RUU Omnibus Law: Monster Kapitalisme yang Bersembunyi di Balik Isu Corona
pokok-anggur.blogspot.com |
Esai oleh Syamsulhadi
Isu tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta kerja (Ciptaker) kini tenggelam ditelan oleh isu Virus Corona (Covid-19) yang telah melanda berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Semua media sudah terlalu sibuk memberitakan Virus Corona sehingga isu Omnibus Law seolah-olah terlupakan. Meskipun demikian, kita tidak boleh larut terlalu dalam dengan isu tersebut sehingga melupakannya.
Saya akan menggiring pembaca untuk mengangkat isu ini kembali, dengan sedikit bermain analogi. Bayangkan ada budak memayungi tuannya yang sedang menyantap berbagai hidangan yang lezat. Ketika makan, tuan ini disuapi abdi setianya, sedangkan budak yang memayungi dirinya itu rela kehujanan. Sang tuan ibarat pengusaha, buruh saya ibaratkan yang rela memayunginya sehingga ia rela kehujanan, sedangkan yang menyuapi ialah negara dengan regulasinya yaitu RUU Omnibus Law Ciptaker.
RUU sapu jagad yang sifatnya menyederhanakan atau bahkan mengubah puluhan Undang-Undang. Omnibus Law yang diprakasai oleh Presiden Joko Widodo ini bertujuan untuk menyelesaikan persoalan regulasi yang tumpang tindih. Selain itu, juga bertujuan untuk memperkuat investasi, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian serta perlambatan ekonomi global demi bersaing dengan negara-negara lain dan mewujudkan negara Indonesia yang ‘maju’ sesuai visi Jokowi saat pemilu tahun lalu.
Dilangsir dari CNBC, Omnibus Law ini kalau jadi disahkan oleh pemerintah, merupakan model Undang-Undang yang pertama kali digunakan sepanjang sejarah Indonesia. Meskipun, regulasi tersebut merupakan hal yang tak asing bagi kancah internasional. Ada beberapa negara yang sudah menerapkan undang-undang Omnibus Law di antaranya Amerika Serikat, Kanada, Turki, Selandia Baru dan Filipina dengan latar belakang dan tujuan yang berbeda. Kanada menerapkan Omnibus Law untuk mengimplementasikan perjanjian perdagangan internasional. Turki, Selandia Baru dan Australia menggunakan Omnibus Law untuk melakukan amandemen antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), belanja pajak, tabungan pensiun, jaminan sosial dan asuransi kesehatan. Sedangkan Filipina konteksnya sama dengan Indonesia yaitu untuk meningkatkan investasi.
Namun sebagai warga negara Indonesia, khususnya mahasiswa yang katanya agen of social control, jangan ditelan mentah-mentah dan setuju begitu saja tanpa menganalisis regulasi tersebut. Baiknya kita mengkritisi apa yang ada dalam RUU tersebut dengan pisau analisis yang kita miliki yaitu otak kita.
Draf Omnibus Law RUU Ciptaker kini sudah diserahkan ke DPR oleh Presiden. Apa sajakah pembahasan di dalamnya? Mari kita analisis sebagian dari RUU itu bersama.
Di antara pembahasnnya ialah terkait besaran pesangon yang dijelaskan pada pasal 92 Ayat 2 Bab IV tentang ketenagakerjaan. Salah satu poin dalam pasal itu menyebutkan, bonus atau pesangon yang diberikan pemerintah kepada buruh sebesar 5 kali gaji jika sudah 12 tahun mengabdi. Dikutip dari detik.com, Ida Fauziyah selaku Menteri Ketenagakerjaan mengatakan bahwa ada uang pemanis sebagai penghargaan, sebagai salah satu contohnya yaitu 5 kali gaji itu tadi. “Banyak yang menyampaikan bahwa pesangon akan dihilangkan. Pesangon itu tetap ada, tentu dengan skema yang berbeda. Pesangon tetap diberikan dengan melihat masa kerjanya,” kata Ida di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (12/2/2020). “Di samping itu juga ada sweetener, sweetener itu juga ada formulanya. Sweetener itu menjadi bagian dari kompensasi PHK tapi diberikan sebagai penghargaan,” sambungnya.
