PERSMA Tegaskan Sikap, HPN Konstruksi Narasi Orba
www.lpmalmillah.com--Perayaan Hari Pers Nasional 2019 yang dipusatkan di Surabaya, Sabtu
(09/02/2019) kemarin menimbulkan beragam perayaan yang problematis. Pro-kontra
HPN sudah menjadi persoalan yang tak kunjung menemukan solusi. Bukan hal yang baru
apabila konstruksi narasi orde baru tersebut mendapat kecaman dan aksi penolakan
terbuka dari kalangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Salah satu kritik
terhadap HPN digelar oleh AJI Surabaya. Mereka telah menggelar aksi damai di depan
Kebun Binatang Suarabaya.
Seperti dikutip dari tribun-bali.com, ketua AJI Surabaya Mifta
Farid mengatakan, AJI mengkritik keras terhadap perayaan HPN tersebut. Menurutnya
acara HPN kemarin itu sama sekali tidak menyinggung pembahasan pembunuhan para jurnalis
yang terjadi di Indonesia termasuk kasus
pembunuhan AA Gede Bagus Prabangsa. Meskipun pada HPN Sabtu kemarin,
Presiden Jokowi telah resmi mencabut remisi terhadap Susrama, yang telah
membunuh Prabangsa dengan sangat keji.
Selain AJI yang menolak ditetapkannya HPN karena dinilai memihak salah
satu, Keputusan Presiden No. 5 tahun 1985 tersebut ternyata juga mendapat penolakan
keras dari pers mahasiswa yang terhimpun dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
(PPMI). Koordinator Wilayah 2 Theo Adtya mengatakan Hari Pers Nasional adalah narasi
hasil bentukan rezim Orde Baru. Telah kita tahu bersama bagaimana kondisi pers
ketika rezim orba berdiri, pembredelan media terjadi dimana-mana,
kriminalisasi, dan media-media hanya boleh menjadi tangan kanan rezim berkuasa.
“Kita memandang HPN adalah narasi orba. Ada kontra narasi disana, karena
banyak kriminalisasi wartawan,” terangnya kepada LPM aL-Millah ketika usai
acara Jagongan PPMI Wilayah II di kota Malang, Minggu (10/02/2019).
Selain itu, HPN merupakan hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia,
salah satu organisasi wartawan yang menaungi wartawan-wartawan di Indonesia. Theo
menilai PWI adalah humas dari pemerintah, “PWI itu underbow dari rezim orde baru,
kepanjang tanganan orba.”
Korwil Wilayah II tersebut juga mengungkapkan bahwa persma posisinya
adalah menolak HPN, karena memang paradigma persma adalah membangun kontra
narasi dari narasai-narasi yang tampak seperti fenomena yang diproduksi dari suatu kepentingan.
Ia menegaskan pembentukan HPN itu pun tidak lepas dari kepentingan
pemerintahan, bukan sebagai kontrol sosial. “Dengan tegas kami menolak HPN,”
jelasnya.
Sekjend PPMI Surabaya Qulub, kepada crew LPM aL-Millah, mengatakan
persma Surabaya belum satu suara mengenai sikap terhadap HPN. Pasalnya, ada beberapa
LPM yang memperingati HPN. Apalagi tahun ini HPN dipusatkan di Surabaya. Menurutnya
godaannya adalah banyak LPM di Surabaya yang mendapat undangan HPN di Exhibition
Hall Grand City Surabaya. “Karena perbedaan persepsi, maka secara
kesepakatan kita belum, namun secara umum dan secara kelembagaan kita menolak
HPN,” tegasnya Minggu (10/02/2019).
Senada dengan kedua narasumber di atas, crew juga melakukan
wawancara eksklusif dengan Sekjend PPMI Dewan Kota Malang Ugik Endarto yang
menerangkan persma sendiri tidak punya sikap untuk menolak peringatan Hari Pers
Nasional. Sebelumnya dari PPMI DK Malang, menurut Ugik, sudah mengkaji dengan beberapa
akademisi kota Malang terkait HPN itu harus diperingati atau tidak. “Berbagai
kajian sudah dilakukan namun kita tidak menemukan solusi,” ungkap Ugik
ketika crew temui usai acara Kelas Advokasi (Minggu, 10/02/2019) yang
menjadi salah satu agenda acara Jagongan Wilayah II.
Menurutnya PPMI kota Malang sepakat menolak. Karena HPN itu dalam sejarahnya
ditetapkan bertepatan dengan hari lahirnya. Tapi untuksikap secara resmi kita
tidakmenolak hpn. Karena dari LPM-LPM di Malang untuk memandang HPN berbeda-beda.
Lanjutnya, dinamika sekarang itu banyak kontroversi. Sikap persma banyak yang
tidak melakukan kajian. Masih berdasarkan
keterangan Ugik, Jokowi dan Dewan Pers pun juga sudah mengkaji apakah HPN ini mau
diganti atau tidak. Namun banyak dari teman-teman persma tidak mengetahui. Jadi
banyak persma yang ahistoris dan hanya ikut-ikutan.
“HPN itu bertepatan dengan hari pentingnya PWI jadi kesannya memihak salah
satu. Enggak menyeluruh, seharusnya ditetapkan
sesuai dengan UU PERS. Kebebasan masa orba kan belum ada,” tegas mahasiswa yang kerap disapa Ugik
tersebut.
Begitulah kacamata persma dalam melihat HPN. Selain bentukan orba dan
PWI, HPN juga sarat akan kepentingan pemerintah seperti penggunaan uang negara,
acara yang berlangsung mewah dan adanya indikasi politisasi media. Maka apakah sesuai
produk rezim orba yang penuh tindakan kriminalisasi terhadap pers tersebut harus
tetap berlanjut dan diperingati? Kembali kepada personal masing-masing dan yang
pasti tidak menunjukkan sikap ahistoris atau sekedar ikut-ikutan. (Arini,
Eka, Umar)
Foto: Dokumentasi PPMI
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.