Pandemi Covid-19 dan Refleksi Masyarakat Indonesia
Oleh:
Muhamad Riza Ardyanto
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Sepenggal lirik dari lagu Ebiet G. Ade ini menunjukkan bahwasanya alam yang kita huni ini bisa menunjukkan tanda-tanda kemuakkan karena ulah manusia. Jika merujuk pada kasus pandemi Virus Corona, bisa dianalogikan alam sedang menunjukkan tanda counter attack kepada manusia yang telah sejak lama melakukan eksploitasi terhadap alam.
Tanda itu tersirat yang tidak semua orang bisa memaknainya dengan baik. Ada yang memaknai sebagai sesuatu yang alamiah, ada juga yang menganggap itu teguran dan ujian, namun ada pula yang menganggap itu bencana. Hal itu tergantung bagaimana cara kita melihatnya. Ketika orang lain yang terkena dan kebetulan orang tersebut terlihat zalim di mata kita, tentu ada pikiran bahwa hal itu adalah azab. Namun jika kita sendiri yang mengalami, sering kita memaknai sebagai ujian atau cobaan yang harus dilalui dengan tabah.
Mengamati fenomena ini, lazimnya ketika ada saudara kita yang terkena bencana, kita turut berbela sungkawa. Bukannya malah mengaitkannya dengan azab, seperti komentar warganet Indonesia ketika mengetahui awal kemunculan wabah Covid-19 di China pada akhir 2019 lalu. Sungguh ironi, ketika wabah tersebut menjadi pandemi dan masuk ke Indonesia. Apakah mereka akan menganggap ini sebagai azab atau karma atas perkataan mereka?
Tidak hanya masyarakat, pemerintah pun kelabakan. Ketika virus ini belum masuk ke Indonesia, Budi Karya Sumadi berkelakar bahwa orang Indonesia kebal terhadap Virus Corona karena doyan makan nasi kucing. Seperti menjilat ludahnya sendiri, pada 14 Maret 2020 Menteri Perhubungan itu dinyatakan positif terinfeksi Virus Corona. Pada akhirnya pemerintah seakan kalap dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi penyebaran Virus Corona seperti social distancing dan kampanye hidup bersih dengan cuci tangan menggunakan sabun, serta sering memakai hand sanitizer. Tidak hanya itu presiden juga menetapkan kasus ini sebagai bencana nasional.
Reaksi dari menyebarnya pandemi Covid-19 ini pun sungguh beragam. Ada yang saling berangkulan solidaritas seperti teman-teman Paramedis Jalanan Surabaya yang berusaha membuat hand sanitizer dan akan dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Ada pula yang membagikan masker secara cuma-cuma.
Namun ada pula kebijakan kontroversional seperti peniadaan Sholat Jum’at di sejumlah daerah yang terindikasi sebagai zona merah penyebaran virus tersebut, seperti di Solo, Bandung dan Jakarta. Kebijakan ini mendapat respon yang beragam oleh masyarakat, ada yang setuju dengan alasan untuk meminimalisir tersebarnya virus tersebut. Ada juga yang nyeletuk “Jangan gara-gara takut Corona hingga kita tidak takut pada Allah.” Hingga muncul pertanyaan apakah ketika meniadakan Sholat Jum’at kita sudah tidak takut kepada Allah?
Seharusnya urusan agama itu menjadi urusan pribadi masing-masing kalau masih ingin melakukan Sholat Jum’at ya dipersilakan, kalau memang khawatir bisa beribadah di rumah saja. Tetapi, langkah untuk mengambil kebjakan itu bisa dipandang sebagai upaya meminimalisir bertemunya jamaah sholat Jum’at yang relatif lebih banyak Setelah itu lebih baik jika sebagai umat manusia yang beradab kita saling menasihati untuk tetap tenang namun waspada serta berdo’a agar bencana ini segera berlalu.
