Sedia Transparansi Sebelum Komersialisasi
Ilustrasi oleh: Candra |
Pemberlakuan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
dimulai pada tahun 2013. Menurut Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 96 tahun 2013, UKT
adalah sebagian Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditanggung oleh setiap
mahasiswa pada setiap jurusan/program studi untuk program diploma dan program
sarjana. Sementara biaya yang sebagian lainnya dari BKT ditanggung pemerintah
melalui Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Agama Negeri (BOPTAN).
Sistem UKT bertujuan untuk
menerapkan pembiayaan yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa,
orang tua atau pihak lain yang membiayai mahasiswa tersebut. Dengan sistem UKT,
biaya kuliah bisa dijangkau oleh mahasiswa kurang mampu. Sistem UKT juga
melarang PTAIN untuk memungut
uang pangkal dan uang lain selain UKT.[1]
Penerapan UKT mengacu pada Surat Edaran Nomor:
Se/Dj.I/PP.009/54/2013 tentang Uang
Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Kemudian pada
tahun-tahun berikutnya mengacu pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor
124 Tahun 2015, Nomor
289 Tahun 2016, Nomor 157 Tahun 2017 dan Nomor 211 Tahun 2018, dan Nomor 151
Tahun 2019.
Perubahan terhadap isi KMA UKT
terjadi pada tahun 2016. Di mana pada tahun 2015 dalam diktum ke 3 UKT tertulis
UKT sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU terdiri dari 3 (tiga)
kelompok yang ditentukan berdasarkan kelompok kemampuan ekonomi masyarakat,
yaitu:
- UKT kelompok I diperuntukan bagi mahasiswa miskin di luar penerima beasiswa . pendidikan mahasiswa miskin dan berprestasi (Bidikmisi), dan paling sedikit diberikan sebanyak 5 (lima) persen dari jumlah mahasiswa yang diterima.
- UKT kelompok II diperuntukan bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi menengah.
- UKT kelompok III diperuntukan bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi.”[2]
Lalu pada tahun 2016 sampai sekarang diubah menjadi UKT sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU terdiri dari beberapa
kelompok yang ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua
mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”.[3]
Nah, perubahan ini perlu kita cermati lebih dalam karena mulai tahun 2016
jumlah kelompok UKT serta biaya UKT mengalami kenaikan.
Studi
Kasus di UIN Maliki Malang
Alasan kampus (ketika saya wawancara WR II UIN Malang) ketika
menambah kelompok UKT adalah supaya penentuan kelompok UKT lebih menyesuaikan
ekonomi mahasiswa. Sedangkan untuk kenaikan biaya UKT alasan kampus ya karena
memang kebutuhan setiap tahun bertambah, di kampus ada mahasiswa yang (secara
ekonomi) lebih mampu, maupun demi pembangunan kampus.
Studi kasus kenaikan UKT di UIN Maliki Malang membuktikan bahwa UKT
mengalami kenaikan mulai dari tahun
2014. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa
(UAPM) Inovasi melakukan riset jumlah biaya UKT dari tahun 2014 sampai tahun
2018 di UIN Maliki Malang. UAPM Inovasi memetakan kelompok rendah dan kelompok
tinggi dari jurusan-jurusan pada fakultas terkait. Dalam riset ini, data tidak
dipetakan dari setiap kelompok UKT karena jumlah kelompok UKT berbeda setiap
tahunnya. Tahun 2014 dan
2015 sampai Kelompok tiga. Tahun 2016 dan tahun 2017 sampai Kelompok lima.
Sementara tahun 2018 sampai Kelompok tujuh.
Kelompok rendah yang di maksud dalam riset data ini adalah kelompok
ke dua UKT di setiap tahun akademik. Kelompok dua dijadikan sebagai kelompok
rendah karena kelompok ke satu tidak mengalami kenaikan setiap tahunnya, yaitu
Rp400.000. Sementara kelompok tinggi yang dimaksud dalam
riset ini adalah kelompok UKT tertinggi di setiap tahun akademik.
Dari riset yang dilakukan UAPM Inovasi, kelompok rendah tiap
fakultas ada yang mengalami kenaikan dan ada yang mengalami penurunan.
Sedangkan kelompok tinggi selalu mengalami kenaikan. Dari tahun 2014 sampai
2018 kelompok rendah yang mengalami penurunan berasal dari Fakultas Humaniora,
Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan (FITK).
