Fajar di Ujung Desa
Oleh: Rista
Sore itu, Fajar dan kawannya Danu sedang duduk di
warung Pak Jo,
langganan mereka yang kebetulan sedang sepi. Beberapa temannya memilih untuk pulang ke kost, karena lelah bekarja seharian.
“Eh Nu, rencananya nih minggu depan aku
mau pulang kampung.” Katanya sambil menampakkan wajah sumringah.
“Wahh ide bagus tuh bro, udah setahun
juga elu kagak ngerti kabar rumah.” Jawab Danu dengan gaya anak Jakarta nya.
“Iya nih kangen
banget.” Sambil menatap frame foto di dinding yang kemungkinan milik Pak
Jo.
Fajar menyeruput kopi
di teras kostnya yang ia tinggali sejak setahun belakangan, ingatannya hanya
terpaku oleh ucapan adiknya
malam itu.
“Cita-cita
Anan apa?” Tanya Fajar.
“Anan pengen banget jadi pemain bola mas.” Sambil menunjuk foto pemain
sepak bola kesayangannya.
“Nanti kalau mas udah punya
uang beliin Anan sepatu bola ya mas, temen-temen Anan udah punya cuma Anan sendiri yang belum.”
Menatap kakaknya sayu.
“Iya nanti mas pasti beliin, yang penting sekarang Anan belajar yang
rajin biar pinter, terus bisa banggain keluarga, oke?”
“Siap pak bos.” sambil mengangkat tangan hormat dan memamerkan gigi
ompongnya.
Seminggu telah tiba, Fajar berangkat
menuju stasiun. Suara bel khas kereta terdengar saat Fajar tiba di
sana, sebenarnya jadwal keretannya
jam 9, tetapi saking antusiasnya dia datang lebih awal. Fajar sedang duduk di
ruang tunggu penumpang. Fajar mengecek kembali barang oleh-oleh yang hendak ia bawa ke
kampung.
“Adek pasti seneng.” terlihat senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
Saat di kereta Fajar mencoba menghubungi nomor ibunya, kebetulan ibunya sudah pulang dari ladang
yang tadi mengantar sarapan buat bapak.
“Halo assalamualaikum buk.” Ujar Fajar begitu telepon tersambung.
“Waalaikumsalam le..” sahut ibunya.
“Fajar sudah di kereta perjalanan pulang mungkin besok pagi sudah
nyampe sana, gimana kabar bapak? sudah sembuh?”
“Oiya le, bapakmu udah sembuh tadi ibu baru pulang dari ladang ngantar
sarapan bapakmu, sebenarnya sudah ibu larang tapi tetep ngotot mau
kerja.”
“Iya bu udah dulu ya, sampai jumpa di rumah besok, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam le.”
Fajar menutup telepon,
wajah sumringah tak henti hentinya ia perlihatkan, bayangan akan keluarga
terbayang dalam pikirannya canda dan tawa adik-adiknya, nasihat-nasihat bapak,
kasih sayang ibunya membuatnya semakin rindu rumah. Setelah sehari semalam naik kereta dari Jakarta ke
kampung, Fajar memesan ojek untuk menuju ke kampungnya. Dalam perjalanan tampak
lalu lalang warga, polisi dan juga tim penyelamat membuat hatinya gelisah. Fajar
memutuskan untuk menepi di salah satu rumah warga yang kebetulan di
sana juga banyak kerumunan.
“Permisi mbak, mau nanya ini ada apa
lo kok banyak orang mondar-mandir?” tanya Fajar kepada warga sekitar.
“Oh gini mas di sana tadi ada longsor makanya warga banyak yang lari
kesini.”
Fajar semakin panik, dia berusaha menerobos masuk untuk mengetahui
keberadaan keluarganya. Benar saja saat dia ingin masuk menuju kecamatan
rumahnya dia dihentikan oleh polisi jaga agar tidak mendekat ke lokasi longsor.
Fajar semakin panik dia berusaha mencari keluarganya ke salah satu posko
bencana dan kemudian bertemu pamannya.
“Paklik keluarga dimana? Baik-baik saja kan?”
“Teenang dulu le, jangan panik paklik sedang mencari informasi keberadaan bapak dan
adikmu. Kalau ibumu sudah paklik ajak ke pengungsian tadi.”
Setelah pencarian tim SAR selama satu minggu ternyata tidak menghasilkan
perkembangan. Hari demi hari telah berlalu, namun tak ada satu pun kabar
ditemukan keberadaan bapak dan adiknya. Fajar mulai frustasi karena kedua
anggota keluarganya belum ditemukan.
Satu tahun berlalu Fajar mencoba bangkit dari keterpurukan, dia tidak
ingin berlarut-larut akan kesedihan. Mulailah Fajar mengabdikan diri di desanya
dengan mendirikan organisari Desa Tanggap Bencana (Destana) yang berkontribusi
memotivasi masyarakat untuk bangkit. Dengan cara mengajak masyarakat kumpul
bersama setiap minggunya untuk berbagi cerita dan juga pendidikan penanganan
bencana jika sewaktu-waktu bencana tiba. Mereka juga membuat komunitas berbagi
cerita agar mereka lebih terbuka jika terjadi permasalahan.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.