Eco-hijrah
kabarmakkah.com |
Esai oleh Adzka Haniina
Apa
yang terbayang di benakmu kala mendengar kata ‘hijrah’? Baju gamis, jilbab
lebar, manset di tangan, dan sederet kata Masyaa Allah dan Tabarakallah
di caption media sosial?
Saya -seperti anak muda lainnya- sering scrolling feed Instagram. Dari unggahan akun-akun dakwah, saya melihat semangat untuk terus berubah
lebih baik semakin gencar dikampanyekan. Banyak yang menganggap Indonesia sebagai penampung warga
muslim terbesar di dunia memang punya banyak PR untuk berbenah kualitas
beragamanya. Sebagian kalangan memprihatinkan masjid-masjid yang besar namun
sepi pengunjung. Juga bencana yang merajalela karena maksiat masih bertebaran
di bumi pertiwi. Karena Islam solusi dari semua permasalahan, maka hijrah
adalah jawabannya.
Kedunawian
harus ditinggalkan. Aurat juga harus ditutup rapat, apalagi perempuan, yang (barangkali)
menjadi cobaan terberat bagi kaum adam. Pakaian yang kemudian harus dikenakan
adalah kain-kain lebar yang menghabiskan cukup banyak rupiah. Kalau saya lihat
pedoman dari salah satu brand busana
muslimah berinisial X, mereka menggariskan urutan hijrah itu begini; dari tidak
pakai kerudung, pakai kerudung pendek, kemudian kerudung panjang. Dari baju
pendek, kemudian panjang, kemudian gamis. Seorang kawan bercerita, dahulu ia sampai benar-benar
mengikuti saran dari mereka. Lantas apa? Rasa ujub muncul di hatinya.
Saya
berasumsi, perasaan ujub itu wajar apabila hijrah dimulai dari bungkus. Sudah
tercanang di kepalanya bahwa orang yang berpakaian panjang dan gamis lebih
baik. Sudah tercatat bahwa dengan mengubah pakaiannya, berarti ia bisa lebih
baik. Maka, ketika ia mengubah pakaiannya menjadi gamis dan kerudung panjang,
ia merasa lebih baik dan memandang orang lain lebih buruk. Hanya karena bungkus
yang dikenakan. Hanya dari satu sisi bagian hidupnya.
Sebenarnya
saya juga tidak menafikan bahwa menutup aurat lebih bisa melindungi diri
perempuan dari berbagai fitnah. Saya pun termasuk yang meyakini bahwa menutup
aurat (mengenakan pakaian panjang dan kerudung) itu wajib. Namun, saya tidak
mempermasalahkan bentuk dari kerudung itu sendiri, karena setiap tempat punya
adat yang berbeda. Maka jika hijrah diartikan sebatas mengenakan pakaian yang
lebih tertutup dengan kain berpuluh meter kemudian sombong dan menganggap teman
yang tidak berpakaian serupa lebih buruk, amat berpotensi menciderai esensi hijrah itu sendiri.
Membahas
ujub membuat saya teringat perkataan Pak Edi AH Iyubenu di Bedah Buku tempo
hari. Ia bilang, “Ujian terberat dari sholat subuh di masjid adalah menjaga
hati agar saat pulang ke rumah setelah sholat, kita tidak menganggap lebih baik
daripada tetangga kita yang tidak bangun.”
Brand
X juga seringkali mengajak followers-nya untuk meninggalkan hal-hal yang
bersifat duniawi. Mereka berpendapat, orientasi seorang muslim seharusnya adalah surga, yang hanya bisa diraih dengan ibadah dan meninggalkan keduniawian. Mereka kerap kali mengutip ayat yang menerangkan bahwa surga
tidak bisa diraih dengan mudah dan perlu perjuangan. Di mata mereka, hiburan
apapun salah. Bernyanyi, menonton TV, bermain game, apalagi hal-hal yang berbau Korea. Mereka bilang, jika umur
terbatas, maka janganlah sampai memanfaatkannya dengan perkara remeh receh dan
duniawi seperti itu. Padahal, ajakan untuk berhijrah sembari berdagang gamis
juga merupakan salah satu hal duniawi.
Hijrah
secara bahasa diambil dari ha-ja-ra
yang berarti berpindah. Secara sejarah, hijrah merupakan kejadian di mana Nabi
Muhammad SAW bermigrasi dari Makkah ke Madinah pada tahun 622. Seringkali saya
mendengar da’i berbeda dalam memaknai kata ini. Akan tetapi sebagian besar
menganggap hijrah adalah proses untuk berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dengan meninggalkan apa yang dibenci-Nya. Sedangkan brand X memilih untuk
memaknai secara lahirnya seperti yang sudah saya jabarkan di atas.
Pembahasan
ini sebenarnya mirip dengan forum seminar yang diadakan BEM IAIT Kediri
beberapa waktu lalu yang memilih tema Refleksi Makna Hijrah sebagai Semangat
Kesadaran Kemanusiaan dan Semangat Keadilan. Kalis Mardiasih sebagai
pembicara tunggal kala itu menekankan agar hijrah tidak dimaknai sempit. Ia
juga memberi contoh, hijrah bisa dimaknai dengan mengurangi penggunaan plastik
karena kasihan dengan hewan laut.
