Padepokan Gatot Kaca
Oleh: Ika
Ku lihat kertas-kertas yang menghiasi papan pengumuman. Semua tertera di sana mengenai prekrutan anggota baru padepokan. Mataku meneliti satu persatu, senyumku mengembang tatkala menemukan pamflet Padepokan Gatot Kaca.
Padepokan Gatot Kaca adalah padepokan yang mecetak anggotanya agar memiliki kekuatan jiwa kanuragan yang nantinya mampu untuk menolong sesama manusia. padepokan ini menarik perhatianku sejak aku duduk di SMA. Aku ingin masuk menjadi anggota dan mempelajari ilmu yang ada di dalamnya.
Aku membaca syarat-syarat untuk mengikuti padepokan Gatot Kaca mulai dari sehat jasmani dan rohani serta lain sebagainya. padepokan Gatot Kaca membuka pendaftaran mulai besok dan stannya berada di depan gedung fakultasku.
“Kamu mahasiswa baru ya?” tanya seorang laki-laki berbadan tinggi tegap, matanya tajam bak elang dan itu sukses membuatku terkejut.
Aku menganggukkan kepala. Memang, aku masih mahasiswa baru. Dua minggu yang lalu selesai ospek. “Mau ikut anggota padepokan apa?” tanyanya lagi.
“Belum tahu” jawabku singkat.
“Ku sarankan masuk saja di padepokan Gatot Kaca, di sana kamu akan dilatih menjadi pribadi yang kuat dan berani dalam melakukan segala hal.” Setelah mengatakan itu dia langsung pergi.
Aku mengerutkan kening. Di dalam benakku timbul tanya. “Siapakah dia?” Tidak kenal denganku sudah berani menyarankan untuk masuk anggota padepokan Gatot Kaca. Aku tak menyukai orang-orang seperti dia. Sok kenal sok dekat.
Aku melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Sebentar lagi mata kuliah jam pertamaku dimulai. Aku segera pergi ke kelas. Namun yang membuat aku kesal adalah ketika kelasku berada di lantai empat. Itu artinya aku harus menaiki banyak anak tangga untuk sampai di kelas.
Keringat mengucur di pelipisku, badanku yang tadinya segar berubah menjadi sedikit gerah. Kusam. Seperti biasa, ketika aku sampai di kelas teman-temanku yang datang baru sedikit. Padahal sudah diperingkatkan oleh para dosen untuk tidak telat. Namun namanya juga anak zaman now, pastilah namanya telat itu wajib meski itu adalah pelanggaran.
Meskipun aku datang lebih awal tetapi tempat dudukku paling belakang. Aku tak terlalu menyukai duduk di depan. Kenapa? Karena jika aku ngantuk aku bisa dengan leluasa tidur tanpa ketahuan oleh dosen. Ah.. tabiat burukku ini tak bisa ku ubah.
Tak lama Rama, ketua kelasku menghampiriku dengan membawa kertas-kertas seperti yang kulihat di papan pengumuman tadi. “Mau ikut anggota padepokan apa Raina?” tanya dia.
Rama menyodorkan kertas-kertas itu kepadaku. “Menurutmu aku harus ikut anggota padepokan apa?” tanyaku balik.
Itu membuatnya memutar bola matanya malas. Aku ingin tertawa melihatnya. “Itu terserah kamu, yang penting kamu serius mau masuk lalu mempelajari ilmu yang ada di sana, aku tak mempunyai hak untuk menentukan pilihanmu. Karena itu hakmu. Kamu bisa bebas memilih.” jawabnya. Dia terlalu dewasa untuk menyikapiku.
Aku tersenyum ke arahnya, “Mungkin, aku mau ikut anggota padepokan Gatot Kaca. Seperti yang kamu bilang, yang bisa ku kuasai dan mampu ku pelajari ilmu di dalamnya.”
Rama mengacungkan jempol. “Apakah kamu yakin? Pernah dengar padepokan Gatot Kaca hanya menerima orang-orang yang sepemikiran dengannya, satu ras dengannya?”
Aku menggelengkan kepala. Aku tak mengetahui perihal tersebut. “Cari tahu dulu tentangnya, baru kamu ikut organisasinya!” tuturnya.
“Kenapa harus mencari tahu tentang anggota padepokan Gatot Kaca terlebih dahulu, bukankah mereka juga merekrut semua kalangan?” tanyaku dalam hati.
“padepokan Gatot Kaca hanya menerima anggota yang sama dengan mereka. mereka tidak merekrut anggota yang berbeda dengan golongan dengannya.” Terang Rama.
Benarkah itu?
Rama berdiri lalu menepuk kedua bahuku, “Dan kamu berbeda dari mereka Raina kamu dari padepokan Merak Putih!”
Hatiku benar-benar sakit. Bukankah yang namanya padepokan itu menerima anggota dari mana saja. Bukankah manusia diajarkan untuk hidup bertoleransi. Ataukah ini hanya kabar burung saja? Entahlah yang pasti hatiku sekarang tak tenang.
Setelah itu Rama kembali ke tempat duduknya, tepat di depan meja dosen.
