SEKAT ANTARA MAHASISWA DAN KONGRES
Ilustrasi (msn.com) |
Opini oleh Dhamuri
Tak ubahnya suatu negara,
mahasiswa IAIN Ponorogo punya Republik Mahasiswa. Mahasiswa ibarat rakyat yang
suaranya sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi. Selayaknya negara yang
berdaulat, setiap periode tertentu akan mengadakan pergatian ‘pejabat negara’.
Di kampus hijau, pergantian itu dilakukan setiap tahun melalui Kongres.
Kongres adalah musyawarah tertinggi di Repubik Mahasiswa IAIN
Ponorogo. Dalam pelaksanaannya melibatkan seluruh mahasiswa aktif di IAIN
Ponorogo. Kongres tentunya diharapkan dapat diketahui oleh banyak mahasiswa. Secara,
hajat besar RM nih. Panitia dan segenap pejabat aktivis organisasi mahasiswa pun harap-harap
cemas, jangan-jangan mahasiswa apatis lagi sama Kongres.
Hanya segelintir mahasiswa yang mengetahui Kongres dan rentetan
yang ada. Salah satu mahasiswa dari KPI semester 2 yang biasa dipanggil Ali mengaku,
ia tidak mengetahui kongres dan apa yang ada di dalam kongres. “Kongres
itu apa? fungsinya apa?” ujar Ali.
Tak hanya Ali, puluhan, ratusan bahkan ribuan mahasiswa lain
mungkin juga mempertanyakan hal yang sama. Hingar-bingar Kongres yang sudah
sampai pendaftaran calon peserta Pemilwa tidak benar-benar diketahui dan difahami mahasiswa.
Kongres III ini mempunyai perbedaan
dari tahun lalu. Selain munculnya BPK yang menggantikan KPUM dan PPUM, kini ini
juga ada berbedaan dari persyaratan peserta pemilwa. Dalam persyaratan peserta Pemilwa
(calon ketua OMIK) kini tidak melampirkan fotokopi KTM sebagai bentuk dukungan
mahasiswa. Padahal, dengan mensyaratkan KTM calon ketua bisa mengenalkan diri
pada mahasiswa. Kalau memang alasannya agenda Kongres yang padat, lantas
bagaimana mengajak mahasiswa untuk antusias terhadap Kongres dan Pemilwa?
Ada poin yang menarik
untuk dibahas, yaitu berada di persyaratan calon HMJ. Kini, calon yang akan mendaftar menjadi HMJ
harus mendapatkan rekomendasi dari KOSMA di jurusan masing-masing minimal 30%
(semester 2-8) untuk mewakili.
Tiba-tiba ada kata Kosma, apa sih Kosma itu? Kosma (Komisariat Mahasiswa) merupakan istilah bagi mahasiswa yang
mempunyai hak suara di Musma (Musyawarah Mahasiswa), sebutan pesta demokrasi
sebelum Kongres. Kosma biasanya perwakilan dari masing-masing kelas per-kelas 3
mahasiswa, dua menjadi peserta penuh dan satu peserta peninjau.
KOSMA adalah peserta Musma
yang dihapus pada transisi Musma ke Kongres I. Sehingga, Kongres I & II
sudah tidak memakai Kosma lagi. Di dalam draf
UU RM IAIN Ponorogo di pasal 21 ayat 1 menyebutkan, ”setiap mahasiswa
IAIN Ponorogo berhak untuk memilih calon ketua SEMA, ketua DEMA, ketua SEMA F,
ketua DEMA, dan ketua HMJ IAIN Ponorogo”. Sehingga, dihapusnya Kosma
meniadakan perwakilan, agar semua hak mahasiswa tersampaikan.
Pada kongres III ini Kosma tertera
lagi sebagai pemberi rekomendasi. Dukungan disampaikan atas nama kelas yang
tidak tentu seluruhnya sepakat untuk merekomendasikan bakal calon.
Lalu kenapa kosma muncul lagi?
Legalitas Kosma sendiri masih bisa dipertanyakan. Kosma tidak terdapat di draft Tata Tertib Kongres sebagai
peserta penuh seperti saat Musma (http://www.lpmalmillah.com/2017/06/transformasi-musma-jadi-kongres-sema.html). Tata Tertib Pasal 1 menyebutkan, Peserta penuh Kogres terdiri dari anggota SEMA I dan
anggota kehormatan, tidak dicantumkan Kosma.
Tak hanya HMJ, persyaratan
SEMA, DEMA I maupun F juga harus mendapatkan rekomendasi dari 30% lembaga OMIK di institut/fakultas masing-masing.
Syarat fotokopi
KTM tingkat institut tahun lalu yang bisa menarik ratusan mahasiswa, digantikan dengan 6 lembaga (30% dari 33). Jika dibandingan kini
lebih sedikit yang terlibat. Mengingat mahasiswa yang mengikuti organisasi juga lebih sedikit. Yah, mahasiswanya di mana nih? Oh iya sedang UAS
Apakah rekomendasi tersebut
sudah bisa mewakili semua mahasiswa?
Sedangkan daya kritis
mahasiswa semakin tahun semakin terkikis menyebabkan apatis terhadap
event-event. Lalu kongres tahun ini seperti dijauhkan dari keterlibatan seluruh
mahasiswa, karena para peserta pemilwa tidak lagi repot mencari fotokopi KTM. Persyaratan yang diberikan BPK seakan ‘eksklusif’
dan tidak ada pendekatan peserta pemilwa ke mahasiswa umum. Hal itu mungkin bisa membat
mahasiswa tidak menggunakan hak pilihnya, apalagi musim UAS.
Persyaratan Pemilwa jangan
sampai menjadi alasan bagi mahasiswa untuk tidak antusias berperan meramaikan
pesta demokrasi mahasiswa. Karena, kehadiran mahasiswa dalam
pemilihan nanti bisa menjadi tolok ukur keberasilan Kongres tahun ini. Kesalahan
tahun kemarin bisa menjadi evaluasi bagi pemilihan nanti. Kalau
seandainya lebih buruk dari tahun kemarin maka bisa dibilang gagal dan tidak
bisa belajar dari pengalaman.Bukankah sebagai kaum
intelek, mahasiswa harus terlibat di demokrasi kampus? Baik menjadi panitia,
peserta, atau bahkan pemilih yang mendukung kemaksimalan proses Kongres dan
Pemilwa tahun ini.
Kalau bukan
kita,siapa lagi? Eaaaak...
Turu wae penak.. Paling seng dadi yo kui" 🏍🏍🏍🚖. Sayang sekali ada atau gk adanya sema/dema/presma sama aja... Kmpus ku krisis
ReplyDeleteKetika mempunyai wacana seperti ini janganlah di liat dari luarnya saja, tetapi coba gali lebih dalam lagi.
ReplyDeleteApakah benar-benar sudah sesuai dengan perubahan tersebut, kebutuhan tahun ini pastinya tidak sama dengan kebutuhan tahun kemarin.
Demokrasi kampus sedang bobrok!!. Paling yang jadi ya itu itu aja orangnya. Orang dalem maksud gua. Wkwk. Sabar sabar
ReplyDeleteLos, penting coblosan, penting ada uang transpot
ReplyDelete