Fakultas Humaniora turun 41% (dari Rp1.350.000 ke Rp800.000). Fakultas
Ekonomi turun 43% (dari Rp1.350.000 ke Rp775.000) dan FITK turun 43% (dari Rp1.350.000
ke Rp775.000). Untuk kelompok tinggi, Fakultas Humaniora naik 158% (dari Rp2.187.500
ke Rp5.637.000). Fakultas Ekonomi naik 106% (dari Rp2.187.500 ke Rp4.511.000),
FITK naik 123%(dari Rp2.187.500 ke Rp4.878.000). Selengkapnya
cek artikel di uapminovasi.com Uang
Kuliah Tinggi yang Tidak Transparan.
Dari prosentase perubahan biaya UKT tahun 2014 sampai tahun 2018
ini, terlihat bahwa kebutuhan UIN Maliki Malang mengalami kenaikan. Walaupun
ada fakultas yang mengalami penurunan di kelompok rendah, itu pun hanya tiga
fakultas dan kelompok tingginya naik semua. Sedangkan semua fakultas selain ke
tiga Fakultas itu, mengalami kenaikan untuk kelompok rendah dan kelompok
tingginya.
Naiknya UKT dan biaya pengembangan kelembagaan dan pendidikan mahad
ini dikeluhkan oleh mahasiswa karena menurut mereka jumlah itu terlalu mahal.
Beberapa mahasiswa harus mencari pinjaman uang, bahkan ada yang tidak
melanjutkan kuliah karena mengetahui jumlah biayanya.
Karena naiknya biaya UKT dan
biaya pengembangan kelembagaan dan pendidikan mahad, jangka waktu yang mepet,
dan fasilitas yang didapat ada yang bermasalah, mahasiswa menjadi penasaran dan
ingin mengetahui alokasi anggaran biaya-biaya itu.[4]
Sedikit Pembacaan Kenaikan UKT di
IAIN Ponorogo
Kelompok
UKT/Tahun
|
2015
(Rp)
|
2016
(Rp)
|
2017
(Rp)
|
2018
(Rp)
|
2019
(Rp)
|
1
|
400.000
|
400.000
|
400.000
|
400.000
|
400.000
|
2
|
980.000
|
980.000
|
980.000
- 1.200.000
|
950.000
- 1.200.000
|
1.000.000
- 1.400.000
|
3
|
1.200.000
|
1.200.000
|
1.000.000
- 1.450.000
|
1.100.000
-
1. 450.000
|
1.000.000
- 1.600.000
|
4
|
-
|
-
|
1.200.000
- 1.700.000
|
1.200.000
- 1.700.000
|
1.200.000
- 1.800.000
|
5
|
-
|
-
|
-
|
1.400.000
- 1.900.000
|
1.400.000
- 2.100.000
|
Sumber: KMA
Nomor 124 Tahun 2015, Nomor
289 Tahun 2016, Nomor 157 Tahun 2017 dan Nomor 211 Tahun 2018, dan Nomor 151
Tahun 2019.
Kenaikan per golongan dari tahun
2015-2019:
UKT rendah Rp980.000 - Rp1.400.000 =
30%
UKT tinggi Rp1.200.000 - Rp2.100.000
= 43%
Jika
menelaah kenaikan biaya UKT di kampus-kampus lain, tentu besaran kenaikannya
berbeda-beda. Tapi satu hal yang jelas bahwa ketika biaya UKT naik tak pernah
ada penjelasan dan transparansi secara konkrit dari kampus, kenapa biaya UKT
naik?.
Pertanyaan-Pertanyaan
Dari kenaikan biaya UKT muncullah
beberapa pertanyaan. Bagaimana sistem pembentukan UKT? Bagaimana sistem
penentuan UKT pada mahasiswa? Kemana alokasi UKT yang sudah dibayarkan
mahasiswa?
UKT terbentuk dari
komponen-komponen yang dinamakan unit cost (satuan biaya) dari setiap program
studi di masing-masing fakultas. Berbagai PTAIN memiliki alur yang berbeda
terkait pembentukan sampai penentuan UKT pada mahasiswa. Di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, UKT dibentuk oleh tiap fakultas, sedangkan di UIN Maliki
Malang, UKT dibentuk oleh pihak Universitas. Pihak-pihak yang berkaitan
biasannya adalah WR II, Kabiro AUPK, Bagian Perencanaan dan Bagian Keuangan.
UKT yang dibentuk kemudian diserahkan kepada Kemenag untuk persetujuan. Lalu
kampus menentukan tiap kelompok UKT untuk setiap mahasiswa.
