Hadiah terakhir untuk Bapak
Sumber: ilputan6.com |
Oleh Febri Lorenzo
Rembulan berselimut awan,hujan pun begitu deras membasahi badan. Bagai sambaran petir datang dikeluargaku, tatkala aku lahir dengan kondisi yang berbeda dengan yang lain,kedua tanganku tidak layak dikatakan dengan sebutan tangan.
Banyak sekali yang menganggap aku anak rendahan tapi aku yakin tuhan menganggapku dalam keelokan. Aku bukanlah anak cacat yang hanya bisa tidur dalam ranjang, aku mempunyai mimpi besar, aku mempunyai keinginan yang harus aku wujudkan. Pagi itu seperti biasa aku membuka mata,kuhirup udara segar dan kunikmati burung bersiul saling bersahutan.
Aku tidak selalu memikirkan apa perkataan orang mengenai keadaanku, yang terpenting dalam hidupku sekarang aku masih mempunyai orang tua yang selalu menjaga serta merawatku.
Setelah sarapan pagi seperti biasa aku berangkat sekolah diantar oleh Bapak.Seorang laki-laki bertubuh sedikit bungkuk, berkulit coklat yang menemaniku sedari aku kecil sampai aku beranjak dewasa.Seorang Bapak yang selalu menggendongku setiap aku pergi sekolahagar aku tidak merasakanlelah yang berlebihan, karena Bapak adalah orang tua sekaligus sahabat sejatiku di sekolah selain kawan dekatku.
Teman-teman sekolahku selalu memanggilku dengan sebutan “anak benalu”yang mereka anggap sebagai lelucon.
Pada saat itu, di hari Selasa kelasku berlangsung pelajaran menulis dan tugas yang diberikan adalah menulis tokoh inspirasi dan ini adalahpeluang besar bagiku untuk menyalurkan bakatku.
Kata demi kata, kalimat demi kalimat telah aku susun dengan segala keterbatasan yang aku miliki, pada awalnya aku merasa kesusahan menulis dengan kakiku tetapi tahap demi tahap telah aku jalani, setelah beberapa lama akhirnya tulisanku berhasil aku selesaikan walaupun tidak sesempurna tulisan teman-temanku. Namun masih layak dibaca.
Setelah aku mengumpulkan hasil tulisanku, guruku memberikan pujian, “Wah indah sekali tulisanmu nak.” Seketika itu senyuman jelas terpancar dari raut wajah mungilku.
Keesokan harinya aku mendapat panggilan ke ruang kepala sekolah, dan ternyata ibu kepala sekolah menunjukku untuk mengikuti lomba menulis cerpen di Surabaya.
Ingin sekali aku mengikuti lomba itu, akan tetapi aku berpikir kembali mengenai kondisi ekonomi keluargaku. Selama berjalan menuju kelas aku masih memikirkan hal itu. Seusai jam pelajaran, ibu guru menghampiriku, dan beliau bertanya, “mengapa saat jam pelajaran kamu terlihat gelisah?”
“Saya ingin mengikuti lomba itu bu, tetapi keadaan ekonomi orang tua saya sekarang tidak memungkinkan dan saya tidak berani untuk mengatakan hal ini kepada bapak” jawabku.
Lalu guruku berkata “Mengenai biaya tidak usah dipikirkan, kamu tanyakan terlebih dahulu kepada bapakmu diizinkan atau tidak untuk berangkat”
Saat matahari mulai terbenam dengan cahaya yang terpancar dari arah jendela kamar, kulihat Bapak dengan wajah yang sedikit muram duduk sambil memandangi langit lalu aku bergegas untuk segera keluar dan menanyakan apa yang terjadi dengan Bapakku.
“Pak kenapa bersedih, ada apa?” tanyaku.
“Bapak tidak mendapatkan uang sama sekali nak,hasil rongsokan yang bapak dapat hanya sedikit dan belum bisa dijual, hari ini kita mau makan apa nak,Bapak bingung” terangbapak.
“Kenapa harus bingung, kan masih ada sisa nasi tadi pagi yang bisakitamakan” sahutku.
“Maafkan Bapak hari ini ya”
“Iya pak, tidak apa-apa, pak aku ingin bercerita tadi di sekolah nilai menulis ceritaku dipuji oleh guruku dan aku ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam lomba menulis cerpen di Surabaya, gimana pak diizinkan atau tidak?”