Selain yang religius, ada pula kebijakan dalam dunia pendidikan. Dengan meniadakan kegiatan pembelajaran di kelas yang diganti dengan belajar di rumah. Ada yang diberikan tugas maupun diganti dengan metode kelas online. Hal ini pun ditanggapi secara dilematis oleh peserta didik, di sisi lain mereka dimudahkan karena tidak perlu ke sekolah atau kampus, namun mereka akhirnya gelagapan karena banyaknya tugas yang harus dikerjakan di rumah.
Di beberapa perusahaan pun juga menerapkan kebijakan yang sama dengan tidak mewajibkan karyawannya masuk atau WFH (Work From Home). Namun realitasnya mereka justru memanfaatkannya untuk liburan dan berpelesir ke tempat wisata. Sungguh masyarakat Indonesia ini memang pintar memanfaatkan momen. Budaya santai yang sulit ditemukan di negara lain, semakin membuat bangga penulis karena terlahir di Indonesia.
Selain itu, lebih mengenaskan ketika melihat fakta yang dibeberkan Achmad Yurianto yang dimandati sebagai juru bicara Kemenkes dalam kasus ini, ia mengatakan bahwa rumah sakit banyak yang menolak pasien Corona dengan alasan ketika alasan ketika RS tersebut menangani pasien corona, pasien yang lain enggan pergi ke rumah sakit itu. Mau bagaimanapun keadaanya, kita tidak bisa menampik jika rumah sakit merupakan ladang bisnis, bukan tempat bakti sosial semata. Salam hormat kami untuk semua tenaga medis yang melayani penyintas dan mengesampingkan ego bisnisnya.
Namun dalam kondisi seperti ini, kesadaran kolektif perlu dipupuk tanpa pandang bulu. Usaha alam untuk menyadarkan manusia serakah juga harus dimaknai dengan menghentikan eksploitasi alam termasuk penebangan hutan, agar makhluk-makhluk yang seharusnya ada di hutan tidak pindah ke lingkungan manusia dan pada akhirnya membawa penyakit. Penjagaan ekosistem memang perlu dilakukan oleh manusia di seluruh dunia untuk menyembuhkanbumi keserakahan manusia.
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Sepenggal lirik dari lagu Ebiet G. Ade ini menunjukkan bahwasanya alam yang kita huni ini bisa menunjukkan tanda-tanda kemuakkan karena ulah manusia. Jika merujuk pada kasus pandemi Virus Corona, bisa dianalogikan alam sedang menunjukkan tanda counter attack kepada manusia yang telah sejak lama melakukan eksploitasi terhadap alam.
Tanda itu tersirat yang tidak semua orang bisa memaknainya dengan baik. Ada yang memaknai sebagai sesuatu yang alamiah, ada juga yang menganggap itu teguran dan ujian, namun ada pula yang menganggap itu bencana. Hal itu tergantung bagaimana cara kita melihatnya. Ketika orang lain yang terkena dan kebetulan orang tersebut terlihat zalim di mata kita, tentu ada pikiran bahwa hal itu adalah azab. Namun jika kita sendiri yang mengalami, sering kita memaknai sebagai ujian atau cobaan yang harus dilalui dengan tabah.
Mengamati fenomena ini, lazimnya ketika ada saudara kita yang terkena bencana, kita turut berbela sungkawa. Bukannya malah mengaitkannya dengan azab, seperti komentar warganet Indonesia ketika mengetahui awal kemunculan wabah Covid-19 di China pada akhir 2019 lalu. Sungguh ironi, ketika wabah tersebut menjadi pandemi dan masuk ke Indonesia. Apakah mereka akan menganggap ini sebagai azab atau karma atas perkataan mereka?
Tidak hanya masyarakat, pemerintah pun kelabakan. Ketika virus ini belum masuk ke Indonesia, Budi Karya Sumadi berkelakar bahwa orang Indonesia kebal terhadap Virus Corona karena doyan makan nasi kucing. Seperti menjilat ludahnya sendiri, pada 14 Maret 2020 Menteri Perhubungan itu dinyatakan positif terinfeksi Virus Corona. Pada akhirnya pemerintah seakan kalap dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi penyebaran Virus Corona seperti social distancing dan kampanye hidup bersih dengan cuci tangan menggunakan sabun, serta sering memakai hand sanitizer. Tidak hanya itu presiden juga menetapkan kasus ini sebagai bencana nasional.
