil akan upaya pembelaan diri. Penduduk desa.
Keluargaku. Mereka dibariskan dengan ketakutan yang tak bertepi. Sementara para
serdadu mengawasi mereka dalam tatapan bengis.
“Mama.” Bibirku berbisik, mendapati
seluet bayangan Mama. Dia terikat, digiring bersama penduduk desa. Tatapannya
lurus dan tegas. Meski kutemukan sarat ketakutan yang mencemari matanya yang
menetesi air mata.
“Mama.”
Mata kami bertemu. Sontak, mama terkejut
melihatku. Ia ingin bangkit, melepaskan diri untuk turun memelukku. Tapi
langkahnya terpiting, digantungi rantai besi yang tak terkira besarnya. Kulihat
dengan mata nanar, dia menggerakkan mulutnya, seperti meneriakkan sesuatu
padaku. Pergi dari sini, sayang. Selamatkan nyawamu.
Otakku hanya dipenuhi oleh naluri
seorang pembangkang. Diam terpaku di atas tanahku berpijak. Sontak suara-suara
di kepalaku lenyap tak tersisa, saat sebuah pedang teracung ke udara, menebas
leher Mama dan menyipratkan darah di tanah berkarat.
“MAMA!!!”
Tubuh yang kehangatan aku dapat darinya,
tak bisa mengelak pedang yang mecumbu tubuh. Menciptakan rongga mengaga yang
mengalirkan anyir bau darah. Namaku tersebut dalam nafas terakhirnya meski
suaranya harus hanyut dalam pedang yang beradu.
Aku Ingin ke sana. Merengkuh badan mama
sebelum tubuhnya limbung di atas tanah dan kubangan darah. Kakiku bersiap
mengambil langkah. Mendekati jarak yang akan menemukanku pada kematian.
Tapi mulutku dibungkam sebelum aku
meneriakkan nama Mama. Begitu erat. Sampai suara tangisku hanya cericit kecil
yang gagal mengusik perhatian. Aku meronta dalam ketakutan. Hanya takut yang
menguasai benakku.
Langkahku dipaksa menjauh.
Seorang—bukan, dua orang, dengan tegas menyeretku untuk menjamah kegelapan
lebih dalam lagi. Aku tak diizinkan berteriak, apalagi mencuri langkah. Aku disandarkan pada pohon. Salah seorang dari
mereka, perempuan, menatap mataku lekat-lekat. Matanya lurus menatap lingkar
mataku.
“Jika kubilang jangan berteriak, maukah
kau melakukannya?” katanya setengah berbisik. Wajahnya yang dibingkai tudung
lebar mengirimkan energi testral yang membuatku berhenti memberontak.
Aku mengangguk.
“Kla, kau awasi keadaan.” Perintahnya ke
seorang laki-laki di sampingnya. “Kau aman denganku. Tapi jika kau gegabah
sekali saja, kau akan mati. Paham?”
Tenggorokanku tercekat. Kepala
menjawabnya dengan anggukan ragu. Jantungku bergerak cepat, dalam tempo adagio
yang meremas dada. Isi kepalaku sibuk menaksir. Kawan. Ataukah musuh dia.
“Hanya gadis ini yang berhasil kita
selamatkan. Penduduk desa yang lain tak beruntung malam ini, Mala.”
Mataku membulat. Satu kata lolos dari
bibirku. “Mama.”
“Diamlah, anak kecil. Mamamu ingin kau
selamat. Kalau kau lari ke sana dan mati, tentu saja mamamu kecewa. Apa kau
ingin hal itu terjadi?”
“Pasukan kerajaan Utara bergerak sangat
cepat. Merekalah yang merenggut Mamamu dan teman-temanmu. Siapapun yang berani
menumpahkan darah di Bahamus Ave harus dihukum. Hanya kamu dan kita yang berhak
menghukum mereka.”
Kla mendekat. Menjajari tatapanku.
“Jawab pertanyaanku. Siapa yang pantas
dihukum?”
“Mereka… yang berani menumpahkan darah
di Bahamus Ave.”
Kla menyambung. “Lalu, siapa yang akan
menghukum mereka?”
“Kita. Kita yang akan menghukum mereka.”
Mereka serentak berdiri. Sarung pedang
kembali melahap bilah besi. Kla melepaskan mantel hijaunya yang hangat dan
menyampirkannya pada pundakku. “Kuatkan dirimu. Kita akan melalui perjalanan
panjang. Untuk merubah takdir kita sendiri.”
Gadis berzirah itu menjajari tatapanku.
Tajam matanya membilah ketakutanku yang masih meremas jantung. Ada purnama
dalam jernih matanya yang terluka. “Aku Mala Pembayun. Dia Kla Lazuardi. Lalu,
kau? Siapa namamu, nak?”
“Namaku… namaku Seroja Bhanurasmi.”
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.