Menggunakan diksi bonus lima kali gaji saya rasa narasi untuk menarik simpati publik. Tetapi pada kenyataanya 5 kali gaji itu untuk pekerja yang sudah mengabdi selama 12 tahun, waktu yang cukup lama bagi pekerja. Teringat pernyataan dari kakak sepupu saya yang merupakan salah satu buruh pabrik. “Iyo podo wae to ra enek untunge. Perusahaan yo mesti mikir pindo to nggo mempertahakno karyawane, gek kebutuhan perusahaan soyo akeh (Ya sama saja tidak ada untungnya, perusahaan mesti berpikir dua kali untuk mempertahankan karyawannya, sedangkan kebutuhan perusahaan semakin banyak.red),” celetuknya sambil menghisap rokok.
Kemudian berkaitan hari kerja dan waktu istirahat. Sebelumnya pada UU No. 13 tahun 2013 waktu kerja diatur menjadi dua bentuk, di mana pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari keja kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Dalam RUU Cipta kerja, bunyi ketentuan dalam pasal 75 diubah menjadi istirahat hanya satu hari untuk 6 hari kerja. Menurut saya, dengan adanya regulasi tersebut, hak-hak libur bagi buruh terpangkas, padahal setiap buruh memiliki latar belakang yang berbeda, sebagai contoh buruh yang ingin meluangkan waktunya sedikit lama untuk keluarganya dan kegiatan lainnya.
Selanjutnya terkait peraturan upah buruh yang mengalami sakit, haid dan melahirkan. Pada UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah mengatur secara detail mengenai kewajiban pemberi kerja untuk tetap membayarkan upah kepada pekerja yang sakit, cuti haid dan melahirkan. Hal itu tidak diatur lagi dalam RUU Cipta kerja, jadi belum ada kejelasan nasib pekerja yang apabila cuti sakit, haid dan melahirkan apakah akan tetap diberikan gaji atau tidak. Menjadi hal yang dilematis bagi buruh perempuan. Ketika UU mengenai hak cuti haid dan melahirkan ada saja masih banyak pengusaha tidak menaatinya, apalagi jika tidak diatur secara detail?
RUU Cipta kerja Pasal 151 juga membahas tentang proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada ayat (1) bahwa pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja buruh, dilanjutkan ayat 2 Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur. Sebelumnya pada UU no 13 tahun 2003 proses PHK langkahnya cenderung jelimet karena mempunyai ketentuan yang menekankan agar karyawan tidak mudah di PHK. Sedangkan pada RUU Ciptaker seolah-olah tidak ada i'tikad untuk mempertahankan karyawan. Hal ini tentunya membuat buruh berpotensi besar untuk di-PHK dan kembali menyumbangkan angka pengangguran di Indonesia.
Poin-poin tersebut dapat menunjukkan bahwa RUU Omnibus Law Ciptaker adalah RUU Cilaka yang hanya menguntungkan pemilik modal atau pihak perusahaan. Di waktu yang bersamaan, semakin menindas kaum buruh dan menjadikan buruh seolah-olah mesin produksi bagi perusahaan. Ini juga membuat kapitalis semakin erat mencengkeram Indonesia, mengendalikan aset dan negara.
Saya teringat penrnyataan Karl Marx dalam buku Das Capital, bahwa pekerja menjual tenaganya kepada sang kapitalis, bukan berdasarkan nilai yang telah diproduksinya. Dengan begitu kapitalis bisa semena-mena memotong jam kerjanya, sehingga buruh pun semakin kehilangan upah yang diterimanya namun kapitalis tetap mendapatkan hasil dari pekerjaan buruh. Pernyataan tersebut sama persis dinamika yang dialami buruh saat ini. Apalagi jika RUU Cilaka disahkan, akan membuat buruh semakin tertindas.
Ketakutan masyarakat terhadap Covid-19 seharusnya tidak menghilangkan rasa khawatir apabila RUU Cilaka ini disahkan. Karena, kesehatan jiwa dan raga tak ada gunanya, bila hidup buruh dan warga negara pada umumnya digadaikan untuk meningkatkan investasi. Saya sebagai warga negara mendukung setiap gerakan buruh, mahasiswa dan masyarakat yang melawan Omnibus Law. Terakhir, yang bisa saya sumbangkan adalah satu kata dengan tangan kiri mengepal, “Lawan!”