UKT menyesuaikan masyarakat atau
menyesuaikan kebutuhan kampus?
Sebelum membahas alokasi UKT, kita
perlu menelaah secara kritis sistem UKT dahulu. Pertama diktum ke tiga KMA UKT
yang menyatakanUKT sebagaimana
dimaksud dalam diktum kesatu terdiri dari beberapa kelompok yang ditentukan
berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain
yang membiayainya.Benarkah
demikian? Sedangkan dalam penerapan sistem UKT, unsur ekonomi mahasiswa
berada di posisi paling akhir dari alur
pembentukan dan penetapan kelompok UKT.
Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kampus yang membentuk UKT sesuai
kebutuhan kampus, lalu disahkan Kemenag, kemudian kampus menentukan kelompok
UKT tiap mahasiswa. Kemampuan ekonomi mahasiswa hanya
menjadi dasar untuk ditetapkan di kelompok UKT yang sudah dibuat sesuai
kebutuhan kampus. Jadi, dalam
penerapannya UKT tidak bisa dikatakan menyesuaikan kebutuhan ekonomi mahasiswa
tapi mahasiswalah yang menyesuaikan kebutuhan kampus.
Uang Kuliah Tunggal menjangkau
mahasiswa tidak mampu?
Kedua
dalam diktum ke empat KMA UKT UKT
kelompok I (Rp400.000) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I sampai dengan
Lampiran V (di dalam KMA) diterapkan kepada paling sedikit 5 (lima) persen dari
jumlah mahasiswa yang diterima.
Dari keterangan ini muncul pertanyaan, mengapa batas paling sedikitnya itu
hanya 5% dari seluruh mahasiswa baru? Apa dasarnya? Jika batas paling
sedikitnya hanya 5%, bagaimana dengan mahasiswa lain yang tidak mampu bisa
mendapatkan UKT kelompok satu?
Di
UIN Maliki Malang prosentase untuk UKT kelompok 1 adalah 8.87% dengan jumlah
301 dari 3.392 mahasiswa. Tapi masih ada mahasiswa yang merasa tidak
mendapatkan UKT sesuai kempuan ekonominya. Bahkan ada mahasiswa dengan
kemampuan ekonomi yang lebih mendapatkan UKT yang lebih rendah dari mahasiswa
dengan kemampuan ekonomi yang kurang. Seperti kasusnya di Jalur Mandiri.
Nur
Farida selaku Kepala Bagian Keuangan mengatakan, memang tidak ada UKT kelompok
satu untuk jalur mandiri, karena UKT kelompok satu sudah dipenuhi di jalur lain
seperti SNMPTN, SBMPTN, SPAN-PTKIN dan UM-PTKIN. Nah, bagaimana dengan
mahasiswa jalur mandiri yang tidak mendapat UKT kelompok satu, ketika itu
adalah mahasiswa yang kurang mampu?
Sedangkan
di IAIN Ponorogo, Lembaga sempat menyepakati pembagian UKT didasarkan pada
jalur masuknya. SPAN-PTKIN di UKT 3, UM-PTKIN di UKT 4, dan Mandiri di UKT 5,
sedangkan penentuan UKT berdasarkan kemampuan ekonomi hanya berlaku untuk UKT 1
dan Bidikmisi. Akan tetapi, pada akhirnya penetapan UKT mahasiswa baru angkatan
2018 disamaratakan pada UKT 3. Agus Purnomo selaku WR II mengatakan, Tidak
mungkin kami menghitung satu persatu ribuan mahasiswa dan kemampuan ekonominya,
padahal data yang diisikan juga tidak pasti jujur.[5]
Dari
penerapan sistem UKT yang seperti ini jelas-jelas menyalahi KMA UKT. Bahwa UKT
tujuannya adalah mencapai keadilan sesuai kemampuan ekonomi mahasiswa, bahwa
mahasiswa yang dimaksud dalam KMA UKT itu adalah individu bukan golongan.
Kemudian pernyataan bahwa tidak mungkin menghitung satu persatu ribuan
mahasiswa dan kemampuan ekonominya
adalah
pernyataan yang tidak bertanggungjawab jika mengacu pada KMA UKT yang
seharusnya dihitung per mahasiswa. Kalaupun data yang dimasukkan itu tidak
jujur, bukan berarti itu bisa menjadi alasan untuk tidak menghitung, karena
kampus punya wewenang untuk memberi sanksi kepada mereka yang tidak jujur.