Reaksi dari menyebarnya pandemi Covid-19 ini pun sungguh beragam. Ada yang saling berangkulan solidaritas seperti teman-teman Paramedis Jalanan Surabaya yang berusaha membuat hand sanitizer dan akan dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Ada pula yang membagikan masker secara cuma-cuma.
Namun ada pula kebijakan kontroversional seperti peniadaan Sholat Jum’at di sejumlah daerah yang terindikasi sebagai zona merah penyebaran virus tersebut, seperti di Solo, Bandung dan Jakarta. Kebijakan ini mendapat respon yang beragam oleh masyarakat, ada yang setuju dengan alasan untuk meminimalisir tersebarnya virus tersebut. Ada juga yang nyeletuk “Jangan gara-gara takut Corona hingga kita tidak takut pada Allah.” Hingga muncul pertanyaan apakah ketika meniadakan Sholat Jum’at kita sudah tidak takut kepada Allah?
Seharusnya urusan agama itu menjadi urusan pribadi masing-masing kalau masih ingin melakukan Sholat Jum’at ya dipersilakan, kalau memang khawatir bisa beribadah di rumah saja. Tetapi, langkah untuk mengambil kebjakan itu bisa dipandang sebagai upaya meminimalisir bertemunya jamaah sholat Jum’at yang relatif lebih banyak Setelah itu lebih baik jika sebagai umat manusia yang beradab kita saling menasihati untuk tetap tenang namun waspada serta berdo’a agar bencana ini segera berlalu.
Selain yang religius, ada pula kebijakan dalam dunia pendidikan. Dengan meniadakan kegiatan pembelajaran di kelas yang diganti dengan belajar di rumah. Ada yang diberikan tugas maupun diganti dengan metode kelas online. Hal ini pun ditanggapi secara dilematis oleh peserta didik, di sisi lain mereka dimudahkan karena tidak perlu ke sekolah atau kampus, namun mereka akhirnya gelagapan karena banyaknya tugas yang harus dikerjakan di rumah.
Di beberapa perusahaan pun juga menerapkan kebijakan yang sama dengan tidak mewajibkan karyawannya masuk atau WFH (Work From Home). Namun realitasnya mereka justru memanfaatkannya untuk liburan dan berpelesir ke tempat wisata. Sungguh masyarakat Indonesia ini memang pintar memanfaatkan momen. Budaya santai yang sulit ditemukan di negara lain, semakin membuat bangga penulis karena terlahir di Indonesia.
Selain itu, lebih mengenaskan ketika melihat fakta yang dibeberkan Achmad Yurianto yang dimandati sebagai juru bicara Kemenkes dalam kasus ini, ia mengatakan bahwa rumah sakit banyak yang menolak pasien Corona dengan alasan ketika alasan ketika RS tersebut menangani pasien corona, pasien yang lain enggan pergi ke rumah sakit itu. Mau bagaimanapun keadaanya, kita tidak bisa menampik jika rumah sakit merupakan ladang bisnis, bukan tempat bakti sosial semata. Salam hormat kami untuk semua tenaga medis yang melayani penyintas dan mengesampingkan ego bisnisnya.
Namun dalam kondisi seperti ini, kesadaran kolektif perlu dipupuk tanpa pandang bulu. Usaha alam untuk menyadarkan manusia serakah juga harus dimaknai dengan menghentikan eksploitasi alam termasuk penebangan hutan, agar makhluk-makhluk yang seharusnya ada di hutan tidak pindah ke lingkungan manusia dan pada akhirnya membawa penyakit. Penjagaan ekosistem memang perlu dilakukan oleh manusia di seluruh dunia untuk menyembuhkan
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.