Panji Mulkillah: Izin Lingkungan Eksplorasi PLTP Setara dengan Industri Rumahan?
Panji Mulkillah Ahmad (Kanan) |
Ketika diberikan waktu oleh Ahmad Rizal (moderator), ia langsung menanggapi pernyataan Sulisrianto (DLH Ponorogo). Sulis menjelaskan bahwa izin lingkungan tahap eksplorasi PT Bakrie Darmakarya Energi berupa UKL-UPL (Usaha Pengelolaan dan Pengawasan Lingkungan), baru kemudian menggunakan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) saat eksploitasi. Padahal menurut Panji, pada masa eksplorasi itulah risiko banyak terjadi. “Bayangin aja, kita misalkan gunung tempat PLTP itu seperti tumpeng. Nah, PT akan membuat lubang dan mencari sumber energi, seperti icip-icip tumpeng. Ketika belum ketemu, mereka akan terus mencari. Kan lama-lama habis juga?” ujar Panji.
Ia menyontohkan salah satu kasus di Gunung Salak, izin eksplorasi terus menerus diperpanjang, seakan tidak ada batas waktunya. Selain itu, sosialiasi bukan dilakukan sebelum eksplorasi, melainkan dilakukan dengan berbagai macam cara.
Selanjutnya ia menjelaskan ulang apa yang sudah tertulis di modul Selamatkan Slamet. Pada Bulan November 2016 sampai 2017 dan akhir 2017 sampai 2018 di musim penghujan, yang sebelumnya tidak pernah ada pada sejarah pada fenomena air keruh. Air keruh terjadi pada fase eksplorasi ketika perusahaan membabat hutan lindung kemudian membangun fasilitas seperti jalan dan sebagainya ketika musim hujan.
Apabila tanah itu disiram air hujan, air itu akan mengangkat material-material seperti lumpur. Tanah di hutan lindung juga terbawa air, juga kayu-kayu bakar yang menghancurkan beberapa jembatan desa. Perusahaaan beralibi, itu merupakan sebuah kelalaian. “Itu bukan sebuah kelalaian namun kegagalan dalam perencanaan, artinya perencanaan mereka itu tidak detail, sehingga tidak ada perkiraan apa yang akan terjadi,” tutur pria yang sedang menempuh pendidikan Magister di UGM ini.
Panji juga menyangsikan kajian dokumen izin lingkungan yang dangkal, tidak bisa mengantisipasi hal-hal yang di luar perkiraan. Menurutnya, persoalannya yang salah bukan oknum, melainkan sistem. Sistem ini menerobos segala cara untuk mendirikan PLTP kemudian tidak bisa memantau apa yang terjadi. “Bayangkan sebuah pembangunan PLTP itu hanya menggunakan dokumen-dokumen yang setara dengan industri rumahan, padahal dampak yang dihasilkan itu lintas kabupaten. Industri rumahan macam apa yang dampaknya lintas kabupaten? Ini tidak masuk akal,” ungkapnya.
Belum usai di situ dampak yang sudah terjadi di Gunung Slamet. Ia menunjukkan peta Kabupaten Banyumas, di sana dapat dilihat bahwa sumber air sekitar WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) PLTP sudah mulai berkurang. Di lereng Gunung Slamet bagian selatan masih jernih, banyak digunakan oleh warga untuk kebutuhan sehari-hari mulai dari pertanian, perikanan termaksud untuk memproduksi bambu. Pada saat itu, industri rumahan itu terpaksa tutup. Hanya yang punya kapital atau modal untuk membeli air dari PDAM.
Tidak hanya berhenti di situ, satwa yang tadinya tinggal di hutan saat itu turun ke pemukiman warga. Kera dan babi hutan yang tidak pernah turun itu merusak atau memakan tanaman warga.
Terakhir, ia menegaskan bahwa mahasiswa khususnya peserta dialog publik memiliki beban moral. “Sekarang teman-teman kan sudah terima semua, sudah baca. Ada beban moral di pundak teman-teman. Apa yang akan teman-teman lakukan setelah mengetahui ini?” tutup Panji.
Reporter: Zanida
NB: Majalah LPM aL-Millah edisi 36 dengan judul “Melukai Alam demi 120 Megawatt” bisa didapatkan di sekretariat LPM aL-Millah di Jl. Pramuka No. 156, Gedung BEM lt. 2 IAIN Ponorogo, Ronowijayan, Siman, Ponorogo mulai Senin, 2 Desember 2019.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.