Saya akan menggiring pembaca untuk mengangkat isu ini kembali, dengan sedikit bermain analogi. Bayangkan ada budak memayungi tuannya yang sedang menyantap berbagai hidangan yang lezat. Ketika makan, tuan ini disuapi abdi setianya, sedangkan budak yang memayungi dirinya itu rela kehujanan. Sang tuan ibarat pengusaha, buruh saya ibaratkan yang rela memayunginya sehingga ia rela kehujanan, sedangkan yang menyuapi ialah negara dengan regulasinya yaitu RUU Omnibus Law Ciptaker.
RUU sapu jagad yang sifatnya menyederhanakan atau bahkan mengubah puluhan Undang-Undang. Omnibus Law yang diprakasai oleh Presiden Joko Widodo ini bertujuan untuk menyelesaikan persoalan regulasi yang tumpang tindih. Selain itu, juga bertujuan untuk memperkuat investasi, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian serta perlambatan ekonomi global demi bersaing dengan negara-negara lain dan mewujudkan negara Indonesia yang ‘maju’ sesuai visi Jokowi saat pemilu tahun lalu.
Dilangsir dari CNBC, Omnibus Law ini kalau jadi disahkan oleh pemerintah, merupakan model Undang-Undang yang pertama kali digunakan sepanjang sejarah Indonesia. Meskipun, regulasi tersebut merupakan hal yang tak asing bagi kancah internasional. Ada beberapa negara yang sudah menerapkan undang-undang Omnibus Law di antaranya Amerika Serikat, Kanada, Turki, Selandia Baru dan Filipina dengan latar belakang dan tujuan yang berbeda. Kanada menerapkan Omnibus Law untuk mengimplementasikan perjanjian perdagangan internasional. Turki, Selandia Baru dan Australia menggunakan Omnibus Law untuk melakukan amandemen antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), belanja pajak, tabungan pensiun, jaminan sosial dan asuransi kesehatan. Sedangkan Filipina konteksnya sama dengan Indonesia yaitu untuk meningkatkan investasi.
Namun sebagai warga negara Indonesia, khususnya mahasiswa yang katanya agen of social control, jangan ditelan mentah-mentah dan setuju begitu saja tanpa menganalisis regulasi tersebut. Baiknya kita mengkritisi apa yang ada dalam RUU tersebut dengan pisau analisis yang kita miliki yaitu otak kita.
Draf Omnibus Law RUU Ciptaker kini sudah diserahkan ke DPR oleh Presiden. Apa sajakah pembahasan di dalamnya? Mari kita analisis sebagian dari RUU itu bersama.
Di antara pembahasnnya ialah terkait besaran pesangon yang dijelaskan pada pasal 92 Ayat 2 Bab IV tentang ketenagakerjaan. Salah satu poin dalam pasal itu menyebutkan, bonus atau pesangon yang diberikan pemerintah kepada buruh sebesar 5 kali gaji jika sudah 12 tahun mengabdi. Dikutip dari detik.com, Ida Fauziyah selaku Menteri Ketenagakerjaan mengatakan bahwa ada uang pemanis sebagai penghargaan, sebagai salah satu contohnya yaitu 5 kali gaji itu tadi. “Banyak yang menyampaikan bahwa pesangon akan dihilangkan. Pesangon itu tetap ada, tentu dengan skema yang berbeda. Pesangon tetap diberikan dengan melihat masa kerjanya,” kata Ida di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (12/2/2020). “Di samping itu juga ada sweetener, sweetener itu juga ada formulanya. Sweetener itu menjadi bagian dari kompensasi PHK tapi diberikan sebagai penghargaan,” sambungnya.
Menggunakan diksi bonus lima kali gaji saya rasa narasi untuk menarik simpati publik. Tetapi pada kenyataanya 5 kali gaji itu untuk pekerja yang sudah mengabdi selama 12 tahun, waktu yang cukup lama bagi pekerja. Teringat pernyataan dari kakak sepupu saya yang merupakan salah satu buruh pabrik. “Iyo podo wae to ra enek untunge. Perusahaan yo mesti mikir pindo to nggo mempertahakno karyawane, gek kebutuhan perusahaan soyo akeh (Ya sama saja tidak ada untungnya, perusahaan mesti berpikir dua kali untuk mempertahankan karyawannya, sedangkan kebutuhan perusahaan semakin banyak.red),” celetuknya sambil menghisap rokok.