.....
Mata kuliahku hari ini berjalan lancar. Untung saja hanya satu. Tapi untuk besok, jadwalku padat tapi tak mengapa. Ini untuk menjadikanku yang lebih baik di masa mendatang. Hari ini pikiranku kacau sejak mengetahui perihal padepokan Gatot Kaca dari Rama. Aku pusing memikirkannya.
Bulan September awal, sebentar lagi akan datang bulan hujan. Aku menyukai bulan hujan. Kenapa? Karena aku bisa melihat wajah-wajah yang tersenyum bahagia. Udara yang awalnya panas menjadi sejuk.
Aku memutuskan untuk pulang. Sebenarnya hari ini aku punya janji untuk bertemu dengan temanku. Sekadar mau sharing saja. Tapi aku membatalkannya.
Aku berjalan ke tempat parkir. Tak ku sangka aku bertemu dengan orang yang ada di depan papan pengumuman tadi. Dia sedang bercengkrama bersama temannya. Dia duduk di atas motor Vixion berwarna merah. Aku tak mempedulikannya. Biar saja.
Dapat ku lihat sesekali dia melihat kearahku. Aku benar-benar tak menyukainya. Entahlah. Aku segera bergegas dan mengambil sepeda motorku. Motor matic berwarna putih ini menemani kapanpun dan dimanapun aku berpergian. Aku melajukan motorku dengan kecepatan sedang menuju keluar kampus.
Di perjalanan aku melihat anak-anak anggota padepokan Gatot Kaca sedang berlatih di lapangan dekat kampus, aku dapat mengenalinya karena seragam yang ia kenakan begitu familiar. Semua serba hitam dengan ikat pinggang dari kain yang menghiasi tubuh mereka, aku benar-benar ingin sekali menjadi bagian dari mereka.
Kenapa mereka berlatih jam segini, bukankah biasanya mereka berlatih pada malam hari? Tanyaku dalam hati.
“Mereka berlatih untuk lomba minggu depan.!” Suara bariton ini lagi.
Kenapa di mana-mana selalu ada dia? “Siapa kamu sebenarnya?”
Dia tersenyum simpul kemudian mengulurkan tangannya ke arahku. “Aku Aris ketua padepokan Gatot Kaca”
Aku terkejut. Wajahku merah padam. Benarkah dia ketuanya. Aku seperti maling yang sedang tertangkap basah. Aku malu. “Maafkan aku?” kataku pelan.
“Tidak apa-apa santai saja” jawabnya.
Aris mengajakku duduk di pinggir lapangan, hangatnya matahari tak terasa lagi. Aku benar-benar merasa bersalah dengannya.
Aku teringat ucapan Rama tadi di kelas mengenai padepokan Gatot Kaca. Apakah aku harus bertanya kepadanya sekarang? Aku takut dia tersinggung lalu dia marah.
“Kamu kenapa kok melamun?” tanya dia.
Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak kenapa-kenapa”
Aris menghadap ke arahku. “Bahkan aku sekarang tahu kamu sedang memikirkan apa. Tidak apa-apa, cerita saja!”
Aku menghembuskan napasku pelan. Dia ini memang tahu apa sok tahu sih? Bodo amatlah. Terlanjur aku disini bersama dengannya. Kenapa tak ku tanyakan saja padanya. Biar aku tahu faktanya dan tak hanya menjadi kabar burung saja yang didapat kebanyakan manusia.
“Apakah yang masuk di padepokan Gatot Kaca hanya untuk satu perguruan saja anggotanya?” tanyaku hati-hati.
“Tidak benar itu. padepokan Gatot Kaca membuka untuk semua kalangan. Tak hanya satu. Tapi memang yang ada sekarang anggotanya baru dari satu perguruan!”
“Kalau aku dari perguruan yang berbeda dari kalian dan ingin ikut menjadi anggota kalian apakah diperbolehkan?”
“seperti yang dijelaskan tadi, diperbolehkan, tapi ada ketentuan yaitu harus memenuhi aturannya padepokan Gatot Kaca sendiri. Kami membuka seluas-luasnya kok!” jelasnya.
“Kalau tidak bisa memenuhi aturannya bagaimana?” tanyaku dan itu sukses membuatnya menghadap sepenuhnya ke arahku.
“Belum bisa” jawabnya singkat.
Sekarang aku mengerti dan paham. Bahwa kabar dari Rama tidaklah benar. Semua kalangan boleh ikut. Rama hanya salah paham. Mengenai aturannya, jika dari perguruan lain tidak mampu memenuhinya maka belum bisa menjadi anggota mereka. Oh sungguh malang nasibku yang terlahir dari perguruan yang berbeda dengan mereka.
Perbincangan kami selesai tatkala para anggota Padepokan Gatot Kaca membubarkan diri. Aku harus pamit dengannya. Sepanjang perjalanan, otakku tak henti-hentinya berpikir. Oh ayolah, aku tak mau dibuat bimbang. Apakah harus melanjutkan untuk mendaftarkan diri atau tidak. Biar waktu saja yang menjawab.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.