“Kalau bapak setuju-setuju aja asalkan kamu mampu, tetapi bapak tidak punya biaya untuk berangkat”
“Begini saja pak bagaimana kalau kita kerja sama, nanti sehabis pulang sekolah aku ikut bapak memulung, uang hasil memulungku aku tabung untuk biaya berangkatku”
“Tidak! Bapak tidak setuju, kamu fokus berlatih menulis saja, urusan biaya biarkan bapak saja yang menanggung”
“Baiklahbapaksayaakan berusaha semaksimal mungkin”
Di suatu pagi seperti biasa aku berangkat sekolah dengan pakaian lusuhku, tetapi untuk kali ini ada yang berbeda aku tidak diantar oleh Bapakku, Bapak berangkat pagi sekali supaya mendapat barang rongsok yang lebih banyak.
Aku berjanji pada diriku akan berusaha keras dalam lomba itu dan aku tidak mau orang yang mendukungku kecewa, apapun yang terjadi aku harus selalu semangat.
Sesampainya di sekolah aku tidak sengaja melihat tumpukan kardus tidak terpakai di bawah tangga sekolah, seketika aku berpikir untuk mengambil dan membawanya pulang, langsung aku bergegas menuju kantor untuk menanyakan kepada guru apakah kardus itu masih digunakan atau tidak?
Ternyata kardus itu tidak digunakan lagi lalu aku tanyakan kembali apakah boleh diambil?“Dengan senang hati silahkan kalau mau” jawab ibu guru.
Lalu setelah pulang sekolah aku berlari kencang untuk memberitahu bapak agar segera mengambil kardus itu.Setelah sampai di tempat pemulungan aku tidak melihat wajah bapak, lalu aku tanyakan kepada salah satu orang di sana, “Pak, lihat pemulung yang biasanya di sini? Perawakannyalumayantinggibesar pak, terus kalau tidak salah tadi memakai warna biru” jelasku.
“Oh sepertinya yang tadi mbak, tadi ada orang keserempet motor ciri-cirinya persis yang mbak sebutkan tapi saya tidak tahu apakah itu yang mbak cari atau bukan” jawabnya.
Dalam linangan air mata kulanjutkan berlari kerumah sakit, mataku terlelak langsung ke arah tujuan rumah sakit.
Setelah sampai langsung kutanyakan pada seorang yang berjaga di sana
“Dimana ayahku sus yang tadi baru dibawa kesini”
"Oh yang tadi sepertinya sudah dibawa ke ruang jenazah mbak."
“Ruang jenazah?”sahutku.
Aku kembali berlari kencang menuju ruang yang silih berganti. Setelah aku melihat sendiri, seketika aku tergeletak di lantai. Terlelap ku dalam linangan, tertidur dalam harapan yang belum aku wujudkan. Disitu aku melihat matanya sudah tetutup, telinganya sudah tidak bisa mendengarkan suara tangisanku, bibirnya sungguh pucat.
Bapakku telah pergi nan jauh di sana dan tak akan pernah kembali lagi.Pak terima kasih atas pengorbananmu yang telah rela menjadi miskin demi bahagiaku, yang telah rela bodoh demi kejeniusanku.
Saat itu tibalah untuk berlomba, tapi orang tuaku telah tiada semua. Selain juara, sebenarnya aku berharap agar bapak juga ikut menonton perlombaanku. Tapi, kini itu hanya angan belaka.
Kini aku harus mewujudkan itu karena hal itu adalah hadiah terakhirku untuk bapak di surga.Mati-matian aku menulis supaya sempurna sambil menangis aku ratapi sebuah pena di depanku sambil berdoa. "Semoga lelahku menjadi lillah"
Setelah berjuang, aku menunggu pengumuman pemenang,air mataku juga belum kering sedari tadi.Setelah menunggu lama panitia membacakan hasilnya. Tak kusangka, namaku disebut olehnya.
Air mata pun kembali mengalir membasahi pipi. Kupeluk ibu guru dengan sangat erat.Sedih dan bahagia tercampur jadi satu, kini aku penuhi janji pada orang tua.Janji itu sudah terbalaskan dan aku bisa membuktikan aku memang berbeda tetapi aku mampu.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.