Kewajiban
menjalankan amanah UU KIP no 14 th 2008
Maka dari itu, apa yang seharusnya
dilakukan kampus adalah memperbaiki penerapan sistem UKT dari pembentukan dan
penetapannya, memberikan kebijakan penurunan UKT bagi mahasiswa yang merasa tidak
mendapatkan UKT yang sesuai serta memberikan transparansi alokasi UKT. Perlu
dicermati bahwa ketika kampus hanya memberikan kebijakan penurunan UKT, hal
tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Mengapa
demikian? Karena, lagi-lagi UKT harus sesuai dengan kemampuan ekonomi
mahasiswa, tentu kebijakan penurunan UKT ini sifatnya wajib. Namun, untuk
menyelesaikan persoalan secara menyeluruh, kampus perlu memberikan transparansi
alokasi UKT kepada mahasiswa karena itu adalah haknya. Sesuai dengan UU
Keterbukaan Informasi Publik no 14 tahun 2008.
Dalam
UU KIP pasal 4 ayat 2 tertulis, setiap orang berhak melihat dan mengetahui
informasi publik. Sedangkan dalam UU KIP pasal 7 ayat 1 dijelaskan, Badan
Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang
berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi
yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. Mengacu pada UU KIP pasal 1 ayat 3, maka IAIN Ponorogo termasuk
sebagai Badan Publik karena fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan Negara. Serta, IAIN Ponorogo mendapatkan pendanaan dari APBN
dan/atau APBD. Dalam UU KIP pasal 9 ayat 2, Badan Publik wajib memberikan
informasi, yang salah satunya adalah laporan keuangan.
Informasi
yang wajib diberikan termasuk juga transparansi alokasi UKT. Hal itu
dikarenakan setiap alokasi biaya tercatat di laporan keuangan kampus. Selain UU
KIP, data lain yang ditemukan tentang transparansi ada di Undang-Undang Nomor
12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam Bab IV bagian kelima,
pengelolaan perguruan tinggi, pasal 63 disebutkan, otonomi Pengelolaan
Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi,
nirlaba, penjaminan mutu, efektivitas dan efisiensi.
Begitu
juga dalam Peraturan Menteri Agama nomor 59 tahun 2016 tentang statuta IAIN
Ponorogo. Dalam Bab VI Tata Kelola, bagian kedua, Prinsip Manajemen dan
Akuntabilitas pasal 74 ayat 3 disebutkan, Tata kelola sebagaimana dimaksud bercirikan
partisipatori, berorientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi,
responsif terhadap kebutuhan masyarakat, efektif, efisien, inklusif, dan mengikuti
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain
itu, dalam Buku Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi menyebutkan salah satu
standarnya adalah pembiayaan, sarana dan prasarana serta sistem informasi. Kerangka konseptual dari standar ini adalah pengelolaan
pembiayaan perguruan tinggi yang meliputi perencanaan kebutuhan, pembukuan
penerimaan dan pengeluaran dana, serta
monitoring dan evaluasi dilakukan secara tertib, transparan dan dapat
dipertanggung-jawabkan kepada semua pemangku kepentingan. Sedangkan elemen
penilaiannya adalah audit keuangan yang transparan dan dapat diakses oleh semua
pemangku kepentingan.
Permasalahan kenapa mahasiswa tidak
mendapatkan informasi alokasi UKT (sehingga protes, audiensi, aksi dan
sebagainya) dikarenakan tiga hal. Pertama, mahasiswa tidak membaca peraturan
(seperti UU KIP, UU Pendidikan Tinggi, Statuta Kampus dan Buku Akreditasi).
Kedua pihak kampus tidak membaca aturan dan yang ketiga, mahasiswa maupun pihak
kampus sama-sama tidak membaca peraturan.
Jadi, mahasiswa harus tahu hak-haknya
dan kampus harus menjalankan tugas sesuai peraturan yang sudah disepakati
bersama. Dan yang jelas bahwa ketika biaya UKT di IAIN Ponorogo tidak lebih
tinggi daripada UKT di kampus lain, bukan berarti mahasiswanya tidak boleh
mengkritik, karena kritik adalah hak sesuai UU Kebebasan Menyatakan Pendapat di
Muka Umum dan sesuai dengan kebebasan mimbar akademik yang ada di kampus.
Kritik dan transparansi itu penting supaya kampus di kemudian hari tidak
memutuskan kebijakan yang memberatkan mahasiswa, termasuk kebijakan UKT yang
selalu menuai protes di berbagai kampus karena kian hari kian mahal.
Oleh: Wahyu Agung Prasetyo
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.