Dialog Publik FuArt Fest Kupas Tuntas RUU P-KS
Dari kanan: Arif Budiman, Lucky Endrawati, Sri Nurherwati |
Oleh
Redaksi
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS)
akhir-akhir ini hangat diperbincangan di berbagai elemen masyarakat. Kalangan
akademisi Ponorogo turut andil dalam forum-forum diskusi. Sebelumnya, UNIDA dan
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) IAIN Ponorogo telah mengadakan
diskusi terbuka mengenai RUU P-KS. Rabu (20/3/19), Dewan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah (DEMA FUAD) bersama komunitas Omah Shoro menggelar
Dialog Publik RUU P-KS (Korelasi, Fungsi, dan Dampak). Agenda ini masih masuk dalam
rentetan Bazar Intelektual FuArt Festival.
Tak tanggung-tanggung, panitia menggaet Lucky Endrawati (Penyusun
Draf Akademik RUU P-KS), Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan), dan Arif
Budiman (Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Ponorogo) sebagai pemateri. Dialog ini berhasil
mengupas tuntas RUU P-KS dengan apik dan sumber yang terpercaya.
Hal itu dibenarkan oleh Ketua DEMA FUAD, Aruni Hayya. “Mari kita
sama-sama bersyukur, di depan kita saat ini sudah ada pemateri yang akan
membuka mata kita. Semoga kita sama-sama sadar, ternyata banyak tugas-tugas
yang terlupakan,
katanya saat sambutan.
RUU P-KS, menurut Arif Budiman sebenarnya baik. Namun ada beberapa
poin yang menurutnya bisa dikritisi sebelum pengesahannya. Ia menyangsikan,
apabila RUU ini diterapkan akan melegalkan zina, dengan alasan bahwa yang
dijerat oleh RUU hanya hubungan seksual yang tanpa persetujuan, tapi mengindahkan
apakah hubungan itu dalam pernikahan atau tidak.
Oleh karena itu, ia menilai RUU ini sarat akan liberalisme.
Menurutnya, tak satupun agama membolehkan perbuatan zina. Ia juga khawatir RUU
ini bisa digunakan untuk menjerat pemuka agama yang berdakwah untuk menjauhi
zina. Kelemahan
mendasar dari RUU P-KS ini adalah definisi kekerasan seksual. Sebaiknya diubah
saja kalimatnya menjadi kejahatan seksual, sehingga lebih luas, tutupnya.
Sebagai yang turut mendampingi penyusunan draf akademik RUU P-KS,
Lucky Endrawati angkat bicara. Menurutnya, selama penyusunan draf tidak ada
sama sekali yang melanggar norma-norma. Bahkan asas-asas hukum seluruhnya
terpenuhi dengan tambahan mengutamakan
kepentingan korban
sebagai ciri khas RUU ini.
Ia menyampaikan, urgensi penyusunan RUU P-KS dengan 3 landasan,
yakni filosofis, yuridis, dan sosiologis. Adapun filosofis yakni pernyataan
Presiden bahwa kekerasan seksual sudah masuk menjadi extraordinary crime.
Sementara landasan yuridis menurutnya, adalah KUHP yang tidak cukup mengatur
isu-isu terkini. Maka diharapkan RUU P-KS bisa menjadi kompatibel, sehingga
tidak perlu membuka berbagai Undang-Undang untuk menjerat pelaku.
Sedangkan landasan sosiologisnya berdasarkan dukungan dari Komnas
Perempuan. Selain itu, fakta bahwa ketika ada korban kekerasan seksual dari
perempuan lebih dapat hukuman sosial dari masyarakat. Ia menyontohkan
pembuangan bayi yang dikandung korban perkosaan akan dinilai masyarakat bahwa
hal itu menjadi salah perempuan. Ini namanya, sudah jatuh tertimpa beton. Sudah dapat kekerasan
seksual, dikucilkan pula dari masyarakat, ujar dosen hukum
Universitas Brawijaya ini.
