Bukit Susu
pegipegi.com |
Oleh: Syamsulhadi
Motor kunyalakan, melaju dengan kecepatan tinggi, tiba di gapura pintu masuk yang bertuliskan Desa Wono yang dahulunya terkena musibah longsor. Ku lewati medan-medan yang terjal dan tanjakan jalan yang cukup mengerikan bagi pengendara sepeda motor yang tidak biasa melintasinya. Kudapati pinggiran jalan yang terdapat bukit-bukit yang indah bak lukisan landscape yang memanjakan mata. Tibalah aku di sudut Desa Wono, kulihat Bapak setengah baya memakai topi koboi dan sepatu but sedang berjalan memasuki kandang.
Aku mulai
penasaran, kuhampiri bapak itu, ia menyambutku dengan ramah. “Mari mas, dari mana
mas?”
Aku
pun menjawab “Saya Hiro pak dari Lembaga Pers Mahasiswa aL-Millah.” Kami
bercengkrama dengan baik, dan disajikan secangkir kopi susu dan ubi rebus yang
hangat. Aku pandangi sekitarnya yang terdapat 10 ekor sapi perah besertakan
tumpukan rumput yang menjadi konsumsi sapi tersebut. Aku pun berbincang-bincang
dengan bapak itu, namanya ialah Bapak Andre ternyata ia seorang peternak sapi
perah, yang kesehariannya memerah susu sapi, untuk dijual ke pengepul demi
kebutuhan sehari-harinya.
Aku
mulai bertanya “Harga susu sapi per liternya berapa pak?”
Ia
pun menjawab “Tidak pasti mas kadang naik turun, tergantung kualitas susunya”
Dengan
ekspresi muka yang datar, aku pun bertanya kembali “Kalau harga yang sekarang
ini berapa pak?”
Ia pun kembali menjawab “Harganya kalau
sekarang per liternya Rp6.000,00 mas,” ujarnya.
Perbincanagan
kami terus berlanjut, sampai akhirnya Pak Andre menceritakan kronologinya
kenapa sekarang menjadi peternak sapi. “Aku dulu bukan peternak sapi mas, dulu
petani cengkih, tetapi sekarang sudah tidak lagi, dikarenakan lahan cengkihku
diterpa longsor, selain itu, toh sekarang menanam cengkih sudah tidak bisa
kayak dulu lagi mas, karena cengkih sudah terkena virus, lalu aku berinisiatif
untuk menjadi peternak sapi perah hingga sekarang ini,” ujar Pak Andre.
Ternyata Bapak Andre ini dahulunya petani cengkih, sekarang alih porofesi
menjadi peternak dikarenakan lahannya dulu longsor dan tidak bisa ditanami
lagi.
Aku pun
kembali bertanya lagi kepada Bapak Andre. “Bapak mempunyai anak berapa?”
Ia
pun menjawab, “dulu anakku dua mas.”
Aku
sempat bingung dengan pernyataan Pak Andre aku pun bertanya lagi. “Kok dulu
pak?”
Pak Andre
akhirnya bercerita lagi. “Iya mas dulu anakku dua cewek dan kembar, tetapi
sekarang sudah meninggal mas, karena tertimbun longsor bersama istriku.” Matanya
sambil berkaca-kaca menunjukan ekspresi kesedihanya.
”Jadi
bapak sekarang sendiri?” tanyaku.
Ia menjawab, “iya mas.” Bapak itu sudah tidak
lagi berkaca-kaca tetapi sudah meneteskan air matanya, yang tadi sempat ditahannya,
kelopak matanya sudah tidak bisa lagi menahan air matanya.
Akupun
merangkul Bapak Andre dan meminta maaf. “Maaf pak sebelumnya saya tidak tahu,
sabar ya pa,” ujarku. Akupun juga ikut meneteskan air mata.
“Iya mas,” jawabnya sambil berusaha tersenyum.
Bapak
Andre ini ternyata hidup sendirian setelah istri dan anak-anaknya meninggal
terkena bencana tanah longsor, di tengah kedukaanya ia tetap tegar. Di samping
itu, Bapak Andre ini mempunyai banyak sapi perah. Bapak Andre memiliki 5
kandang, masing-masing kandang itu sebanyak 10 ekor sapi. Tempatnya
berbeda-beda yang 4 kandang itu dikelola asistennya dan yang 1 kandang yang
mengelola Pak Andre sendiri.
Hari
semakin larut, akhirnya aku berpamitan dengan Bapak Andre. Dari sini aku
memetik pelajaran yang sangat berharga, melihat Bapak Andre yang hidup di pelosok
pedesaan, di tengah kedukaannya, dia bisa meningkatkan perekonomianya bahkan
dampaknya banyak masyarakat yang mengikuti jejaknya dengan berternak secara
mandiri.
Ketika
aku mulai menaiki motor sejenak aku terdiam, teringat kata-kata ibu “Jangan
putus asa dengan hidupmu, apapun rintangan dalam hidupmu, itu adalah proses Tuhan
mengangkat derajatmu” Kemudian kunyalakan motorku dan bergegas pergi
meninggalkan tempat itu.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.