Laki-laki yang Merawat Kehilangan
wokeeh.com Cerpen oleh Airyn |
Tidak
seorang pun di dapur pagi ini, meskipun pagi telah mengirim mentari. Ia harus
menyalakan tungku dan menanak nasi. Meski ia tidak lapar, ia harus memastikan
istrinya makan dengan teratur. Ia tidak pandai memasak, lagi pula bahan makanan
di pasar kian mahal harganya. Tentu ia harus membayar asap dapur, membayar
tagihan listrik, dan membeli keperluan rumah tangga. Yang berbeda kali ini
hanyalah tak perlu lagi khawatir kedatangan tagihan SPP.
Setelah
mengenakan pakaiannya yang lusuh sebab terbakar matahari, ia pamit pada
istrinya. Dilihatnya perempuan itu tengah duduk di samping jendela. Menatap langit
yang masih biru, awan yang masih putih, dan pohon-pohon yang semakin gugur. Mungkin
pohon-pohon itu kelelahan melawan terik matahari, tak bisa bertopang pada tanah
yang tak lagi ranum. Air sungai berubah keruh, kesulitan menjaga napas ikan di
dalamnya. Tetapi kemana lagi ikan-ikan itu harus berpindah rumah.
“Aku
berangkat ke sawah” Ucapnya pada sang istri yang hanya dibalas dengan keacuhan.
Sama
sekali tak menatap ke arahnya, senyum perempuan itu mekar pada langit di atas
sana. Tak apa jika istrinya tak mau tersenyum lagi padanya dan memilih sibuk
dengan alam semesta. Ia bisa melihat senyum istrinya dalam ingatan. Ia
menyimpan semua kenangan dengan rapi dalam ruang kepalanya.
Tanpa
beralaskan sandal, dengan kaki telanjang ia pergi menyusuri jalan penuh debu.
Sembari menyusun langkah, ia melihat orang-orang bekerja. Warung makan dibuka
pintunya oleh para pelanggan, petani mengunjungi sawah dengan bekal cangkul dan
sebungkus rokok, pedagang membeli barang-barang yang bisa dijual kembali.
Orang-orang itu tampak baik-baik saja. Bercakap-cakap saat bertemu, tersenyum
tiap kali bertukar sapa. Mereka tampak baik-baik saja.
Ia berjalan pelan dalam guyuran sinar matahari yang kian terik. Terdengar sisa tawa orang-orang di warung kopi.
Ia berjalan pelan dalam guyuran sinar matahari yang kian terik. Terdengar sisa tawa orang-orang di warung kopi.
“Sudah ku bilang, Real Madrid pasti kalah
melawan Manchester United” Kata salah seorang di antara mereka sebelum
menyeruput kopi hitam di meja kayu.
Ia masih mendengarkan suara-suara di
belakangnya, meski langkah kakinya hampir sampai di kejauhan. Di depannya,
sebuah gedung sekolah menjulang tak terlalu tinggi. Bangunan itu hanya terdiri
dari 1 lantai, tidak bertingkat. Dinding sekolah bercat putih dan berhalaman
tanah mentah. Bel tanda istirahat berbunyi tiga kali dengan lantang, seketika anak-anak
berhamburan keluar kelas. Seolah menyuarakan kemenangan, mereka meyerbu kantin untuk
makan snack yang kebanyakan bertabur MSG dan gula buatan. Yang lainnya
mengambil bola plastik dari gudang dan membuang keringat di lapangan.
Setelah selesai melihat tawa anak-anak di
sekolah, ia beralih ke belakang gedung sekolah. Menuju tempat dimana mimpi
buruk dimulai. Lubang bekas tambang batu bara itu menganga lebar. Ceruknya yang
dalam terendam air dingin. Genangan itulah yang membawa anaknya menuju kematian.
Dari jauh, ia bisa melihat beberapa anak berkumpul dekat lubang. Ia tahu, cepat
atau lambat, anak-anak itu pasti menceburkan dirinya kesana, tanpa tahu
malaikat maut sedang menunggu di kedalaman.