Kemudian berkaitan hari kerja dan waktu istirahat. Sebelumnya pada UU No. 13 tahun 2013 waktu kerja diatur menjadi dua bentuk, di mana pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari keja kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Dalam RUU Cipta kerja, bunyi ketentuan dalam pasal 75 diubah menjadi istirahat hanya satu hari untuk 6 hari kerja. Menurut saya, dengan adanya regulasi tersebut, hak-hak libur bagi buruh terpangkas, padahal setiap buruh memiliki latar belakang yang berbeda, sebagai contoh buruh yang ingin meluangkan waktunya sedikit lama untuk keluarganya dan kegiatan lainnya.
Selanjutnya terkait peraturan upah buruh yang mengalami sakit, haid dan melahirkan. Pada UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah mengatur secara detail mengenai kewajiban pemberi kerja untuk tetap membayarkan upah kepada pekerja yang sakit, cuti haid dan melahirkan. Hal itu tidak diatur lagi dalam RUU Cipta kerja, jadi belum ada kejelasan nasib pekerja yang apabila cuti sakit, haid dan melahirkan apakah akan tetap diberikan gaji atau tidak. Menjadi hal yang dilematis bagi buruh perempuan. Ketika UU mengenai hak cuti haid dan melahirkan ada saja masih banyak pengusaha tidak menaatinya, apalagi jika tidak diatur secara detail?
RUU Cipta kerja Pasal 151 juga membahas tentang proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada ayat (1) bahwa pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja buruh, dilanjutkan ayat 2 Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur. Sebelumnya pada UU no 13 tahun 2003 proses PHK langkahnya cenderung jelimet karena mempunyai ketentuan yang menekankan agar karyawan tidak mudah di PHK. Sedangkan pada RUU Ciptaker seolah-olah tidak ada i'tikad untuk mempertahankan karyawan. Hal ini tentunya membuat buruh berpotensi besar untuk di-PHK dan kembali menyumbangkan angka pengangguran di Indonesia.
Poin-poin tersebut dapat menunjukkan bahwa RUU Omnibus Law Ciptaker adalah RUU Cilaka yang hanya menguntungkan pemilik modal atau pihak perusahaan. Di waktu yang bersamaan, semakin menindas kaum buruh dan menjadikan buruh seolah-olah mesin produksi bagi perusahaan. Ini juga membuat kapitalis semakin erat mencengkeram Indonesia, mengendalikan aset dan negara.
Saya teringat penrnyataan Karl Marx dalam buku Das Capital, bahwa pekerja menjual tenaganya kepada sang kapitalis, bukan berdasarkan nilai yang telah diproduksinya. Dengan begitu kapitalis bisa semena-mena memotong jam kerjanya, sehingga buruh pun semakin kehilangan upah yang diterimanya namun kapitalis tetap mendapatkan hasil dari pekerjaan buruh. Pernyataan tersebut sama persis dinamika yang dialami buruh saat ini. Apalagi jika RUU Cilaka disahkan, akan membuat buruh semakin tertindas.
Ketakutan masyarakat terhadap Covid-19 seharusnya tidak menghilangkan rasa khawatir apabila RUU Cilaka ini disahkan. Karena, kesehatan jiwa dan raga tak ada gunanya, bila hidup buruh dan warga negara pada umumnya digadaikan untuk meningkatkan investasi. Saya sebagai warga negara mendukung setiap gerakan buruh, mahasiswa dan masyarakat yang melawan Omnibus Law. Terakhir, yang bisa saya sumbangkan adalah satu kata dengan tangan kiri mengepal, “Lawan!”
Dibalik kepanikan masyarakan jadi kesempatan pemerintah
ReplyDeleteCoba aja dulu, siapa tau Indonesia benar-benar maju
ReplyDeleteGak melu komen ah.. Gak mudeng.
ReplyDelete