Bedah Buku Menunggu Badai Reda ‘9 November 1945’, Dari Diskusi Hingga Dramatical Reading
Kiri-kanan: Rahadian Sindupati, Yusril Ihza, dan Agra Hadi |
lpmalmillah.com- Rabu malam (11/9/2019) telah diadakan Bedah Buku Menunggu Badai Reda
‘9 November 1945’ oleh Teater Kaki Langit, komunitas teater asal Surabaya.
Acara ini menghadirkan penulis buku Yusril Ihza dan budayawan Ponorogo Rahadian
Sindupati sebagai pengulas. Terlaksananya bedah buku di Warkop Gallery Pallone
ini atas kerjasama berbagai pihak. Yakni UKM Seiya IAIN Ponorogo, Komunitas
Rabu Sore, Komunitas Sastra Langit Malam, LPM aL-Millah IAIN Ponorogo, Penerbit
Interlude dan Musik Raga.
Buku Menunggu Badai Reda yang ditulis oleh Yusril Ihza ini
menceritakan tentang pergolakan hati para pejuang pada saat sehari sebelum
pecah perang 10 November 1945 di Surabaya. Salah satu ceritanya mengisahkan
seorang pejuang yang akan mengikuti perang tetapi istrinya di rumah sedang
mengandung. Maka, ia harus memilih antara ikut berperang atau menemani
istrinya.
Pra acara diisi oleh UKM Seiya dan Musik Raga yang
mempersembahkan beberapa lagu. Sekitar pukul 19:30 WIB acara dimulai. Agra Hadi Abdurrachman sebagai moderator mempersilahkan Rahadian Sindupati
untuk memberi pengantar.
Rahadian mengatakan ketika membuka halaman awal langsung membaca kata Jangkrek,
yang membuatnya tertarik untuk membaca. “Saya sebenarnya tidak begitu mau mengoreksi buku orang lain tetapi
ketika saya membuka buku, saya jadi bertanya-tanya, kenapa kok ada kata ini? ” Ujarnya.
Rahadian menyampaikan bahwa pendekatan sastra yang digunakan
penulis membuatnya ketagihan membaca. Kemudian ia menyimpulkan, buku ini
menarik dan penonton direkomendasikan untuk membacanya.
Penulis memang sengaja mengambil sisi romantisme dalam
naskah buku ini. Ide itu bermula dari kecurigaan Yusril tentang pahlawan pada
perang 10 November 1945. “Apakah pahlawan
Surabaya seberani itu atau seheroik itu? Karena seberani-beraninya seseorang
kalau terkena bacok pasti takut juga, saya meyakini pasti ada hal lain di balik
itu semua,” ucapnya.
Pada sesi diskusi, Yusril berpesan bahwa setiap daerah memiliki
ciri khas yang menarik. “Sangat sayang
sekali daerah yang miliki hal menarik dan yang menulisnya dari daerah lain,
atau bahkan tidak ada yang menulisnya” tuturnya. Kemudian Yusril mengambil contoh Reyog Ponorogo yang saat ini
masih bisa dinikmati dan ditonton. Apabila tidak ada yang membukukanya pasti euforia itu lambat laun akan menghilang
dan tidak dikenal lagi oleh anak cucu.
Pada penghujung acara terdapat persembahan dramatical reading oleh Teater Kaki
Langit yang diiringi oleh Musik Raga. Semua mata menatap menikmati dan
menghayati persembahan tersebut dengan hikmat. Acara diakhiri dengan tepuk tangan
oleh para penonton.
Reporter : Yaya, Samsul.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.