Melihat seorang laki-laki mendekati mereka,
anak-anak berdiam diri. Menahan ketakutan akan dimarahi olehnya. Tetapi dalam
hati, mereka menggerutu. Orang tua selalu saja membatasi kebebasan dan
kesenangan. Lihat saja, air lubang itu tampak amat menyegarkan, siapa yang bisa
menolak berenang disana. Menyenangkan sekali. Orang tua selalu saja
mengkhawatirkan banyak hal.
Ia berjalan cepat menuju anak-anak yang menampakkan wajah tegang. Mereka tidak boleh mati. Hidup mereka masih sangat panjang, mereka harus pergi ke sekolah, masuk kerja, dan menikah suatu saat nanti. Mereka juga memiliki orang tua yang amat menyayangi semenjak dilahirkan hingga sebesar ini. Orang tua mereka tidak boleh menangis sepanjang malam mengenang kematian anak mereka. Tidak boleh.
“Anak-anak, kembalilah ke sekolah” Ucapnya pada anak-anak itu.
Ia berjalan cepat menuju anak-anak yang menampakkan wajah tegang. Mereka tidak boleh mati. Hidup mereka masih sangat panjang, mereka harus pergi ke sekolah, masuk kerja, dan menikah suatu saat nanti. Mereka juga memiliki orang tua yang amat menyayangi semenjak dilahirkan hingga sebesar ini. Orang tua mereka tidak boleh menangis sepanjang malam mengenang kematian anak mereka. Tidak boleh.
“Anak-anak, kembalilah ke sekolah” Ucapnya pada anak-anak itu.
Tanpa membantah sedikitpun, mereka menuruti
perkataan orang di depan mereka. Setelah berjalan cukup jauh, mereka
berbisik-bisik.
“Nanti pulang sekolah kita kesana lagi” Usul
anak berambut ikal.
“Kita harus memastikan dulu, tidak ada orang di
sekitar sana” Sahut yang lain.
“Benar, sekarang kita beli es saja. Panas
sekali, aku haus”
Dilihatnya anak-anak itu menghilang di balik
gedung sekolah. Ia pun melanjutkan perjalanannya menuju sawah. Angin mengalir
bersama panasnya udara siang itu, mendekati tengah hari. Tak ada lagi capung
yang berterbangan menemani langkahnya. Sawah itu kini berselimut lumpur. Jari-jarinya
yang kasar sebagai petani disuruh bekerja lebih sering. Sebab lumpur, padi
semakin layu, tak segagah dulu. Ia mesti mencabut padi-padi yang hendak mati
sebelum panen tiba.
Air mata dan keringat yang kian deras ini bermula dari masuknya perusahaan batu bara di desanya. Bumi yang hijau permai, tenang dan damai, hendak diganggu dengan penggalian tanah juga gemuruh suara alat berat. Tak ada yang ingin kebahagiaan masyarakat desa dirusak oleh orang asing. Yang pertama kali dilakukannya bersama masyarakat adalah melawan. Dengan raga dan kata-kata.
Air mata dan keringat yang kian deras ini bermula dari masuknya perusahaan batu bara di desanya. Bumi yang hijau permai, tenang dan damai, hendak diganggu dengan penggalian tanah juga gemuruh suara alat berat. Tak ada yang ingin kebahagiaan masyarakat desa dirusak oleh orang asing. Yang pertama kali dilakukannya bersama masyarakat adalah melawan. Dengan raga dan kata-kata.
Perjuangan tak bertahan lama, pendatang itu
menghadiahinya dengan sepaket luka. Ia dimasukkan ke dalam bui dengan alasan
yang tak ia pahami. Tanpa ia mengerti bagaimana skenario drama hukum, ia harus
meninggalkan rumahnya selama 90 hari dan bernaung di balik jeruji besi. Begitu
ia bebas dari hukuman, kabar duka segera menyambut kepulangannya. Anaknya mati
tenggelam di lubang bekas tambang dan istrinya kehilangan kewarasan.
(Ternspirasi oleh film dokumener “Sexy Killers” karya
Dhandy Dwi Laksono)
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.