Sependapat dengan itu, Nur Herwanti menilai korban dari kalangan perempuan merasakan dampak yang lebih berat ketimbang laki-laki. Ia menganalogikan, apa yang dirasakan laki-laki pasti juga dirasakan perempuan, namun tidak sebaliknya. Jika terjadi perkosaan, perempuan bisa hamil sedangkan laki-laki tidak. Dampak psikologis sangat dirasakan mulai dari hamil, mengandung hingga melahirkan. Sedangkan, penanganannya dalam masyarakat cenderung tidak efektif. Maka menurutnya, kepentingan perempuan memang berbeda. Tapi apabila terpenuhi, ia tidak mengabaikan korban yang datang dari laki-laki.
Sependapat dengan itu, Nur Herwanti menilai korban dari kalangan perempuan merasakan dampak yang lebih berat ketimbang laki-laki. Ia menganalogikan, apa yang dirasakan laki-laki pasti juga dirasakan perempuan, namun tidak sebaliknya. Jika terjadi perkosaan, perempuan bisa hamil sedangkan laki-laki tidak. Dampak psikologis sangat dirasakan mulai dari hamil, mengandung hingga melahirkan. Sedangkan, penanganannya dalam masyarakat cenderung tidak efektif. Maka menurutnya, kepentingan perempuan memang berbeda. Tapi apabila terpenuhi, ia tidak mengabaikan korban yang datang dari laki-laki.
Perempuan yang tinggal di Bogor ini juga menceritakan beberapa
kasus dimana pelaku kekerasan seksual bukannya dihukum malah menuntut
korbannya. Menurutnya, peraturan yang ada hanya menghukum pelaku tanpa
menimbulkan efek jera. Seringkali juga saat korban mengadu ke kepolisian ia
dipersulit dengan menunjukkan bukti, juga tidak diberi kesempatan. Dalam kasus kekerasan seksual, hanya 10 persen yang bisa masuk
persidangan, sisanya hanya diselesaikan dengan dialog, kata Nur.
Ia melanjutkan, RUU ini mencoba menjawab permasalahan semacam itu.
Agar korban tahu kemana ia harus pergi dan mengadu. Mengantisipasi perkosaan
yang sulit dibuktikan, RUU ini mengatur agar korban datang ke psikolog terlebih
dahulu untuk membuat laporan. Dengan demikian, tidak akan ada penolakan aduan dan
bisa dilakukan restitusi.
Imajinasi seksual yang biasanya disampaikan oleh pelaku pada korban juga bisa dijerat pidana. Korban seringkali tertekan dengan kekuasaan pelaku yang lebih tinggi, baik dalam relasi ataupun pekerjaan. Kalau dibilang RUU P-KS ini pro zina, salah, justru RUU ini mencegah zina sejak dalam pikiran, kata Nur.
Imajinasi seksual yang biasanya disampaikan oleh pelaku pada korban juga bisa dijerat pidana. Korban seringkali tertekan dengan kekuasaan pelaku yang lebih tinggi, baik dalam relasi ataupun pekerjaan. Kalau dibilang RUU P-KS ini pro zina, salah, justru RUU ini mencegah zina sejak dalam pikiran, kata Nur.
Nur berpendapat, RUU P-KS ini spesial. Mengatur pencegahan dengan
menggencarkan edukasi di berbagai elemen, menghukum mucikari dalam prostitusi,
perbudakan dan eksploitasi seksual, penyiksaan, hingga pemantauan. Ia juga
berkisah bahwa penyusunan draf akademis RUU ini sudah berjalan mulai 2001-2010.
Lalu berulangkali diajukan ke DPR namun masih tidak diprioritaskan. Baru pada
tahun 2016 saat banyak kasus kekerasan seksual Komnas Perempuan dipanggil
kembali untuk mempercepat pembahasannya di DPR. Lalu Mei depan setelah Pilpres
akan didiskusikan kembali, dan diharapkan Oktober tahun ini sudah bisa
disahkan. Maka
satu pesan saya untuk RUU ini, silahkan beri masukan, katanya.
Ketika ditanya mengenai potensi penyalahgunaan UU ketika sudah
disahkan, Lucky menjawab perlunya memisahkan teks dan konteks. Pun dalam RUU
ini terdapat poin pemantauan yang mengawasi agar tidak disalahgunakan. RUU ini hanya khusus diterapkan pada korban kekerasan seksual, katanya.
Terlepas dari pro-kontra yang ada, Ahmad Munir selaku Dekan FUAD
menganggap ini sebagai bagian dari proses. Justru pro-kontra ini membuktikan bahwa RUU P-KS mendapat perhatian, katanya.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.