Izinkan
saya memberikan istilah ECO-HIJRAH untuk mewakili ide Kalis Mardiasih. Ya,
hijrah yang tidak hanya memandang dari sisi bungkus (perempuan). Eco-hijrah, mirip seperti eco racing, eco travel dan lain-lain. Ini adalah ungkapan yang membawa prinsip
peduli lingkungan.
Ambil
contoh Eco-Pesantren yang sudah
dilaksanakan di Provinsi Aceh. Terdapat
enam ponpes (dayah) mendapat kesempatan pertama dalam program Eco-Pesantren. Masing-masing Ruhul
Fatayat Seulimum dan Asrama Siswa UICCI di Aceh Besar, Ponpes Fhatimah Lampoh
Saka, LPI Dayah Hidayatul Ummah Al-Aziziyah, LPI Irsadul Al-Aziziyah di Pidie,
dan Yayasan Pendidikan Islam Darul Munawarah di Pidie Jaya.
Tahap awal sebanyak 90 santri dari
enam pondok pesantren di Aceh, mendapat pelatihan pemanfaatan limbah atau
sampah organik menjadi produk yang memiliki nilai manfaat dan ekonomis. Program
Eco-Pesantren itu dilaksanakan
Yayasan Pusat Persatuan Kebudayaan Islam Indonesia Aceh bekerja sama dengan
Yayasan KUMALA Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. (Sumber: nu.or.id)
Satu
lagi pelopor yang bisa diteladani, adalah Efi Femiliyah, pengurus Ibu
Profesional (IP) Jakarta. Kondisi keterpurukan ekonomi yang dialami keluarganya
di tahun 2014 membuatnya kreatif dan bijak dalam menyulap halaman rumahnya
menjadi kebun gizi keluarga. Kegiatan positifnya ini membuat beberapa tetangga
di lingkungannya tertarik untuk ikut berkebun di halaman rumah masing-masing.
Berkumpul bersama ibu-ibu di Rumah Belajar Berkebun IP Jakarta menjadikan jam
terbangnya semakin bertambah.
Kepeduliannya
terhadap lingkungan membuatnya terjun langsung dalam kegiatan bank sampah.
Yayasan RKI Srengseng Sawah adalah mitra pertamanya dalam mengelola sampah ini.
Bersamanya Efi mengelola beberapa bank sampah di beberapa RT dan RW.
Ia
juga menjadi narasumber di Rumah Belajar Hijrah Nol Sampah (RB HNS) yang
digagas leader IP Jakarta. Kelas Hijrah Nol Sampah, merupakan awal
keluarganya mengenal lebih dalam tentang hidup minim sampah dan konsep zerowaste.
Selain itu, ia juga menjadi pemateri di Workshop Natural Cleaner yang mengajarkan
cara mengolah sampah dapur jadi pembersih rumah.
Setelah
sukses dengan RB HNS, Efi dan beberapa teman mendirikan kelas belajar minim
sampah online Garbi Green Action. Efi
juga menginisiasi lahirnya Ksuper Green Academy, yaitu sebuah kelas belajar
hidup lebih hijau untuk anak-anak komunitas sekolah rumah KSuper. Ksuper Green
Academy didirikan sebagai usaha membumikan pemahaman mencintai bumi pada
anak-anak. (Sumber: ibuprofesional.com)
Konsep eco-pesantren dan perjalanan Efi Femiliyah merupakan pengejawantahan
eco-hijrah. Karena sejatinya, hijrah
tidak hanya tentang diri sendiri dan bungkus yang dikenakan. Hijrah perlu
dimaknai dengan menjadi pribadi yang lebih bermanfaat untuk sekitar, terlebih
untuk alam. Manusia sering lupa bahwa bumi adalah satu-satunya tempat tinggal
yang dianugerahkan Tuhan. Sehingga, eco-hijrah
menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk menjaga bumi yang sudah menjaga
kita selama ini. Memang tidak mudah. Kalau mudah, aktivis lingkungan mungkin
sudah tidak ada.
Bisa dimulai dari mengurangi sampah kalau
masih berat untuk zerowaste. Kemudian mengusahakan bahwa setiap yang
dilakukan tidak membahayakan alam yang berujung membahayakan diri kita sendiri
nantinya. Juga yang paling simpel, membiasakan diri untuk mengonsumsi asupan
otak yang tidak toxic. Mungkin memulai dengan follow akun-akun
aktivis lingkungan, akun yang banyak memberi saran pengelolaan sampah, atau
datang ke MELEK EKOLOGI-nya LPM aL-Millah dalam rangka launching majalah edisi
36 besok Senin (25 November), eh.
Pada akhirnya yang saya tuliskan di
sini hanyalah bualan siang bolong. Semoga, baik melalui hijrah bungkus maupun
eco-hijrah kita bisa menjadi manusia seutuhnya. Salam selamat!
(di
bawah rindangnya pohon Taman Kota Kelonosewandono, 18 November 2019)
Wah hijrah ahhh.....
ReplyDelete